Showing posts with label Bahsul Masail. Show all posts
Showing posts with label Bahsul Masail. Show all posts

Adzan jenazah

ADZAN JENAZAH

Bagaimana hukumnya adzan ketika jenazah hendak dikuburkan?

Adzan tersebut hukumnya khilaf. Menurut qaul mu’tamad tidak disunatkan.

وَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ يُسَنُّ اْلأَذَانُ عِنْدَ دُخُوْلِ الْقَبْرِ خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ بِسُنِّيَّتِهِ قِيَاسًا لِخُرُوْجِهِ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى دُخُوْلِهِ فِيْهَا. قَالَ ابْنُ حَجَرٍ وَرَدَدْتُهُ فِيْ شَرْحِ الْعُبَابِ لَكِنْ إِذَا وَافَقَ اِنْزَالَهُ الْقَبْرَ اَذَانٌ خُفِّفَ عَنْهُ فِي السُّؤَالِ [اعانة اطالبين 1/230]

“Ketahuilah bahwa tidaklah disunatkan adzan ketika jenazah dimasukkan ke liang kubur. Berbeda dengan ulama yang

berpendapat disunatkan, karena dianalogikan: kesunatan adzan ketika seseorang dilahirkan dengan ketika dimasukkan ke liang kubur. Ibn Hajar berkata , pendapat disunatkan adzan tersebut telah aku sanggah di dalam kitab Syarh al-‘Ubab. Hanya saja bila ada adzan shalat bersamaan dimasukkannya jenazah ke liang kubur maka diperinganlah pertanyaan kubur”. (I’anah al-Thalibin 1/230).

وَلاَ يُسَنُّ عِنْدَ اِدْخَالِ الْميِّتِ الْقَبْرَ عَلَى الْمُعْتَمَدِ [الشرقاوي 1/227]

“Tidaklah disunatkan adzan ketika memasukkan jenazah ke liang kubur, menurut qaul mu’tamad” (Al-Syarqawi 1/227).

[+/-] Selengkapnya...

Tertinggal takbirnya imam

TERTINGGAL TAKBIRNYA IMAM

Ketika jamaah shalat jenazah sedang berlangsung ada beberapa orang tertinggal satu takbirnya imam.

Di antaranya ada yang mengikuti imam sejak awal karena suatu hal ia tertinggal satu takbir dan seorang lagi datang terlambat, ia mendapatkan imam sudah takbir kedua. Bagaimana hukumnya?

Makmum dalam kasus pertama tadi bila tertinggalnya bukan karena udzur maka batal shalatnya dan bila dikarenakan udzur, seperti tidak terdengar takbirnya imam, maka tidak batal. Sedang makmum dalam kasus kedua, ia langsung takbiratul ikhram lalu membaca fatihah, kemudian setelah imam salam ia menyusuli takbir yang tertinggal.

وَلَوْ تَخَلَّفَ عَنْ إِمَامِهِ بِلاَ عُذْرٍ بِتَكْبِيْرَةٍ حَتَّى شَرَعَ إِمَامُهُ فِيْ أُخْرَى بَطَلَتْ صَلاَتُهُ (قَوْلُهُ بِلاَ عُذْرٍ) يُفِيْدُ أَنَّ التَّخَلُّفَ بِتَكْبِيْرَةٍ مَعَ الْعُذْرِ كَنِسْيَانٍ وَبُطْءِ قِرَاءَ ةٍ وَعَدَمِ سَمَاعِ تَكْبِيْرٍ وَجَهْلٍ يُعْذَرُ بِهِ لاَ يَبْطُلُ بِخِلاَفِ التَّخَلُّفِ بِتَكْبِيْرَتَيْنِ [اعانة لطالبين 2/129]

“Andai seseorang tertinggal satu takbirnya imam bukan karena udzur hingga imam melakukan takbir yang lain maka batal shalatnya. Kalimat ‘bukan karena udzur’ memberi pengertian bahwa tertinggal satu takbir yang di karenakan udzur seperti lupa, lamban bacaan, tidak mendengar takbir dan kebodohan yang di anggap sebagai udzur, maka tidaklah batal shalatnya. Lain halnya bila tertinggal sampai dua takbir.” (I’anah al-Thalibin II/129).

وَمَنْ أَدْرَكَ التَّكْبِيْرَةَ الثَّانِيَةَ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُرَاعِيَ تَرْتِيْبَ الصَّلاَةِ فِيْ نَفْسِهِ وَيُكَبِّرُ مَعَ تَكْبِيْرَاتِ اْلإِمَامِ. فَإِذَا سَلَّمَ اْلإِمَامُ قَضَى تَكْبِيْرَهُ الَّذِيْ فَاتَ كَفِعْلِ الْمَسْبُوْقِ [احياء علوم الدين 1/205]

“Barangsiapa mendapatkan takbirnya imam kedua maka wajib menjaga tertib, urutan, shalatnya dan bertakbir bersama-sama takbirnya imam, kemudian bila imam salam ia melanjutkan takbir yang tertinggal sebagaimana yang di kerjakan oleh makmum masbuq.” (Ihya’ Ulum al-Din 1/205)

[+/-] Selengkapnya...

Takbiran seusai adzan

TAKBIRAN SEUSAI ADZAN

Bagaimana hukumnya takbiran usai adzan untuk menunggu berjamaah pada hari-hari tasyriq?

Takbiran tersebut tidak disunahkan.

وَتَكْبِيْرُ الْحَاجِّ وَغَيْرِهِ فِي الْوَقْتَيْنِ الْمَذْكُوْرَيْنِ يَكُوْنُ (بَعْدَ) أَيْ عَقِبَ (صَلاَةِ كُلِّ فَرْضٍ أَوْ نَفْلٍ أَدَاءً وَقَضَاءً وَجَنَازَةً)وَمَنْذُوْرَةً [المنهاج القويم 94]

“Kesunahan bertakbir bagi orang yang sedang berhaji -- sejak Dhuhur hari raya kurban sampai dengan Shubuh akhir hari tasyriq -- maupun yang lain -- sejak Shubuh hari Arafah sampai dengan Ashar akhir hari tasyriq -- pada masing-masing waktu dimaksud, itu usai shalat baik fardlu maupun sunat, ada’ maupun qadla’, shalat janazah dan shalat karena nadzar.” (Al-Minhaj al-Qawim 94).

BERJABAT TANGAN DENGAN LAWAN JENIS

Sebagaimana yang terlihat pada hari-hari lebaran, tengah menggejala di sebagian kalangan remaja berjabat tangan berlainan jenis yang bukan mahram. Bagaimana hukum-nya?

Berjabat tangan dengan lelawan jenis yang bukan mahram hukumnya haram, baik di hari lebaran maupun bukan, kecuali memakai tutup tangan.

وَتُسَنُّ التَّهْنِئَةُ بِالْعِيْدِ وَنَحْوِهِ مِنَ الْعَامِ وَالشَّهْرِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ مَعَ الْمُصَافَحَةِ إِنِ اتَّحَدَ الْجِنْسُ فَلاَ يُصَافِحُ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ وَلاَ عَكْسُهُ وَمِثْلُهَا اْلأَمْرَدُ الْجَمِيْلُ [الباجوري 1/ 224]

“Disunatkan menyampaikan ucapan selamat hari raya dan semisalnya baik tahun maupun bulan menurut qaul mu’tamad dengan berjabat tangan bilamana sesama jenis. Maka tidak di perbolehkan seorang laki-laki berjabat tangan dengan seorang perempuan dan sebaliknya, demikian juga amrad yang tampan.” (Al-Bajuri 1/224)

وَتَحْرُمُ مُصَافَحَةُ الرَّجُلِ لِلْمَرْأَةِ اْلأَجْنَبِيَّةِ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ وَكَذَا اْلأَمْرَدُ الْجَمِيْلُ [تنوير القلوب 199].

“Haram berjabat tangan antara lelaki dengan perempuan yang bukan mahram tanpa penghalang, demikian juga amrad yang tampan.” (Tanwir al-Qulub 199).

WUDLUI JENAZAH BARU MANDIKAN

Mana yang didahulukan, memandikan jenazah atau mewudlukan? Mewudlukan yang didahulukan, baru kemudian dimandikan.

وَاَكْمَلُهُ إلى أن قال وَأَنْ يُوَضِّئَهُ قَبْلَ الْغَسْلِ كَالْحَيِّ [كاشفة السجا 95]

“Yang lebih sempurna adalah mewudlukan jenazah sebelum memandikannya sebagaimana orang hidup” (Kasyifah al-Saja 95).

MANDI JENAZAH BERHADATS BESAR

Bagaimana cara memandikan mayat yang junub, cukup sekali ataukah dua kali?

Memandikan mayat junub cukup sekali saja.

(وَأَقَلُّ غَسْلِهِ ) وَلَوْ جُنُبًا أَوْ نَحْوَهُ (تَعْمِيْمُ بَدَنِهِ) بِالْمَاءِ مَرَّةً (قَوْلُهُ وَلَوْ جُنُبًا) غَايَةٌ لِلرَّدِّ عَلَى الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ الْقَائِلِ بِأَنَّهُ يَجِبُ غَسْلاَنِ أَحَدُهُمَا لِلْجَنَابَةِ وَاْلآخَرُ لِلْمَوْتِ كَمَا قَرَّرَهُ شَيْخُنَا. [بجيرمي علي المنهج 1/452]

“Memandikan mayat meskipun junub atau sejenisnya minimal adalah meratakan air pada seluruh tubuh satu kali. Kalimat ‘meskipun junub’ adalah ghayah, menghabiskan, untuk menolak pendapat Al-Hasan al-Bashri yang berkata, bahwa mayat tersebut wajib dimandikan dua kali, salah satunya karena janabat dan yang lain karena meninggal, sebagaimana yang ditetapkan Syaikhuna.” (Bujairami ala al-Manhaj 1/452)

SHALAT JENAZAH DALAM TERBELO

Sahkah shalat jenazah didalam terbelo?

Shalat tersebut hukumnya sah.

نَعَمْ لَوْ كَانَ الْمَيِّتُ فِيْ صُنْدُوْقٍ لاَ يَضُرُّ [نِهاية الزين 159]

“Benar demikian, andaikan jenazah dalam terbelo maka menshalatinya tidak mengapa, sah”. (Nihayah al-Zain 159).

SHALAT JENAZAH DAN ASHAR

Ketika waktu Ashar sudah tiba mana yang didahulukan, shalat jenazah ataukah shalat Ashar?

Jika waktunya masih longgar seyogyanya mengerjakan shalat jenazah terlebih dahulu dan jika waktunya sudah sempit maka wajib mendahulukan shalat Ashar. Demikian ini selama tidak ada unsur kesengajaan mengerjakannya usai shalat Ashar.

وَمَحَلُّ جَوَازِ مَا لَهُ سَبَبٌ مُتَقَدِّمٌ أَوْ مُقَارِنٌ إِنْ لَمْ يَتَحَرَّ بِهِ وَقْتَ الْكَرَاهَةِ، وَإِلاَّ كَاَنْ أَخَّرَ فَائِتَةً أَوْ جَنَازَةً لِيُوْقِعَهَا فِيْهِ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ وَقْتُ كَرَاهَةٍ أَوْ دَخَلَ الْمَسْجِدَ بِقَصْدِ التَّحِيَّةِ فَقَطْ أَيْ لاَ غَرَضَ لَهُ إِلاَّ ذَلِكَ أَوْ قَرَأَ اْلآيَةَ فِيْ هَذِهِ اْلأَوْقَاتِ بِقَصْدِ السُّجُوْدِ أَوْ فِيْ غَيْرِهَا لِيَسْجُدَ فِيْهَا حَرُمَ ذَلِكَ وَلاَ يَنْعَقِدُ [الشرقاوي 1/169]

“Adapun letak di perbolehkan shalat yang mempunyai sebab terdahulu atau bersamaan bila memang tidak disengaja mengerjakannya pada waktu makruh. Bila sengaja seperti mengakhirkan shalat qadla atau shalat janazah untuk dilak-sanakan pada waktu makruh sedangkan ia tahu bahwa waktu tersebut adalah waktu makruh, atau masuk masjid dengan tujuan tahiyyatal masjid saja (artinya tiada tujuan sama sekali selain tahiyyatal masjid), atau membaca ayat sajdah pada waktu makruh dengan tujuan sujud tilawah atau pada selain waktu makruh untuk sujud tilawah pada waktu makruh, maka hal tersebut haram dan tidak sah.” ( Al-Syarqawi 1/169)

وَلَوِ اجْتَمَعَ فَرْضٌ وَجَنَازَةٌ وَلَمْ يَخَفْ تَغَيُّرَ الْمَيِّتِ فَإِنْ كَانَ وَقْتُ الْفَرْضِ وَاسِعًا وَجَبَ تَقْدِيْمُ الْجَنَازَةِ. وَإِنْ كَانَ وَقْتُ الْفَرْضِ ضَيِّقًا وَجَبَ تَقْدِيْمُ الْفَرْضِ [ نهاية الزين 111]

“Bilamana bersamaan waktu antara shalat fardlu dan shalat jenazah serta tidak di khawatirkan akan adanya perubahan pada mayat, maka bila waktu shalat fardlu masih longgar wajiblah mendahulukan shalat jenazah. Dan bila waktunya sudah sempit maka wajib mendahulukan shalat fardlu”. (Nihayah al-Zain 111)

[+/-] Selengkapnya...

Menjama' taqdim shalat jum'at

MENJAMA’ TAQDIM SHALAT JUM’AT

Dalam bepergian jauh, kadang-kadang ketika waktu shalat Jum’at berlangsung, seseorang masih di tengah-tengah perjalanan.

a. Bolehkah shalat Jum’at dijama’ taqdim dengan shalat Ashar?

b. Bolehkah meninggalkan shalat Jum’at dengan melakukan shalat Dhuhur?

Menjama’ taqdim shalat Jum’at dengan Ashar hukumnya boleh. Sedang meninggalkan shalat Jum’at dengan alasan bepergian hukumnya tidak boleh, kecuali ketika keluar dari batas desanya (sur) sebelum waktu Shubuh tiba.

يَجُوْزُ فِي السَّفَرِ الَّذِيْ يَجُوْزُ فِيْهِ الْفِطْرُ الْجَمْعُ بَيْنَ الْعَصْرَيْنِ أَيِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ (قوله أَيِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ) أَيْ وَالْجُمْعَةُ كَالظُّهْرِ فِيْ جَمْعِ التَّقْدِيْمِ كَأَنْ يُقِيْمَ بِبَلَدِ

الْجُمْعَةِ إِقَامَةً لاَ تَمْنَعُ التَّرَخُّصَ فَلَهُ أَنْ يُصَلِّيَ الْجُمْعَةَ ثُمَّ الْعَصْرَ عَقِبَهَا. وَأَمَّا جَمْعُ التَّأْخِيْرِ فَيَمْتَنِعُ لاسْتِحَالَةِ تَأْخِيْرِ الْجُمْعَةِ [موهبة ذي الفضل 3/174]

“Dalam perjalanan yang diperbolehkan berbuka puasa, diperbolehkan juga menjama’ antara Dhuhur dan Ashar. Kalimat “Dhuhur dan Ashar” yakni shalat Jum’at seperti shalat Dhuhur, juga boleh dijama’ taqdim, seperti ketika ia mukim di daerah yang didirikan shalat Jum’at yang diperbolehkan untuk tarakhkhus (menggunakan keringanan

hukum), maka ia boleh melakukan shalat Jum’at lalu shalat Ashar (menjama’ taqdim). Adapun menjama’ ta’khir tidak diperkenankan karena tidak dimungkinkannya mengakhir- kan shalat Jum’at pada waktu Ashar.” (Muhibah Dzi al Fadl III/174).

(وَ) حَرُمَ عَلَى مَنْ تَلْزَمُهُ الْجُمْعَةُ وَإِنْ لَمْ تَنْعَقِدْ بِهِ (سَفَرٌ) تَفُوْتُ بِهِ الْجُمْعَةُ كَأَنْ ظَنَّ أَنَّهُ لاَ يُدْرِكُهَا فِيْ طَرِيْقِهِ أَوْ مَقْصَدِهِ وَلَوْ كَانَ السَّفَرُ طَاعَةً مَنْدُوْبًا أَوْ وَاجِبًا (بَعْدَ فَجْرِهَا) أَيْ فَجْرِ يَوْمِ الْجُمْعَةِ [هامش إعانة الطالبين 2/96].

“Haram bagi orang yang berkewajiban shalat Jum’at sekalipun tidak menjadikan sahnya, bepergian yang dapat meluputkan shalat Jum’at -- misalnya ia memperkirakan tidak akan dapat mengejar shalat Jum’at dalam perjalanan

atau di tempat tujuan, meskipun bepergiannya itu bepergian taat, baik sunat ataupun wajib -- setelah terbit fajar hari Jum’at. “ (I’anah al-Thalibin II/96).

[+/-] Selengkapnya...

Kotak amal saat khutbah

KOTAK AMAL SAAT KHUTBAH

Untuk membiayai kebutuhan masjid pengurus menge-darkan kotak amal pada saat khutbah berlangsung, Bagaimana hukumnya ?

Mengedarkan kotak amal tersebut hukumnya makruh bilamana tidak menimbulkan tasywisy dan haram bila menimbulkan tasywisy.

(فَرْعٌ) يُكْرَهُ كَرَاهَةً قَوِيَّةً كِتَابَةُ الْحَفَائِظِ فِيْ رَمَضَانَ وَتَفْرِقَتُهَا عَلَى الْمُصَلِّيْنَ وَقَبُوْلُهُمْ لَهَا وَالْمَشْيُ بَيْنَ الصُّفُوْفِ لِلسُّؤَالِ أَوْ غَيْرِهِ وَالتَّصَدُّقُ عَلَيْهِ [قليوبي 1/283]

“(Cabang). Makruh kuat hukumnya menulis jimat-jimat di bulan Ramadlan kemudian mengedarkan pada orang–orang yang sedang shalat, juga penerima mereka, dan berjalan di antara barisan shalat untuk meminta dan lainnya, serta memberinya sedekah.” (Qalyubi I/283)

وَلاَ يَنْبَغِي التَّصَدُّقُ فِي الْمَسْجِدِ وَيَلْزَمُ مَنْ رَآهُ اْلإِنْكَارُ عَلَيْهِ وَمَنْعُهُ إِنْ قَدَرَ، وَيُكْرَهُ السُّؤَالُ فِيْهِ بَلْ يَحْرُمُ إِنْ شَوَّشَ عَلَى الْمُصَلِّيْنَ أَوْ مَشَى أَمَامَ الصُّفُوْفِ أَوْ تَخَطَّى رِقَابَهُمْ

[بجيرمي على الخطيب 1/326]

“Tidak seyogyanya memberi sedekah di dalam masjid dan wajib ingkar bagi orang yang melihatnya serta mencegah bila mampu. Juga makruh meminta-minta dan haram bila menimbulkan tasywisy pada orang-orang yang sedang shalat atau berjalan di muka barisan dan melangkahi leher mereka.” (Bujairami ‘ala Al-Khatib I/326)

[+/-] Selengkapnya...

Nyelonong untuk khutbah/imam

Sebagaimana tradisi yang berlaku, khatib dan imam Jum’at digilir berdasarkan hasil musyawarah masyarakat. Suatu ketika seseorang yang tidak mendapat giliran, nyelonong berkhutbah sekaligus mengimami.

a. Bagaimana hukumnya nyelonong berkhutbah dan mengimami tersebut?

b. Bagaimana hukum Jum’atannya?

Nyelonong berkhutbah dan mengimami hukumnya haram, sebab termasuk ghashab. Sedang Jum’atannya sah.

فَصْلٌ فِي الْغَصْبِ. وَهُوَ إلى أن قال : وَشَرْعًا اسْتِيْلاَءٌ عَلَى حَقِّ الْغَيْرِ بِلاَ حَقٍّ (قوله عَلَى حَقِّ الْغَيْرِ) وَلَوْ مَنْفَعَةً كَإِقَامَةِ مَنْ قَعَدَ بِمَسْجِدٍ أَوْ سُوْقٍ وَإِنْ لَمْ يَسْتَوْلِ عَلَى مَحَلِّهِ إلى ان قال وَالْقُعُوْدُ لِذِكْرٍ أَوْ تَسْبِيْحٍ أَوْ سَمَاعِ قُرْآنٍ حُكْمُهُ كَالْجَالِسِ لِلصَّلاَةِ [بجيرمي علي الخطيب 3/137].

“Ghashab menurut terminologi syara’ adalah menguasai hak orang lain dengan cara yang tidak benar. Kalimat “hak orang lain” sekalipun hanya berupa manfaat (bukan materi), seperti menyuruh berdiri orang yang telah duduk di masjid atau di pasar, meskipun ia tidak menduduki tempat tersebut … Duduk-duduk di masjid untuk berdzikir, membaca tasbih ataupun mendengarkan Alqur’an, hukumnya seperti orang duduk untuk shalat.” (Bujairami ‘ala al-Khatib III/137).

(قَوْلُهُ كَجُلُوْسِهِ عَلَى فِرَاشِ غَيْرِهِ) إلى أن قال أَيْ وَكَجُلُوْسِهِ عَلَى فِرَاشِ غَيْرِهِ أَيْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَهُوَ غَاصِبٌ لَهُ وَإِنْ لَمْ يَنْقُلْهُ [إعانة الطالبين 3/137]

“Kalimat ‘seperti duduk di atas tikar orang lain’ yakni tanpa seizin, maka statusnya juga mengghashab, meskipun tanpa memindahkan.” (I’anah al-Thalibin I/137).

(قوله وَلَيْسَ لِلْعَارِيْ غَصْبُ الثَّوْبِ) أَيْ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَأْخُذَ الثَّوْبَ قَهْرًا مِنْ مَالِكِهِ فَلَوْ أَخَذَهُ وَصَلَّى بِهِ صَحَّتْ صَلاَتُهُ مَعَ الْحُرْمَةِ كَمَا مَرَّ [إعانة الطالبين 1/114].

“Kalimat ‘tidak boleh bagi orang yang telanjang mengghashab pakaian,’ yakni tidak boleh mengambil pakaian orang lain secara paksa. Andai ia mengambil pakaian tersebut untuk digunakan shalat, maka tetap sah

shalatnya, namun haram, sebagaimana keterangan yang terdahulu.” (I’anah al-Thalibin I/114).

[+/-] Selengkapnya...

Shalat Jum'at terlambat

Ketika hendak melakukan shalat Jum’at, seseorang sudah terlambat satu raka’at, kemudian seorang lagi tertinggal dua raka’at.

a. Bagaimana cara niat shalatnya?

b. Bagaimana cara menyempurnakan raka’atnya?

Ma’mum yang mengikuti hanya satu raka’at, wajib niat shalat Jum’at, dan setelah imam salam tinggal menyusuli satu raka’at. Sedang ma’mum yang tertinggal dua raka’at, niatnya tetap niat shalat Jum’at (نوى ولا صلى) kemudian menyusuli empat raka’at setelah salamnya imam (صلىولانوى).

وَلَوْ أَدْرَكَ الْمَسْبُوْقُ رُكُوْعَ الثَّانِيَةِ وَاسْتَمَرَّ مَعَهُ إِلَىاَنْ سَلَّمَ أَتَى بِرَكْعَةٍ بَعْدَ سَلاَمِهِ جَهْرًا وَتَمَّتْ جُمْعَتُهُ اِنْ صَحَّتُْجمْعَةُ اْلامَامِ [هامش إعانة الطالبين 2/56].

“Bilamana ma’mum masbuq mendapatkan imam pada ruku’ raka’at kedua dan ia shalat bersamanya hingga imam salam, maka ma’mum tersebut wajib menyusuli satu raka’at lagi sesudah salamnya imam dengan jahr (bersuara keras ketika membaca Fatihah dan surat) dan sempurnalah shalat Jum’atnya. jika sah shalat Jum’atnya imam.” (Hamisy I’anah al-Thalibin II/56)

وَتَجِبُ عَلَى مَنْ جَاءَ بَعْدَ رُكُوْعِ الثَّانِيَةِ نِيَّةُ الْجُمْعَةِ عَلَى اْلأَصَحِّ وَإِنْ كَانَتِ الظُّهْرُ هِيَ اللاَّزِمَةَ لَهُ [إعانة الطالبين 2/56].

Wajib bagi orang yang datang setelah imam ruku’ pada raka’at kedua, berniat shalat Jum’at menurut qaul ashah, meskipun shalat Dhuhur adalah yang wajib baginya. (I’anah al-Thalibin II/56).

 

Masalah terkait:

bagaimana hukumnya?

[+/-] Selengkapnya...

Sujud berdesakan

Karena banyaknya jama’ah shalat Jum’at hingga tidak bisa melakukan sujud secara sempurna, bagaimana caranya?

Apabila tidak bisa melakukan dengan sempurna, maka bersujud di punggung ma’mum depannya. Dan apabila tidak bisa sama sekali, maka menunggu hingga tiada lagi desak-desakan.

فَإِنْ زُوْحِمَ الْمَأْمُوْمُ عَنِ السُّجُوْدِ فِي الْجُمْعَةِ نُظِرَتْ فَإِنْ قَدَرَ أَنْ يَسْجُدَ عَلَى ظَهْرِ إِنْسَانٍ لَزِمَهُ أَنْ يَسْجُدَ لِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: إِذَا اشْتَدَّ الزِّحَامُ فَلْيَسْجُدْ أَحَدُكُمْ عَلَى ظَهْرِ أَخِيْهِ إلى أن قال: وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى السُّجُوْدِ بِحَالٍ انْتَظَرَ حَتَّى يَزُوْلَ الزِّحَامُ [المهذب 1/115].

“Apabila ma’mum berdesakan sujudnya ketika shalat Jum’at, maka dilihat-lihat. Jika ia mampu bersujud di punggung orang lain, maka ia bersujud di punggung tersebut, karena keterangan hadits yang diriwayatkan oleh Umar R.A. Beliau berkata: Jika terjadi desakan yang amat sangat, maka sujudlah salah seorang di antara kalian di punggung saudaranya ..… Dan jika ia tidak bisa sujud sama sekali, maka menunggu hingga tidak ada desak-desakan lagi.” (Al-Muhadzdzab I/115).

 

Bagaimana hukum Shalat hari-hari tertentu

[+/-] Selengkapnya...

Shalat hari-hari tertentu

Bagaimana hukumnya sengaja melakukan shalat pada hari-hari tertentu seperti ‘Asyura, Nishfu Sya’ban dan sebagainya? Jika tidak boleh bagaimana jalan keluarnya ?

Shalat sebagaimana tersebut hukumnya tidak boleh, bid’ah qabihah. Bila melakukannya, ia harus berniat shalat sunat muthlaqah atau shalat sunat hajat, tidak berniat mengkhusus-kan hari tersebut.

(فَائِدَةٌ) أَمَّا الصَّلاَةُ الْمَعْرُوْفَةُ لَيْلَةَ الرَّغَائِبِ وَنِصْفَ شَعْبَانَ وَيَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَبِدْعَةٌ قَبِيْحَةٌ وَأَحَادِيْثُهَا مَوْضُوْعَةٌ [هامش إعانة الطالبين 1/270]

“(Faedah). Adapun shalat yang dikenal malam Raghaib, Nishfu Sya’ban dan hari Asyura itu bi’dah qabihah sedang-kan haditsnya maudlu’.” (Hamisy I’anah al-Thalibin I/270)

(تَنْبِيْهٌ) قَالَ الْعَلاَّمَةُ الشَّيْخُ زَيْنُ الدِّيْنِ تِلْمِيْذُ ابْنِ حَجَرٍ الْمَكِّيُّ فِيْ كِتَابِهِ "إِرْشَادُ الْعِبَادِ" كَغَيْرِهِ مِنْ عُلَمَاءِ الْمَذْهَبِ: وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ الَّتِيْ يَأْثَمُ فَاعِلُهَا وَيَجِبُ عَلَى وُلاَةِ اْلأَمْرِ مَنْعُ فَاعِلِهَا صَلاَةُ الرَّغَائِبِ إِلَى أَنْ قَالَ أَمَّا أَحَادِيْثُهَا فَمَوْضُوْعَةٌ بَاطِلَةٌ وَلاَ تَغْتَرَّ بِمَنْ ذَكَرَهَا اها. (قُلْتُ) وَمِثْلُهُ صَلاَةُ صَفَرَ فَمَنْ أَرَادَ الصَّلاَةَ فِيْ وَقْتٍ مِنْ هَذِهِ اْلأَوْقَاتِ فَلْيَنْوِ النَّفْلَ الْمُطْلَقَ فُرَادَى مِنْ غَيْرِ عَدَدٍ مُعَيَّنٍ وَهُوَ مَا لاَ يَتَقَيَّدُ بِوَقْتٍ وَلاَ سَبَبٍ وَلاَ حَصْرَ لَهُ [كنْز النجاح والسرور 17 – 18]

“(Perhatian). Al-‘Allamah al-Syaikh Zainuddin muridnya Ibn Hajar al-Makki di dalam kitabnya Irsyad al-‘Ibad sebagaimana ulama madzhab yang lain berkata: Termasuk bid’ah tercela yang berdosa bagi yang melakukan dan wajib bagi pemegang urusan/ kekuasaan mencegah adalah shalat Raghaib… Adapun haditsnya maudlu’ dan batal. Janganlah terpedaya orang yang menyebutnya. Aku berkata: Semisal hal tersebut adalah shalat Shafar, maka barang siapa yang hendak melakukan shalat pada waktu-waktu dimaksud hendaklah niat shalat sunat muthlaqah secara sendiri-sendiri,

tidak berjamaah, tanpa hitungan rekaat yang pasti. Nafl mutlaq adalah shalat yang tanpa terikat waktu, sebab dan hitungan rekaat.” (Kanz al-Najah wa al-Surur 17-18)

Shalat sunah belum qadla fardlu

[+/-] Selengkapnya...

Shalat sunah belum qadla' fardlu

Seseorang meninggalkan shalat fardlu dan belum diqadla’ kemudian ia melakukan shalat sunnat. Bagaimana hukumnya?

Melakukan shalat sunat tersebut hukumnya haram, apabila meninggalkannya tanpa ada udzur, namun sah shalatnya.

(وَيُبَادِرُ) مَنْ مَرَّ (بِفَائِتٍ) وُجُوْبًا اِنْ فَاتَ بِلاَ عُذْرٍ فَيَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ فَوْرًا قَالَ شَيْخُنَا أَحْمَدُ بْنُ حَجَرٍ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى وَالَّذِيْ يَظْهَرُ أَنَّهُ يَلْزَمُهُ صَرْفُ جَمِيْعِ زَمَنِهِ لِلْقَضَاءِ مَا عَدَا مَا يَحْتَاجُ لِصَرْفِهِ فِيْمَا لاَ بُدَّ مِنْهُ وَأَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ التَّطَوُّعُ. (قَوْلُهُ وَأَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ التَّطَوُّعُ) أَيْ مَعَ صِحَّتِهِ خِلاَفًا لِلزَّرْكَشِيّ [إعانة الطالبين 1/23].

“Seorang mukallaf wajib segera mengqadha’ shalatnya apabila ia meninggalkannya tanpa udzur. Syikhuna Ahmad ibn Hajar rahimahullah berkata: Menurut qaul dhahir, ia wajib menggunakan seluruh waktunya untuk mengqadha’ shalatnya, kecuali untuk hal-hal yang memang harus ia kerjakan dan ia haram melakukan shalat sunat. Kalimat “haram dan seterusnya” yakni sah shalatnya. Berbeda dengan pendapat Al-Zarkasyi.” (I’anah al-Thalibin I/23).

Bepergian ulang waktu shalat

[+/-] Selengkapnya...

Bepergian ulang waktu

Seseorang bepergian ke luar negeri dengan menggunakan pesawat terbang. Sebelum berangkat ia sudah mengerjakan shalat Maghrib, namun sesampainya di tempat tujuan malah masih waktu Ashar. Haruskah ia mengulang shalat Maghrib ketika waktunya tiba ?

Orang tersebut wajib mengulang kembali shalat Maghrib ketika saatnya tiba.

وَهَذَا الْحُكْمُ لاَ يَخْتَصُّ بِالصَّوْمِ بَلْ يَجْرِيْ فِيْ غَيْرِهِ أَيْضًا حَتَّى لَوْ صَلَّى الْمَغْرِبَ بِمَحَلٍّ وَسَافَرَ إِلَى بَلَدٍ فَوَجَدَهَا لَمْ تَغْرُبْ وَجَبَتِ اْلإِعَادَةُ [كاشفة السجا 109]

“Hukum ini tidak terbatas hanya pada masalah puasa tetapi juga berlaku pada masalah-masalah yang lain, sehingga andaikan seseorang telah mengerjakan shalat Maghrib di suatu tempat kemudian ia bepergian ke negara lain, sesampainya di sana matahari belum terbenam maka ia wajib i’adah, mengulang shalat Maghrib tadi.” (Kasyifah al-Saja 109)

Bagaimana hukum berjamaah dengan imam fasiq ?

[+/-] Selengkapnya...

Imam Fasiq

Bagaimana hukum berjamaah dengan imam yang fasiq ?

Bagaimana pula hukum mengangkatnya sebagai imam rawatib ?

Berjamaah dengan orang yang fasiq hukumnya boleh. Sedang pengangkatannya tidak boleh.

وَسَادِسُهَا (مَنْ تُكْرَهُ إِمَامَتُهُ) مَعَ جَوَازِهَا (وَهُوَ الْفَاسِقُ وَالْمُبْتَدِعُ

إِنْ لَمْ يَكْفُرْ بِبِدْعَتِهِ وَغَيْرُهُمَا) [هامش الشرقاوي1/246 – 247]

Bagian keenam adalah orang yang makruh menjadi imam meskipun boleh, yaitu orang fasiq (orang yang melakukan dosa besar atau melanggengkan dosa kecil namun kebaikan-nya tidak seimbang dengan keburukannya), orang yang berbuat bid’ah namun bid’ahnya tidak sampai menyebabkan ia kufur, dan selain mereka berdua.” (Hamisy al-Syarqawi I/246-247)

وَلاَ يَجُوْزُ لأَحَدٍ مِنْ وُلاَةِ اْلأُمُوْرِ نَصْبُ إِمَامٍ فَاسِقٍ لِلصَّلَوَاتِ وَإِنْ صَحَّحْنَا الصَّلاَةَ خَلْفَهُ [الشرقاوي 1/247]

“Tidak boleh bagi pemegang urusan mengangkat orang fasiq menjadi imam berbagai shalat sekalipun sah berjamaah dibelakangnya.” (Al-Syarqawi I/247)

 Sahkah shalatnya orang yang terkantuk-kantuk ?

[+/-] Selengkapnya...

Shalat Terkantuk-kantuk

Sahkah shalat seseorang dengan terkantuk-kantuk ?

Shalatnya orang terkantuk-kantuk itu sah, karena wudlunya tidak batal.

اَلنَّاقِضُ الثَّانِيْ زَوَالُ الْعَقْلِ وَلَهُ أَسْبَابٌ مِنْهَا النَّوْمُ وَحَقِيْقَتُهُ اسْتِرْخاَءُ الْبَدَنِ وَزَوَالُ شُعُوْرِهِ وَخَفَاءُ كَلاَمِ مَنْ عِنْدَهُ وَلَيْسَ فِيْ مَعْنَاهُ النُّعَاسُ فَإِنَّهُ لاَ يَنْقُضُ الْوُضُوْءَ بِكُلِّ حَالٍ [كفاية الأخيار 1/33]

“Yang membatalkan wudlu kedua adalah hilang akalnya, yang disebabkan antara lain tidur. Hakikat tidur adalah mengendorkan tubuh, hilang kesadaran dan sepi bicara. Sedangkan kantuk tidak termasuk dalam kategori arti tidur, karena itu tidak membatalkan wudlu apapun.” (Kifayah al-Akhyar II/33)

[+/-] Selengkapnya...

Mengetahui najis usai mengerjakan Shalat

Seorang imam baru mengetahui dirinya membawa najis usai shalat. Wajibkah ia memberitahukan kepada makmum ? Apakah imam dan makmum tersebut harus mengulang shalat ?

Jika najis yang dibawa oleh imam itu tampak jelas sekira makmum memperhatikannya, najis tersebut dapat terlihat, maka imam wajib memberitahu dan makmum wajib mengulang shalat, namun menurut pendapat Imam Nawawi tidak wajib i’adah.

Jika najis tersebut samar, maka :

- bila makmumnya bukan masbuq, imam tidak wajib memberitahu dan makmum tersebut tidak pula wajib

i’adah, baik diberitahu ataupun tidak, dan;

- bila masbuq (makmum yang tidak cukup waktu untuk membaca Fatihah di saat berdirinya imam), imam wajib memberitahu dan si masbuq manakala belum salam atau sesudah salam tetapi masih dalam tempo yang pendek, maka ia harus menambah satu rekaat dan sujud sahwi dan manakala dalam tempo yang lama, maka ia harus i’adah.

Dalam semua kasus tersebut sudah barang tentu imam wajib i’adah.

(فَائِدَةٌ) يَجِبُ عَلَى اْلإِمَامِ إِذَا كَانَتِ النَّجَاسَةُ ظَاهِرَةً إِخْبَارُ الْمَأْمُوْمِ بِذَلِكَ لِيُعِيْدَ صَلاَتَهُ أَخْذًا مِنْ قَوْلِهِمْ: لَوْ رَأَى عَلَى ثَوْبِ مُصَلٍّ نَجَاسَةً وَجَبَ إِخْبَارُهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ آثِمًا اهاع ش عَلَى م ر [بجيرمي على المنهج

1/310]

“(Faedah). Wajib bagi imam yang membawa najis tampak jelas, memberitahu makmum perihal tersebut agar mengu-lang shalatnya, berdasarkan perkataan ulama, andaikan seseorang melihat najis pada baju seseorang yang sedang shalat maka ia wajib memberitahunya meskipun tidak ber-dosa”. (Bujairami ‘ala al-Manhaj 1/310).

وَصَحَّحَ النَّوَوِيُّ فِي التَّحْقِيْقِ عَدَمَ وُجُوْبِ اْلإِعَادَةِ مُطْلَقًا. (قَوْلُهُ مُطْلَقًا) سَوَاءٌ كَانَ الْخَبَثُ الَّذِيْ تَبَيَّنَ فِي اْلإِمَامِ ظَاهِرًا أَوْ خَفِيًّا

[إعانة الطالبين 2/46]

“Al-Nawawi di dalam kitab Al-Tahqiq membenarkan bahwa makmum tidak wajib mengulang shalat secara mutlak. Kata ‘mutlak‘ baik najis yang dibawa imam itu tampak jelas ataupun samar “. (I’anah al-Thalibin II/46).

وَلَوْ تَذَكَّرَ اْلإِمَامُ بَعْدَ صَلاَتِهِ أَنَّهُ كَانَ مُحْدِثًا أَوْ ذَا نَجَاسَةٍ خَفِيَّةٍ وَعَلِمَ أَنَّ بَعْضَ الْمَسْبُوْقِيْنَ رَكَعَ مَعَهُ قَبْلَ أَنْ يُتِمَّ الْفَاتِحَةَ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُعْلِمَهُ بِحَالِهِ لِيُعِيْدَ صَلاَتَهُ إِنْ كَانَ قَدْ سَلَّمَ وَطَالَ الْفَصْلُ وَإِلاَّ يَأْتِيْ بِرَكْعَةٍ فَقَطْ وَيَسْجُدُ لِلسَّهْوِ [تنوير القلوب

156 –157]

“Andaikata usai shalat imam ingat bahwa dirinya sedang hadats atau membawa najis yang samar dan ia mengetahui bahwa sebagian makmum masbuq mengikuti rukuknya sebelum sempat menyempurnakan fatihah, maka ia wajib memberitahu perihal keadaan dirinya agar makmum tersebut mengulang shalat bila sudah salam dan dalam tempo yang lama. Bila belum/barusan salam maka menambah satu rekaat dan sujud sahwi.” (Tanwir al-Qulub 156-157).

لاَ إِنْ بَانَ ذَا حَدَثٍ وَلَوْ حَدَثًا أَكْبَرَ وَذَا نَجَاسَةٍ خَفِيَّةٍ فِيْ ثَوْبِهِ أَوْ بَدَنِهِ فَلاَ تَجِبُ اْلإِعَادَةُ عَلَى الْمُقْتَدِيْ لانْتِفَاءِ التَّقْصِيْرِ

مِنْهُ فِىْ ذَالِكَ [فتح الوهاب

1/63]

“Tidak wajib i’adah jika imamnya sedang berhadats sekali-pun hadats besar dan membawa najis yang samar di pakaian atau badan, maka tidak wajib mengulang shalat bagi makmum karena tidak adanya kesalahan dari makmum dalam hal tersebut.” (Fath al-Wahhab I/63).

وَلَوْ صَلَّى بِنَجْسٍ غَيْرِ مَعْفُوٍّ عَنْهُ لَمْ يَعْلَمْهُ أَوْ عَلِمَهُ ثُمَّ نَسِيَ فَصَلَّى ثُمَّ تَذَكَّرَ وَجَبَتِ اْلإِعَادَةُ فِي الْوَقْتِ أَوْ بَعْدَهُ لِتَفْرِيْطِهِ بِتَرْكِ التَّطْهِيْرِ وَتَجِبُ إِعَادَةُ كُلِّ صَلاَةٍ تَيَقَّنَ فِعْلَهَا مَعَ النَّجْسِ، بِخِلاَفِ مَا إِذَا احْتَمَلَ حُدُوْثُهُ بَعْدَهَا فَلاَ تَجِبُ إِعَادَتُهَا، لَكِنْ تُسَنُّ كَمَا قَالَهُ فِي الْمَجْمُوْعِ [فتح الوهاب 1/50].

“Andaikan seseorang shalat tidak tahu bahwa dirinya mem-bawa najis yang tidak dimakfu, atau sebelumnya ia tahu kemudian lupa lalu shalat, kemudian ingat kembali maka wajib mengulang shalat ketika ingat atau sesudahnya, kare-na kesalahannya dengan meninggalkan bersuci. Begitu juga wajib mengulang tiap-tiap shalat yang ia yakini mengerja-kannya dalam keadaan najis, berbeda jika najis tersebut dimungkinkan adanya setelah shalat maka tidak wajib mengulang, namun disunatkan sebagaimana keterangan di Al-Majmu’.” (Fath al-Wahhab I/50).

[+/-] Selengkapnya...

Ragu Sudah Baca Fatihah

Ada orang shalat, pada waktu ruku’ timbul kebimbangan, apakah sudah membaca Fatihah atau belum. Apa yang harus ia kerjakan?

Bila ia tidak sebagai ma’mum (munfarid atau imam) maka harus segera kembali berdiri dan membaca Fatihah. Bila ia sebagai ma’mum, maka ia harus tetap mengikuti imam, kemudian setelah imam salam, ia menambah satu raka’at.

(وَلَوْ سَهَا غَيْرُ الْمَأْمُوْمِ)فِي التَّرْتِيْبِ (بِتَرْكِ رُكْنٍ)إلى أن قال (أَوْ شَكَّ)هُوَ أَيْ غَيْرُ الْمَأْمُوْمِ فِيْ رُكْنٍ هَلْ فَعَلَ أَمْ لاَ، كَأَنْ شَكَّ رَاكِعًا هَلْ قَرَأَ الْفَاتِحَةَ أَوْ سَاجِدًا هَلْ رَكَعَ أَوِ اعْتَدَلَ (اَتَى بِهِ فَوْرًا) وُجُوْبًا (إِنْ كَانَ الشَّكُّ قَبْلَ فِعْلِ مِثْلِهِ) أَيْ فِعْلِ الْمَشْكُوْكَ فِيْهِ مِنْ رَكْعَةٍ أُخْرَى[هامش إعانة الطالبين 1/178-179]

Apabila selain ma’mum (munfarid atau imam) lupa tertib dengan meninggalkan rukun… atau ia ragu mengenai rukun apa sudah dikerjakan atau belum – misalnya ketika ruku’ ia ragu apa sudah membaca Fatihah, atau ketika sujud apa sudah ruku’ atau i’tidal – maka ia wajib segera mengerja-kan rukun yang diragukan tadi, apabila keraguan timbul sebelum ia mengerjakan rukun yang sama, yakni sama dengan yang diragukan dari raka’at berikutnya”. (Hamisy I’anah al-Thalibin I/178-179)

أَمَّا مَأْمُوْمٌ عَلِمَ أَوْ شَكَّ قَبْلَ رُكُوْعِهِ وَبَعْدَ رُكُوْعِ إِمَامِهِ أَنَّهُ تَرَكَ

الْفَاتِحَةَ فَيَقْرَأُهَا وَيَسْعَى خَلْفَهُ، وَبَعْدَ رُكُوْعِهِمَا لَمْ يَعُدْ إِلَى الْقِيَامِ لِقِرَاءتِهِ الْفَاتِحَةَ بَلْ يَتْبَعُ إِمَامَهُ وَيُصَلِّيْ رَكْعَةً بَعْدَ سَلاَمِ اْلإِمَامِ [هامش إعانة الطالبين 1/180].

“Adapun ma’mum yang sudah mengetahui atau rag sebelum ia ruku’ namun imam sudah ruku’, bahwa ia belum membaca Fatihah, maka ia harus membaca Fatihahnya lalu menyusul imam. Dan apabila tahunya/ragunya sesudah mereka (imam dan ma’mum) ruku’, maka tidak perlu berdiri lagi untuk membaca Fatihah, tetapi mengikuti imam dan menambah satu raka’at setelah salamnya imam” .(Hamisy I’anah al-Thalibin I/180).

[+/-] Selengkapnya...

ADZAN WANITA

Bolehkah seorang perempuan menjadi muadzin di pondok putri ?

Adzan seorang perempuan sesama perempuan hukumnya boleh, akan tetapi tidak disunatkan.

وَ) سُنَّ (إِقَامَةٌ لأُنْثَى) سِرًّا وَخُنْثَى فَإِنْ أَذَّنَتْ لِلنِّسَاءِ سِرًّا )

لَمْ يُكْرَهْ أَوْ جَهْرًا حَرُمَ (قَوْلُهُ وَسُنَّ إِقَامَةٌ لأُنْثَى) أَيْ لِنَفْسِهَاوَلِلنِّسَاءِ لاَ لِلرِّجَالِ وَالْخُنَاثِيْ وَلاَ يُسَنُّ لَهَا اْلأَذَانُ مُطْلَقًا [إعانة الطالبين 1/233

“Disunatkan iqamat bagi wanita dengan suara pelan, demikian pula waria. Bilamana seorang wanita adzan sesama wanita dengan suara pelan maka tidak makruh, atau dengan suara keras maka haram. Kalimat “disunatkan iqamat bagi wanita” yakni bagi dirinya atau sesama wanita, bukan terhadap para pria dan waria. Tidaklah disunatkan bagi wanita adzan secara mutlak”.(I’anah al-Thalibin I/233).

[+/-] Selengkapnya...

Memegang Alqur'an Istambul

Bagaimana hukum orang berhadast memegang Alqur’an Istanbul ?

Memegang Alqur’an Istanbul bagi orang berhadast itu boleh

hukumnya bilamana dimaksudkan untuk tamimah (azimat).(1)

وَخَرَجَ بِهِ مَا قُصِدَ لِلتَّمِيْمَةِ وَلَوْ مَعَ الْقُرْآنِ كَمَا مَرَّ فَلاَ يَحْرُمُ مَسُّهَا وَلاَ حَمْلُهَا وَإِنِ اشْتَمَلَتْ عَلَى سُوَرٍ بَلْ قَالَ الشَّيْخُ الْخَطِيْبُ وَإِنِ اشْتَمَلَتْ عَلَى جَمِيْعِ الْقُرْآنِ، وَخَالَفَهُ شَيْخُنَا الرَّمْلِيّ [قليوبي 1/36]

“Dikecualikan dari tujuan Alqur’an, bila bertujuan untuk azimat meskipun disertai tujuan Alqur’an sebagaimana keterangan yang telah lewat, maka tidaklah haram menyentuh, memegang dan membawanya walaupun mengandung beberapa surat. Bahkan Al-Syaikh al-Khatib berkata, walaupun mengandung seluruh Alqur’an penuh. Berbeda dengan pendapat Syaikhuna al-Ramli” (Qalyubi I/36).

[+/-] Selengkapnya...

Mensucikan Najis Tanpa Niat

Sahkah mensucikan najis tanpa diniati atau disengaja ?

Mensucikan najis tanpa diniati atau disengaja, hukumnya sah.

الطَّهَارَةُ ضَرْبَانِ طَهَارَةٌ عَنْ حَدَثٍ وَطَهَارَةٌ عَنْ نَجْسٍ. فَأَمَّا الطَّهَارَةُ عَنِ النَّجْسِ فَلاَ تَفْتَقِرُ إِلَى النِّيَّةِ لأَنَّهَا مِنْ بَابِ التُّرُوْكِ فَلَمْ تَفْتَقِرْ إِلَى النِّيَّةِ كَتَرْكِ الزّنَا وَالْخَمْرِ وَاللِّوَاطِ وَالْغَصْبِ وَالسَّرِقَةِ [المهذب 1/14

“Bersuci ada dua macam; bersuci dari hadats dan bersuci dari najis. Untuk yang kedua tidak diperlukan niat karena termasuk bab yang perlu ditinggalkan, seperti menghindari zina, minum arak, homo, ghasab dan mencuri”. (Al-Muhadzdzab I/14).

[+/-] Selengkapnya...

DARAH HAID TERSENDAT

Seorang perempuan mengeluarkan darah haid dengan tersendat-sendat. Beberapa jam keluar, kemudian beberapa jam lagi berhenti. Keluar berhenti tersebut berlangsung hingga tujuh hari. Kalau dihitung jumlah keseluruhan masa darah yang keluar hanya dua hari. Berapa harikah yang dihukumi haid tersebut ?

Perempuan tersebut dihukumi haid tujuh hari, menurut pendapat yang mu’tamad.

وَأَمَّا اْلأَقَلُّ الَّذِيْ مَعَ غَيْرِهِ فَلَيْسَ فِيْهِ اتِّصَالٌ بَلْ يَتَخَلَّلُهُ نَقَاءٌ بِأَنْ تَرَى وَقْتًا دَمًا وَوَقْتًا نَقَاءً وَهُوَ حَيْضٌ تَبَعًا لَهُ بِشَرْطِ أَنْ لاَ يُجَاوِزَ ذَلِكَ خَمْسَةَ عَشَرَ يَوْمًا وَلَمْ يَنْقُصِ الدَّمُ عَنْ أَقَلِّ الْحَيْضِ وَهَذَا يُسَمَّى قَوْلَ السَّحْبِ لأَنَّنَا سَحَبْنَا الْحُكْمَ بِالْحَيْضِ عَلَى النَّقَاءِ أَيْضًا وَجَعَلْنَا الْكُلَّ حَيْضًا وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ [الباجوري ]1 /110]

“Adapun paling sedikitnya haid yang bersamaan dengan lainnya yang tidak beruntun, tapi diselingi masa suci, misalnya seorang wanita melihat darah beberapa waktu dan suci beberapa waktu. Semuanya itu adalah haid dengan syarat tidak melewati 15 hari dan keluar waktu darahnya tidak kurang dari sedikitnya haid (24 jam). Ini disebut “qaul al-sahb”, karena kita menarik hukum haid untuk waktu suci dan semuanya kita hukumi haid. Ini adalah qaul mu’tamad” (Al-Bajuri I/110).

[+/-] Selengkapnya...