Sujud berdesakan

Karena banyaknya jama’ah shalat Jum’at hingga tidak bisa melakukan sujud secara sempurna, bagaimana caranya?

Apabila tidak bisa melakukan dengan sempurna, maka bersujud di punggung ma’mum depannya. Dan apabila tidak bisa sama sekali, maka menunggu hingga tiada lagi desak-desakan.

فَإِنْ زُوْحِمَ الْمَأْمُوْمُ عَنِ السُّجُوْدِ فِي الْجُمْعَةِ نُظِرَتْ فَإِنْ قَدَرَ أَنْ يَسْجُدَ عَلَى ظَهْرِ إِنْسَانٍ لَزِمَهُ أَنْ يَسْجُدَ لِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: إِذَا اشْتَدَّ الزِّحَامُ فَلْيَسْجُدْ أَحَدُكُمْ عَلَى ظَهْرِ أَخِيْهِ إلى أن قال: وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى السُّجُوْدِ بِحَالٍ انْتَظَرَ حَتَّى يَزُوْلَ الزِّحَامُ [المهذب 1/115].

“Apabila ma’mum berdesakan sujudnya ketika shalat Jum’at, maka dilihat-lihat. Jika ia mampu bersujud di punggung orang lain, maka ia bersujud di punggung tersebut, karena keterangan hadits yang diriwayatkan oleh Umar R.A. Beliau berkata: Jika terjadi desakan yang amat sangat, maka sujudlah salah seorang di antara kalian di punggung saudaranya ..… Dan jika ia tidak bisa sujud sama sekali, maka menunggu hingga tidak ada desak-desakan lagi.” (Al-Muhadzdzab I/115).

 

Bagaimana hukum Shalat hari-hari tertentu

[+/-] Selengkapnya...

Shalat hari-hari tertentu

Bagaimana hukumnya sengaja melakukan shalat pada hari-hari tertentu seperti ‘Asyura, Nishfu Sya’ban dan sebagainya? Jika tidak boleh bagaimana jalan keluarnya ?

Shalat sebagaimana tersebut hukumnya tidak boleh, bid’ah qabihah. Bila melakukannya, ia harus berniat shalat sunat muthlaqah atau shalat sunat hajat, tidak berniat mengkhusus-kan hari tersebut.

(فَائِدَةٌ) أَمَّا الصَّلاَةُ الْمَعْرُوْفَةُ لَيْلَةَ الرَّغَائِبِ وَنِصْفَ شَعْبَانَ وَيَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَبِدْعَةٌ قَبِيْحَةٌ وَأَحَادِيْثُهَا مَوْضُوْعَةٌ [هامش إعانة الطالبين 1/270]

“(Faedah). Adapun shalat yang dikenal malam Raghaib, Nishfu Sya’ban dan hari Asyura itu bi’dah qabihah sedang-kan haditsnya maudlu’.” (Hamisy I’anah al-Thalibin I/270)

(تَنْبِيْهٌ) قَالَ الْعَلاَّمَةُ الشَّيْخُ زَيْنُ الدِّيْنِ تِلْمِيْذُ ابْنِ حَجَرٍ الْمَكِّيُّ فِيْ كِتَابِهِ "إِرْشَادُ الْعِبَادِ" كَغَيْرِهِ مِنْ عُلَمَاءِ الْمَذْهَبِ: وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ الَّتِيْ يَأْثَمُ فَاعِلُهَا وَيَجِبُ عَلَى وُلاَةِ اْلأَمْرِ مَنْعُ فَاعِلِهَا صَلاَةُ الرَّغَائِبِ إِلَى أَنْ قَالَ أَمَّا أَحَادِيْثُهَا فَمَوْضُوْعَةٌ بَاطِلَةٌ وَلاَ تَغْتَرَّ بِمَنْ ذَكَرَهَا اها. (قُلْتُ) وَمِثْلُهُ صَلاَةُ صَفَرَ فَمَنْ أَرَادَ الصَّلاَةَ فِيْ وَقْتٍ مِنْ هَذِهِ اْلأَوْقَاتِ فَلْيَنْوِ النَّفْلَ الْمُطْلَقَ فُرَادَى مِنْ غَيْرِ عَدَدٍ مُعَيَّنٍ وَهُوَ مَا لاَ يَتَقَيَّدُ بِوَقْتٍ وَلاَ سَبَبٍ وَلاَ حَصْرَ لَهُ [كنْز النجاح والسرور 17 – 18]

“(Perhatian). Al-‘Allamah al-Syaikh Zainuddin muridnya Ibn Hajar al-Makki di dalam kitabnya Irsyad al-‘Ibad sebagaimana ulama madzhab yang lain berkata: Termasuk bid’ah tercela yang berdosa bagi yang melakukan dan wajib bagi pemegang urusan/ kekuasaan mencegah adalah shalat Raghaib… Adapun haditsnya maudlu’ dan batal. Janganlah terpedaya orang yang menyebutnya. Aku berkata: Semisal hal tersebut adalah shalat Shafar, maka barang siapa yang hendak melakukan shalat pada waktu-waktu dimaksud hendaklah niat shalat sunat muthlaqah secara sendiri-sendiri,

tidak berjamaah, tanpa hitungan rekaat yang pasti. Nafl mutlaq adalah shalat yang tanpa terikat waktu, sebab dan hitungan rekaat.” (Kanz al-Najah wa al-Surur 17-18)

Shalat sunah belum qadla fardlu

[+/-] Selengkapnya...

Shalat sunah belum qadla' fardlu

Seseorang meninggalkan shalat fardlu dan belum diqadla’ kemudian ia melakukan shalat sunnat. Bagaimana hukumnya?

Melakukan shalat sunat tersebut hukumnya haram, apabila meninggalkannya tanpa ada udzur, namun sah shalatnya.

(وَيُبَادِرُ) مَنْ مَرَّ (بِفَائِتٍ) وُجُوْبًا اِنْ فَاتَ بِلاَ عُذْرٍ فَيَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ فَوْرًا قَالَ شَيْخُنَا أَحْمَدُ بْنُ حَجَرٍ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى وَالَّذِيْ يَظْهَرُ أَنَّهُ يَلْزَمُهُ صَرْفُ جَمِيْعِ زَمَنِهِ لِلْقَضَاءِ مَا عَدَا مَا يَحْتَاجُ لِصَرْفِهِ فِيْمَا لاَ بُدَّ مِنْهُ وَأَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ التَّطَوُّعُ. (قَوْلُهُ وَأَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ التَّطَوُّعُ) أَيْ مَعَ صِحَّتِهِ خِلاَفًا لِلزَّرْكَشِيّ [إعانة الطالبين 1/23].

“Seorang mukallaf wajib segera mengqadha’ shalatnya apabila ia meninggalkannya tanpa udzur. Syikhuna Ahmad ibn Hajar rahimahullah berkata: Menurut qaul dhahir, ia wajib menggunakan seluruh waktunya untuk mengqadha’ shalatnya, kecuali untuk hal-hal yang memang harus ia kerjakan dan ia haram melakukan shalat sunat. Kalimat “haram dan seterusnya” yakni sah shalatnya. Berbeda dengan pendapat Al-Zarkasyi.” (I’anah al-Thalibin I/23).

Bepergian ulang waktu shalat

[+/-] Selengkapnya...

Bepergian ulang waktu

Seseorang bepergian ke luar negeri dengan menggunakan pesawat terbang. Sebelum berangkat ia sudah mengerjakan shalat Maghrib, namun sesampainya di tempat tujuan malah masih waktu Ashar. Haruskah ia mengulang shalat Maghrib ketika waktunya tiba ?

Orang tersebut wajib mengulang kembali shalat Maghrib ketika saatnya tiba.

وَهَذَا الْحُكْمُ لاَ يَخْتَصُّ بِالصَّوْمِ بَلْ يَجْرِيْ فِيْ غَيْرِهِ أَيْضًا حَتَّى لَوْ صَلَّى الْمَغْرِبَ بِمَحَلٍّ وَسَافَرَ إِلَى بَلَدٍ فَوَجَدَهَا لَمْ تَغْرُبْ وَجَبَتِ اْلإِعَادَةُ [كاشفة السجا 109]

“Hukum ini tidak terbatas hanya pada masalah puasa tetapi juga berlaku pada masalah-masalah yang lain, sehingga andaikan seseorang telah mengerjakan shalat Maghrib di suatu tempat kemudian ia bepergian ke negara lain, sesampainya di sana matahari belum terbenam maka ia wajib i’adah, mengulang shalat Maghrib tadi.” (Kasyifah al-Saja 109)

Bagaimana hukum berjamaah dengan imam fasiq ?

[+/-] Selengkapnya...

Imam Fasiq

Bagaimana hukum berjamaah dengan imam yang fasiq ?

Bagaimana pula hukum mengangkatnya sebagai imam rawatib ?

Berjamaah dengan orang yang fasiq hukumnya boleh. Sedang pengangkatannya tidak boleh.

وَسَادِسُهَا (مَنْ تُكْرَهُ إِمَامَتُهُ) مَعَ جَوَازِهَا (وَهُوَ الْفَاسِقُ وَالْمُبْتَدِعُ

إِنْ لَمْ يَكْفُرْ بِبِدْعَتِهِ وَغَيْرُهُمَا) [هامش الشرقاوي1/246 – 247]

Bagian keenam adalah orang yang makruh menjadi imam meskipun boleh, yaitu orang fasiq (orang yang melakukan dosa besar atau melanggengkan dosa kecil namun kebaikan-nya tidak seimbang dengan keburukannya), orang yang berbuat bid’ah namun bid’ahnya tidak sampai menyebabkan ia kufur, dan selain mereka berdua.” (Hamisy al-Syarqawi I/246-247)

وَلاَ يَجُوْزُ لأَحَدٍ مِنْ وُلاَةِ اْلأُمُوْرِ نَصْبُ إِمَامٍ فَاسِقٍ لِلصَّلَوَاتِ وَإِنْ صَحَّحْنَا الصَّلاَةَ خَلْفَهُ [الشرقاوي 1/247]

“Tidak boleh bagi pemegang urusan mengangkat orang fasiq menjadi imam berbagai shalat sekalipun sah berjamaah dibelakangnya.” (Al-Syarqawi I/247)

 Sahkah shalatnya orang yang terkantuk-kantuk ?

[+/-] Selengkapnya...

Shalat Terkantuk-kantuk

Sahkah shalat seseorang dengan terkantuk-kantuk ?

Shalatnya orang terkantuk-kantuk itu sah, karena wudlunya tidak batal.

اَلنَّاقِضُ الثَّانِيْ زَوَالُ الْعَقْلِ وَلَهُ أَسْبَابٌ مِنْهَا النَّوْمُ وَحَقِيْقَتُهُ اسْتِرْخاَءُ الْبَدَنِ وَزَوَالُ شُعُوْرِهِ وَخَفَاءُ كَلاَمِ مَنْ عِنْدَهُ وَلَيْسَ فِيْ مَعْنَاهُ النُّعَاسُ فَإِنَّهُ لاَ يَنْقُضُ الْوُضُوْءَ بِكُلِّ حَالٍ [كفاية الأخيار 1/33]

“Yang membatalkan wudlu kedua adalah hilang akalnya, yang disebabkan antara lain tidur. Hakikat tidur adalah mengendorkan tubuh, hilang kesadaran dan sepi bicara. Sedangkan kantuk tidak termasuk dalam kategori arti tidur, karena itu tidak membatalkan wudlu apapun.” (Kifayah al-Akhyar II/33)

[+/-] Selengkapnya...

Kasih sayang Rasulullah saw

Kasih Sayang Rosululloh SAW dalam Keluarga

image Ibnu Umar pernah datang kepada Aisyah RA dan berkata, “Izinkan kami di sini sejenak dan ceritakanlah kepada kami perkara paling mempesona dari semua yang pernah engkau saksikan pada diri Nabi.”
‘Aisyah menarik nafas panjang. Kemudian dengan terisak menahan tangis, ia
berkata dengan suara lirih, “Kaana kullu amrihi ‘ajaba. Ah, semua perilakunya menakjubkan bagiku.”
Kalau ‘Aisyah istri Rosulullah berkata, “ Ah, semua perilaku suamiku menakjubkan bagiku.”. Kira-kira apakah yang akan diucapkan oleh istri


kita jika kita sebagai suaminya ditakdirkan meninggal lebih dulu. Kita juga tidak tahu apakah yang akan diucapkan oleh anak-anak kita tentang orangtuanya.
Semuanya terpulang kepada kita. Apakah kita mau mencoba untuk menjadi bapak dan suami yang lebih menyejukkan hati –meski harus gagal berkali-kali—ataukah kita merasa telah cukup mulia dengan perhatian kita yang tak seberapa.
Banyak para bapak enggan mengusapkan tangan ke pipi anaknya yang sedang meneteskan airmata. Mereka juga tidak pernah menyempatkan diri, meski cuma sekali, untuk membaringkan tubuh anaknya yang letih hanya karena mereka merasa telah banyak berjasa dengan mencari uang yang tak seberapa.
Mereka ingin dihormati oleh anak-anaknya, tetapi dengan menciptakan jarak sehingga anak tak pernah sanggup mencurahkan isi hatinya kepada bapaknya sendiri. Mereka ingin menjadi bapak yang disegani, tetapi dengan cara membangkitkan ketakutan. Padahal Rasulullah Saw. sering mencium putrinya, Fathimatuz Zahra. Bahkan ketika putrinya telah beranjak dewasa.


Berikut ini teladan dari Junjungan Kita SAW :
Aisyah r.a.: Ada seorang Arab dusun datang kepada Nabi Saw. sambil berkata, “Engkau mencium anak-anak, sedangkan kami tidak pernah mencium mereka.” Nabi Saw. menjawab, “Apa dayaku apabila Tuhan telah mencabut kasih-sayang dari hatimu.” (HR. Bukhari).
Nabi Saw. mencontohkan bagaimana menyayangi anak. Pernah Rasulullah Saw. menggendong cucunya, Umamah binti Abi Al-Ash, ketika sedang shalat. Jika rukuk, Umamah diletakkan dan ketika bangun dari rukuk, maka Umamah diangkat kembali.
Pernah juga Rasulullah Saw. bermain kuda-kudaan dengan cucunya yang lain,Hasan dan Husain. Ketika Rasulullah Saw. sedang merangkak di atas tanah,sementara kedua cucunya berada di punggungnya, Umar datang lalu berkata,“Hai Anak, alangkah indah tungganganmu.” Rasulullah Saw. menjawab,“Alangkah indahnya para penunggangnya!”
Tak jarang Rasulullah Saw. menghadapi anak-anak dengan sikap melucu. Bila mendatangi anak-anak kecil, Rasulullah Saw. jongkok di hadapan mereka, memberi pengertian kepada mereka, juga mendo’akan mereka. Begitu hadis riwayat Ath-Thusi menceritakan.


Sementara Usamah bin Zaid memberi kesaksian, “(Sewaktu aku masih kecil ) Rasulullah Saw. pernah mengambil aku untuk didudukkan pada pahanya, sedangkan Hasan didudukkan pada paha beliau yang satunya, kemudian kami berdua didekapnya, seraya berdo’a, “Ya Allah,kasihanilah keduanya, karena aku telah mengasihi keduanya.” (HR. Bukhari).
Abu Hurairah ra pernah menceritakan: “Rasulullah saw pernah menjulurkan lidahnya bercanda dengan Al-Hasan bin Ali ra. Iapun melihat merah lidah beliau, lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira.
Pernah Beliau sholat sambil menggendong Umamah putri Zaenab binti Rasulullah saw dari suaminya yang bernama Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’. Pada saat berdiri, beliau menggendongnya dan ketika sujud, beliau meletakkannya. (Muttafaq ‘alaih)

Sumber :http://nuryahman.blogspot.com/

[+/-] Selengkapnya...