Showing posts with label Bahsul Masail. Show all posts
Showing posts with label Bahsul Masail. Show all posts

Lupa hafalan Alqur'an

Karena seringnya membaca Alqur’an seseorang menjadi hafal beberapa ayat / surat namun lama-lama ia lupa. Bagaimana hukumnya ?

Seseorang yang lupa akan hafalan Alqur’an hukumnya berdosa kecuali ia mampu menghafal kembali tanpa masyaqqah, bersusah payah.

وَمِنْ مَعَاصِي اللِّسَانِ نِسْيَانُ الْقُرْآنِ كُلِّهِ أَوْ بَعْضِهِ مِمَّا حَفِظَهُ عَنْ قَلْبٍ بِتَرْكِ قِرَاءَتِهِ وَهُوَ مِنَ الْكَبَائِرِ إِذَا لَمْ يُمْكِنْهُ حِفْظُهُ مَرَّةً ثَانِيَةً إِلاَّ بِتَعَبٍ وَمَشَقَّةٍ كَأَوَّلِ مَرَّةٍ، وَإِلاَّ بِأَنْ أَمْكَنَهُ حِفْظُهُ بالسُّهُوْلَةِ بِتَكَرُّرِهِ مَرَّةً أَوْ مَرَّتَيْنِ مَثَلاً فَلاَ يَضُرُّ هَكَذَا مَا نُقِلَ عَنِ الْمَشَايِخِ [بهجة الوسائل 37]

“Termasuk maksiat lisan yaitu lupa Alqur’an, baik keseluruhan atau sebagian dari yang telah dihafalkan, sebab meninggalkan baca Alqur’an. Hal tersebut termasuk dosa besar bila ia tidak mampu menghafal kembali kecuali dengan payah dan berat sebagaimana pertama kali menghafal. Apabila tidak payah/berat yakni dengan mudah ia mampu menghafal kembali, baik dengan mengulang-ulang sekali atau dua kali maka tidak mengapa. Demikianlah keterangan yang dinukil dari para masyayikh.” (Bahjah al-Wasail 37)

[+/-] Selengkapnya...

Merokok ketika semaan Alqur'an

Dalam semaan Alqur’an sering kita jumpai orang menyemak sambil merokok. Bagaimana hukumnya ?

Apabila merokok di lingkaran majlis qira’ah, forum semaan, hukumnya haram.

إِنَّ شُرْبَ الدُّخَّانِ مِنْ حَيْثُ هُوَ اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِيْهِ فَأَكْثَرُهُمْ عَلَى التَّحْرِيْمِ وَبَعْضُهُمْ قَالَ إِنَّهُ مَكْرُوْهٌ كَرَاهَةَ تَنْزِيْهٍ، وَهُوَ مُعْتَمَدُ مَذْهَبِ الشَّافِعِيَّةِ لَكِنَّهُمْ أَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ قَدْ يَعْرِضُ لَهُ مَا يُصَيِّرُهُ حرَامًا مِنْ ذَلِكَ إِذَا كَانَ بِحَضْرَةِ قِرَاءَةِ الْقُرْآنِ أَوْ حَدِيْثٍ نَبَوِيٍّ أَوْ مَجْلِسِ عِلْمٍ شَرْعِيٍّ أَوْ نَحْوِ ذَلِكَ مِنَ الْمَوَاضِعِ الَّتِي تَضُمُّ مَا تَسْتَحِقُّ اْلأَدَبَ وَالْوَقَارَ فَإِنّ شُرْبَ الدُّخَّانِ حِيْنَئِذٍ حَرَامٌ لِمَا فِيْهِ مِنْ سُوْءِ اْلأَدَبِ وَاْلإِسْتِهْتَارِ بِمَجَالِسِ التَّعْظِيْمِ [قرة العين بفتاوي إسماعيل الزين 231]

“Pada dasarnya merokok itu para ulama khilaf dalam mensi-kapinya. Kebanyakan mereka berpendapat haram dan sebagian berpendapat makruh tanzih. Ini merupakan penda-pat yang mu’tamad di kalangan para Ulama Syafi’iyyah, tetapi mereka juga bersepakat bahwa kadang-kadang juga timbul hal-hal yang menjadikan haram yang semula mak-ruh. Di antaranya bilamana terjadi forum baca Alqur,an, Hadits Nabi, forum kajian agama ataupun forum-forum sejenis yang memang seharusnya mengedepankan sopan santun dan ketenangan. Dengan demikian, merokok tersebut haram hukumnya karena mengandung unsur-unsur keku-rang sopanan dalam majlis yang terhormat.” (Qurrah al-Ain Fatawi Isma’il al-Zain 231).

[+/-] Selengkapnya...

Waqaf Taskin tanpa bernafas

Seseorang membaca waqaf taskin pada akhir ayat tanpa mengambil nafas, bagaimana hukumnya ?

Waqaf taskin sebagaimana dimaksud hukumnya boleh bilamana ada niatan waqaf, namun yang lebih utama adalah dengan mengambil nafas.

(سُئِلَ) هَلْ يَجُوْزُ لِلْقَارِئِ وَهُوَ مَارٌّ بِالْقِرَأَةِ أَنْ يُسَكِّنَ آخِرَ الْحُرُوْفِ وَهُوَ مَارٌّ مِنْ غَيْرِ وُقُوْفٍ، وَهَلْ يَجُوْزُ لَهُ أَنْ يُحَرِّكَ الْوَقْفَ عِنْدَ الْوُقُوْفِ أَمْ لاَ؟ (فَأَجَابَ) بِأَنَّهُ يَجُوْزُ التَّسْكِيْنُ الْمَذْكُوْرُ لأَنَّ الْوَصْلَ بِنِيَّةِ الْوَقْفِ جَائِزٌ دُوْنَ التَّحْرِيْكِ الْمَذْكُوْرِ [هامش الفتاوى الكبرى 4/379]

“Sebuah pertanyaan perihal, apakah seorang membaca Alqur’an mensukun, membaca mati, huruf akhir sedang ia melanjutkan bacaannya tanpa waqaf dan apa boleh mengha-rakati, membaca hidup, huruf akhir ketika dibaca waqaf ataukah tidak? Jawab: Boleh mensukun sebagaimana dimak-sud karena washal, melanjutkan bacaannya, dengan niat wakaf hukumnya boleh. Lain halnya membaca harakat yang dimaksud waqaf hukumnya tidak boleh.” (Hamisy al-Fatawi al-Kubra IV/379).

اعْلَمْ اَنَّ الْوَقْفَ مَعْنَاهُ فِي اللُّغَةِ الْحَبْسُ يُقَالُ وَقَّفْتُ الدَّابَّةَ وَأَوْقَفْتُهَا إِذَا حَبَسْتُهَا عَنِ الْمَشْيِ وَفِي اْلإِصْطِلاَحِ عِبَارَةٌ عَنْ قَطْعِ الصَّوْتِ عَلَى الْكَلِمَةِ زَمَنًا يَتَنَفَّسُ فِيْهِ عَادَةً بِنِيَّةِ اسْتِئْنَافِ الْقِرَاَءةِ اِلَى أَنْ قَالَ وَيَأْتِيْ فِيْ رُؤُوْسِ اْلآيِ وَأَوْسَطُهَا وَلاَ بُدَّ مِنَ التَّنَفُّسِ مَعَه [نهاية القول المفيد 153]

“Ketahuilah bahwa waqaf menurut terminologi bahasa ada-lah menahan, sebagaimana ucapan: Telah aku berhentikan kendaraan, yakni aku tahan dari berjalan. Sedang menurut istilah adalah sebuah ungkapan mengenai terputusnya suara pada suatu kalimat dalam waktu yang biasanya bisa untuk bernafas dengan niat memulai bacaan. … Dan terjadinya waqaf itu pada awal-awal atau pertengahan ayat, yang harus disertai bernafas.” (Nihayah al-Qaul al-Mufid 153).

[+/-] Selengkapnya...

Menyembelih sapi dengan berbagai tujuan

Tujuh orang iuran membeli sapi untuk disembelih yang tujuannya masing-masing berbeda. Ada yang berniat untuk aqiqah, udlhiyyah, hadiah dan sebagainya. Sahkah hal tersebut ?

Menyembelih sapi sebagaimana dimaksud hukumnya sah.

(قَوْلُهُ اشْتَرَكُوْا فِي التَّضْحِيَةِ بِهَا) أَيْ بِالْبَدَنَةِ وَمِثْلُهَا الْهَدْيُ وَالْعَقِيْقَةُ وَغَيْرُهُمَا فَالتَّقْيِيْدُ بِالتَّضْحِيَةِ لِخُصُوْصِ الْمَقَامِ سَوَاءٌ اتَّفَقُوْا فِيْ نَوْعِ الْقُرْبَةِ أَمِ اخْتَلَفُوْا فِيْهِ كَمَا إِذَا قَصَدَ بَعْضُهُمُ التَّضْحِيَّةَ وَبَعْضُهُمُ الْهَدْيَ وَبَعْضُهُمُ الْعَقِيْقَةَ [الباجوري 2/297]

“Kalimat ‘tujuh orang bergabung untuk berkurban cukup dengan satu unta’. Begitu juga hadiah, aqiqah dan lain sebagainya sedangkan qayid kurban di sini hanyalah karena sesuai dengan topik/pokok bahasannya, baik sama bentuk ibadahnya ataupun berbeda-beda seperti sebagian bermaksud untuk kurban, sebagian lagi untuk hadiah dan yang lain untuk aqiqah.” (Al-Bajuri II/297)

[+/-] Selengkapnya...

Kulit kurban untuk bedug/terbang

Bagaimana hukum menggunakan kulit hewan kurban untuk bedug masjid atau terbang ?

Hukumnya boleh bilamana kurban sunat dan tidak boleh bilamana kurban wajib atau nadzar. Demikian ini bila yang menggunakan mudlahhi, orang yang berkurban sendiri. Bila sudah diterimakan kepada mustahiq maka boleh.

وَيَحْرُمُ اْلأَكْلُ مِنْ اُضْحِيَةٍ أَوْ هَدْيٍ وَجَبَا بِنَذْرِهِ. (قوله وَيَحْرُمُ اْلأَكْلُ الخ) أَيْ وَيَحْرُمُ أَكْلُ الْمُضَحِّيْ وَالْمُهْدِيْ مِنْ ذَلِكَ فَيَجِبُ عَلَيِهِ التَّصَدُّقُ بِجَمِيْعِهَا حَتَّي قَرْنِهَا وَظِلْفِهَا فَلَوْ أَكَلَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ غَرَمَ بَدَلَهُ لِلْفُقَرَاَء [إعانة الطالبين 2/333]

“Haram makan daging hewan kurban atau hadiah yang wajib sebab nadzar. Kalimat ‘haram makan dst.’. Haram bagi orang yang kurban dan yang berhadiah, makan hewan kurban dan

hadiahnya. Ia wajib menyedekahkan semuanya, termasuk tanduk dan kukunya. Andaikan ia memakan sedikit saja maka ia harus menggantinya untuk diserahkan kepada fakir.” (I’anah al-Thalibin II/333)

(قَوْلُهُ وَالتَّصَدُّقُ بِجِلْدِهَا) أَيْ وَاْلأَفْضَلُ التَّصَدُّقُ بِجِلْدِهَا وَلَهُ أَنْ يَنْتَفِعَ بِهِ بِنَفْسِهِ كَأَنْ يَجْعَلَهُ دَلْوًا أَوْ نَعْلاً وَلَهُ أَنْ يُعِيْرَهُ لِغَيْرِهِ وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ وَعَلَى وَارِثِهِ بَيْعُهُ كَسَائِرِ أَجْزَائِهَا وَإِجَارَتُهُ وَإِعْطَاؤُهُ أُجْرَةَ جَزَّارٍ فِيْ مُقَابَلَةِ الذَّبْحِ [إعانة الطالبين 2/333]

“Kalimat ‘dan menyedekahkan kulitnya’ artinya dan yang utama adalah menyedekahkan kulitnya. Ia boleh mempergunakannya sendiri seperti untuk timba dan sandal; dan boleh pula meminjamkan pada orang lain. Haram baginya dan ahli warisnya menjual kulit tersebut sebagaimana organ-organ lain hewan kurban tersebut. Haram pula memberikannya kepada tukang potong sebagai imbalan/upah atas penyembelihannya.” (I’anah al-Thalibin II/333)

[+/-] Selengkapnya...

Daging kurban diberikan pada non muslim

Bagaimana hukumnya orang qurban dagingnya sebagian diberikan kepada tetangga yang non muslim?

Qurban tersebut hukumnya sah, sedang memberikan daging tersebut kepada non muslim hukumnya tidak boleh (haram).

(قَوْلُهُ وَقِيْلَ يُهْدِيْ ثُلُثًا لِلْمُسْلِمِيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ) هَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ

وَقَوْلُهُ وَيَتَصَدَّقُ بِثُلُثٍ عَلَى الْفُقَرَاءِ أَيِ الْمُسْلِمِيْنَ أَيْضًا وَخَرَجَ بِقَيْدِ الْمُسْلِمِيْنَ غَيْرُهُمْ فَلاَ يَجُوْزُ إِعْطَاؤُهُمْ مِنْهَا شَيْئًا كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ الْبُوَيْطِيّ. وَوَقَعَ فِي الْمَجْمُوْعِ جَوَازُ اِطْعَامِ فُقَرَاءِ أَهْلِ الذِّمَّةِ مِنْ أُضْحِيَةِ التَّطَوُّعِ دُوْنَ الْوَاجِبَةِ وَتَعَجَّبَ مِنْهُ اْلأَذْرُعِيّ. فَالْحَقُّ أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ إِطْعَامُ الذَّمِّيِّيْنَ مِنَ اْلأُضْحِيَةِ

مُطْلَقًا لاَ تَصَدُّقًا وَلاَ اهْدَاءً حَتَّى لَوْ أَخَذَهَا فُقَرَاءُ الْمُسْلِمِيْنَ صَدَقَةً وَأَغْنِيَاؤُهُمْ هَدِيَّةً حَرُمَ عَلَيْهِمُ التَّصَدُّقُ بِشَيْءٍ مِمَّا أَخَذُوْهُ أَوْ اِهْدَاءُ شَيْءٍ مِنْهُ لأَهْلِ الذِّمَّةِ وَكَذَلَكَ بَيْعُهُ لَهُمْ لأَنَّهَا ضِيَافَةُ اللهِ للْمُسْلِمِيْنَ كَمَا قَالَهُ الشَّيْخُ الشِّبْرَامَلِسِيّ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ. [الباجوري 2/301].

“Kalimat “sebagian pendapat sepertiga daging qurban sunat dihadiahkan kepada orang-orang kaya yang beragama Islam”. Ini adalah pendapat yang mu’tamad. Kalimat “seper-tiga lagi dihadiahkan kepada orang-orang fakir”, yakni yang beragama Islam juga. Dengan qayid (batasan) muslim, dikeluarkanlah selain muslim, maka tidaklah diperbolehkan memberikan daging qurban sama sekali kepada mereka, sebagaimana keterangan Al-Buwaithi. Dalam Al-Majmu’ terdapat keterangan mengenai diperbolehkannya memberi-kan makan kepada para orang fakir ahli dzimmah dari daging qurban sunat, tidak qurban wajib, dan Al-Adzra’i heran dengan keterangan ini. Sedang yang benar adalah tidak diperbolehkan memberikan makan daging qurban kepada para ahli dzimmah secara mutlak (baik qurban sunat ataupun wajib). Tidak boleh juga dengan menyedekahkan ataupun dengan menghadiahkan, sehingga andaikan para

orang fakir yang muslim mengambil daging tersebut sebagai shadaqah dari orang-orang kaya muslim sebagai hadiah, maka haramlah bagi mereka menyedekahkan sebagian

daging dari yang diambilnya atau menghadiahkannya sebagian daging tersebut kepada ahli dzimmah. Demikian juga menjual-nya kepada mereka, karena qurban adalah jamuan Allah pada orang-orang Islam, sebagaimana keterangan Al-Syaikh al-Syibramalisi. Pendapat ini adalah yang mu’tamad.” ( Al-Bajuri II/301).

[+/-] Selengkapnya...

Pernyataan kurban

Seorang berkata, “Kambing ini akan saya buat kurban.” Apakah kambing tersebut harus disembelih ? Bolehkah orang tersebut ikut makan dagingnya ?

Kambing tersebut harus disembelih sebagai kurban nadzar dan orang tersebut tidak boleh makan dagingnya, kecuali apabila kalimat tersebut dimaksud sekedar memberi tahu.

(وَلاَ تَجِبُ اْلأُضْحِيَةُ إِلاَّ بِالنَّذْرِ) أَيْ حَقِيْقَةً أَوْ حُكْمًا فَاْلأَوَّلُ كَقَوْلِهِ للهِ عَلَيَّ أَنْ أُضَحِّيَ وَالثَّانِيْ كَقَوْلِهِ جَعَلْتُ هَذِهِ أُضْحِيَةً فَالْجَعْلُ بِمَنْزِلَةِ النَّذْرِ بَلْ مَتَى قَالَ هَذِهِ أُضْحِيَةٌ صَارَتْ وَاجِبَةً وَإِنْ جَهِلَ ذَلِكَ مِمَّا يَقَعُ مِنَ الْعَوَامِ عِنْدَ سُؤَالِهِمْ عَمَّا يُرِيْدُوْنَ التَّضْحِيَةَ بِهِ مِنْ قَوْلِهِمْ هَذِهِ أُضْحِيَةٌ تَصِيْرُ بِهِ وَاجِبَةً وَيَحْرُمُ اْلأَكْلُ مِنْهَا وَلاَ يُقْبَلُ قَوْلُهُمْ أَرَدْنَا التَّطَوُّعَ بِهَا خِلاَفًا لِبَعْضِهِمْ

[الباجوري 2/296]

“Tidaklah wajib kurban kecuali dengan nadzar, baik secara haqiqi ataupun hukmi. Yang pertama seperti ucapan, “Wajib berkurban atas diriku bagi Allah”. Yang kedua seperti ucapan, “Telah aku jadikan hewan ini sebagai kurban.” Menjadikan itu kedudukannya sama halnya nadzar, bahkan jika seseorang berkata ; “Ini adalah hewan kurban” maka jadilah kurban wajib, sekalipun ia tahu sebagaimana yang terjadi di kalangan awam ketika ditanya perihal hewan yang dimaksudkan sebagai kurban, dengan jawaban : “Ini adalah hewan kurban”, maka dengan perkataan tersebut jadilah kurban wajib dan haram baginya memakan daging kurban tersebut serta tidak diterima ucapannya : “Maksud kami, kurban tadi sebagai kurban sunat.” Berbeda dengan pendapat sebagian ulama.” (Al-Bajuri II/296)

وَقَالَ السَّيِّدُ عُمَرُ مَا نَصُّهُ: يَنْبَغِيْ أَنَّ مَحَلَّهُ أَيِ التَّعْيِيْنِ بِقَوْلِهِ هَذِهِ أُضْحِيَةٌ مَا لَمْ يَقْصِدِ اْلإِخْبَارَ بِأَنَّ هَذِهِ الشَّاةَ الَّتِيْ أُرِيْدَ التَّضْحِيَةُ بِهَا، فَإِنْ قَصَدَهُ فَلاَ تَعْيِيْنَ وَقَدْ وَقَعَ الْجَوَابُ كَذَلِكَ فِيْ نَازِلَةٍ رُفِعَتْ لِهَذَا الْحَقِيْرِ وَهِيَ أَنَّ شَخْصًا اشْتَرَى شَاةً لِلتَّضْحِيَةِ فَلَقِيَهُ شَخْصٌ فَقَالَ مَا هَذِهِ؟ فَقَالَ أُضْحِيَتِيْ [حواشي الشرواني العبادي على تحفة المحتاج بشرح المنهاج 9/356]

“Al-Sayyid ‘Umar berkata: Penjelesannya sebagai berikut, seyogyanya letak ta’yin dalam ucapan, ‘Ini adalah hewan kurban’ selama tidak bertujuan memberi khabar bahwa kambing ini dikehendaki kurban. Bila bertujuan ikhbar maka bukan ta’yin. Jawaban ini telah dikemukakan mengenai kejadian yang diajukan pada al-haqir, bahwasannya seseorang membeli kambing untuk kurban kemudian ia bertemu seseorang yang bertanya: Apa ini ? Kemudian ia jawab: Kurbanku.” (Al-Syarwani IX/356)

[+/-] Selengkapnya...

Jika pengadilan menolak talak

Seseorang lelaki menjatuhkan talak kepada istrinya, setelah diajukan ke pengadilan agama ternyata tidak putus. Masih dalam waktu iddah lelaki tersebut dengan istrinya bersatu kembali tanpa ucapan rujuk (ucapan kembali kepada istri ), bagaimana hukumnya ?

Hukumnya tidak boleh dan belum bisa menjadi istrinya kembali karena tanpa adanya ucapan rujuk.

وَلاَ تَصِحُّ بِالنِّيَّةِ مِنْ غَيْرِ لَفْظٍ وَلاَ بِفِعْلٍ كَوَطْءٍ خِلاَفًا لأَبِيْ حَنِيْفَةَ رضي الله عنه [الباجوري 2/151]

“Tidaklah sah rujuk hanya dengan niat tanpa diucapkan dan tidak juga dengan pekerjaan seperti senggama, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah ra.” (Al-Bajuri II/151)

[+/-] Selengkapnya...

Amal anak hasil zina

Diterimakah amal ibadah seorang anak hasil perzinaan ?

Amal ibadah anak tersebut bisa diterima.

وَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ أَنَّ مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى فَإِنَّ لَهُ جَنَّةَ الْمَأْوَى وَإِنْ كَانَ مِنْ أَوْلاَدِ الزِّنَا. وَأَمَّا قَوْلُهُ r : فَرْخُ الزِّنَا لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مُؤَوَّلٌ مَعَ السَّابِقِيْنَ اْلأَوَّلِيْنَ كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْجُزْءِ الثَّالِثِ مِنَ السِّرَاجِ الْمُنِيْرِ عَلَى الْجَامِعِ الصَّغِيْرِ فِيْ قَوْلِهِ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r : فَرْخُ الزِّنَا لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، قَالَ الْمُنَاوِيّ أَيْ مَعَ السَّابِقِيْنَ اْلأَوَّلِيْنَ [أحكام الفقهاء 1/55]

“Ulama sepakat, bahwa setiap orang yang beriman dan beramal shaleh, baik pria maupun wanita tentu masuk surga meskipun anak dari zina. Adapun sabda Rasulullah SAW : ‘Anak zina tidak akan masuk surga itu diartikan tidak masuk bersama-sama golongan yang masuk surga pertama kali, sebagaimana keterangan di dalam kitab Al-Siraj al-Munir Juz III ‘ala Jami’ al-Shaghir dalam salah satu keterangannya : Rasulullah bersabda, “Anak zina tidak akan masuk surga.” Al-Munawi berkata, maksudnya adalah bersama orang-orang yang masuk surga pertama kali.” (Ahkam al-Fuqaha’ I/55).

[+/-] Selengkapnya...

Menggugurkan kandungan

Bagaimana hukumnya menggugurkan kandungan seperti diurut, minum jamu atau yang lain ?

Para ulama berbeda-beda pendapat dalam menanggapi masalah ini. Diantaranya, mengharamkan secara mutlak baik sebelum maupun sesudah bernyawa. Ada pula yang menafsil. Bila sebelum bernyawa hukumnya boleh asal tidak membahayakan dan bila sudah bernyawa hukumnya tidak boleh secara mutlak, baik berbahaya atau tidak.

وَالرَّاجِحُ تَحْرِيْمُهُ بَعْدَ نَفْخِ الرُّوْحِ مُطْلَقًا وَجَوَازُهُ قَبْلَهُ [إعانة الطالبين 4/130]

“Menurut qaul rajih, diharamkan menggugurkan kandungan setelah bernyawa secara mutlak dan boleh bila sebelum bernyawa.” (I‘anah al-Thalibin IV/130)

يَحْرُمُ التَّسَبُّبُ فِيْ إِسْقَاطِ الْجَنِيْنِ بَعْدَ اسْتِقْرَارِهِ فِي الرَّحِمِ بِأَنْ صَارَ عَلَقَةً أَوْ مُضْغَةً وَلَوْ قَبْلَ نَفْخِ الرُّوْحِ كَمَا فِي التُّحْفَةِ وَقَالَ م ر : لاَ يَحْرُمُ إِلاَّ بَعْدَ النَّفْخِ [بغية المسترشدين 246]

“Haram melakukan hal-hal yang menyebabkan pengguguran janin, embrio, setelah terbentuk di kandungan, seperti sudah menjadi segumpal darah beku atau sepotong daging walau-pun belum bernyawa, sebagaimana keterangan di dalam Al-Tuhfah. Sedang Al-Ramli berpendapat tidak haram kecuali setelah bernyawa.” (Bughyah al-Mustarsyidin 246).

[+/-] Selengkapnya...

NIKAH SILANG

Fu’ad mempunyai anak bernama Syakir menikah dengan Katun yang juga mempunyai anak bernama Laila. Suatu ketika Laila dijodohkan dengan Syakir. Zaid mempunyai anak bernama Faruq dan Ulfa mempunyai anak bernama Dina. Kemudian Zaid menikah dengan Dina dan Faruq menikah dengan Ulfa.

Bagaimana hukum pernikahan tersebut ?

Pernikahan dalam kedua kasus di atas hukumnya sah.

وَلاَ تَحْرُمُ بِنْتُ زَوْجِ اْلأُمِّ [هامش بجيرمي على الخطيب 3/360]

“Tidak haram menikahi anak perempuan dari suami ibunya.” (Hamisy Bujairami ‘ala al-Khatib III/360).

(قَوْلُهُ وَلاَ تَحْرُمُ بِنْتُ زَوْجِ اْلأُمِّ) أَيْ عَلَى ابْنِ الزَّوْجَةِ [إعانة الطالبين 3/292]

“Kalimat ‘tidak haram menikahi anak perempuan dari suami ibunya’ artinya bagi anak laki-laki dari isteri.” (I’anah al-Thalibin III/292)

(قَوْلُهُ وَلاَ أُمُّ زَوْجةِ اْلأَبِ الخ) وَلَوْ تَزَوَّجَ رَجُلٌ بِنْتًا وَابْنُهُ بِامْرَأَةٍ هِيَ أُمٌّ لِلْبِنْتِ الْمَذْكُوْرَةِ صَحَّ نِكَاحُ كُلٍّ مِنْهُمَا لانْتِفَاءِ أَسْبَابِ التَّحْرِيْمِ وَهِيَ الْقَرَابَةُ وَالرَّضَاعُ وَالْمُصَاهَرَةُ [بجيرمي على الخطيب 3/360]

“Kalimat ‘tidak haram menikahi ibu dari isterinya bapak dst.’ Andaikan seorang pria menikah dengan seorang anak perempuan dan anak laki-laki dari seorang pria tersebut menikah dengan seorang wanita yang menjadi ibunya anak perempuan yang dinikahi oleh pria tersebut, maka masing-masing pernikahannya adalah sah karena tidak adanya sebab yang menjadikan mahram, yaitu kerabat, persusuan dan persambungan keluarga.” ( Bujairami ‘ala al-Khatib III/360 )

[+/-] Selengkapnya...

NIKAH MUT’AH

Apa yang dimaksudkan nikah mut’ah dan bagaimana hukumnya ?

Nikah mut’ah adalah nikah yang dibatasi dengan waktu. Sedang hukumnya batal, tidak sah.

(فصل) فِيْ بَيَانِ اْلأَنْكِحَةِ الْبَاطِلَةِ إلى أن قال : (وَنِكَاحُ المُتْعَةِ) لِلنَّهْيِ عَنْهُ كَمَا مَرَّ (وَهُوَ النِّكَاحُ إِلَى أَجَلٍ) وَلَوْ مَعْلُوْمًا (قَوْلُهُ إِلَى أَجَلٍ) أَيْ فَهُوَ الْمُؤَقَّتُ وَقَوْلُهُ وَلَوْ مَعْلُوْمًا أَيْ سَوَاءٌ كَانَ مَجْهُوْلاً كَأَبَدًا أَوْ عُمْرِيْ أَوْ إِلَى مَجِيْءِ زَيْدٍ اَوْ مَعْلُوْمًا كَسَنَةٍ [الشرقاوي 2/234]

“(Pasal) mengenai penjelasan macam-macam nikah yang batal … Di antaranya adalah nikah mut’ah -- karena dilarang sebagaimana keterangan yang terdahulu -- yaitu nikah dengan jangka waktu tertentu meskipun maklum. Kalimat

‘dengan jangka waktu’ yakni yang terbatas. Kalimat

‘meskipun maklum’ baik tempo waktunya tidak jelas seperti selamanya, seumurku atau sampai kedatangannya Zaid ataupun jangka waktu yang jelas seperti setahun.” (Al- Syarqawi II / 234)

[+/-] Selengkapnya...

MASUK ISLAM BILA DINIKAHI

Seorang perempuan di hadapan Zaid hendak masuk Islam bila dia mau menikahinya. Wajibkah Zaid menuruti kehendak perempuan tersebut ?

Zaid wajib menyanggupi untuk menikahi agar masuk Islam,

tapi tidak wajib menikahi setelah masuk Islam.

لَوْ جَاءَتْ وَثَنِيَّةٌ إِلَى زَيْدٍ مَثَلاً لِتُسْلِمَ إِنْ تَزَوَّجَهَا، فَهَلْ يَجِبُ عَلَيْهِ نِكَاحُهَا أَوْ لاَ، أَفِيْدُوْناَ ؟ اَلْجَوَابُ : لاَ يَجِبُ النِّكَاحُ لَكِنْ عَلَيْهِ أَنْ يَقُوْلَ: أَتَزَوَّجُهَا لِئَلاَّ يَرْضَى بِالْكُفْرِ فَيَكْفُرُ مَعَ عَرْضِ نَفْسِهَا عَلَى اْلإِسْلاَمِ أَخْذًا مِنْ قَوْلِهِمْ : لَوْ جَاءَهُ كَافِرٌ يُسْلِمُ فَقَالَ : اِذْهَبْ فَاغْتَسِلْ فَقَدْ كَفَرَ. وَإنَّمَا لَمْ يَجْبْ وَفَاؤُهُ لِمَا فِي ابْنِ زِيَادٍ فِيْ مَبْحَثِ الْوُضُوْءِ ص: 82 نَقْلاً عَنِ ابْنِ عَبْدِ السَّلاَ‍مِ لَوْ قِيْلَ لَهُ صَلِّ وَلَكَ دِيْنَارٌ فَصَلَّى أَجْزَأَتْهُ صَلاَتُهُ وَلاَ يَسْتَحِقُّ الدِّيْنَارَ وَاللهُ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ [ثمرة الروضة الشهية 139]

“Andaikan seorang perempuan penyembah berhala datang pada Zaid misalnya untuk hendak masuk Islam bila ia mau menikahinya, apakah wajib menikahi atau tidak ? Jawab : Tidak wajib menikahi tetapi ia haus bilang, “aku akan menikahinya”, agar ia tidak menjadi ridla dengan kufurnya seseorang yang menyebabkan ia menjadi kufur ketika wanita tersebut menawarkan dirinya untuk masuk Islam berdasar-kan pendapat ulama: “Andai seorang kafir pada seseorang untuk masuk Islam, kemudian ia berkata; Pergilah terlebih dahulu untuk mandi maka orang tersebut kufur.

Adapun ketidakwajiban memenuhi permintaannya untuk menikahi sebagaimana keterangan dalam Ibn Ziyad tentang pembahasan wudlu halaman 82 menukil dari Ibn Abd al-Salam andai diucapkan pada seseorang : Shalatlah, kamu berhak 1 dinar, kemudian ia melakukannya maka cukuplah shalatnya dan tidak berhak 1 dinar. Allah Yang Maha Mengetahui atas segala kebenaran.” (Tsamrah al-Raudlah al-Syahiyyah 139).

[+/-] Selengkapnya...

SAKSI TIDAK SHALAT

Orang Islam yang tidak mengerjakan shalat bila menjadi saksi akad nikah, sahkah akad tersebut ?

Akad nikah tersebut tidak sah karena tidak memenuhi syarat untuk menjadi saksi.

وَعِبَارَةُ ب ي ش إِذَا حَكَمْنَا بِفِسْقِ الشَّخْصِ رُدَّتْ شَهَادَتُهُ فِي النِّكَاحِ وَغَيْرِهِ. نَعَمْ أَفْتَى بَعْضُهُمْ بِقَبُوْلِ شَهَادَةِ الْفَاسِقِ عِنْدَ عُمُوْمِ الْفِسْقِ وَاخْتَارَهُ اْلإِمَامُ الْغَزَالِيّ وَاْلأَذْرَعِيُّ وَابْنُ عُطَيْفٍ دَفْعًا لِلْحَرَجِ الشَّدِيْدِ فِيْ تَعْطِيْلِ اْلأَحْكَامِ، لَكِنْ يَلْزَمُ الْقَاضِيَ تَقْدِيْمُ اْلأَمْثَلِ فَاْلأَمْثَلِ وَالْبَحْثُ عَنْ حَالِ الشَّهَادَةِ وَتَقْدِيْمُ مَنْ فِسْقُهُ أَخَفُّ أَوْ أَقَلُّ عَلَى غَيْرِهِ. زَادَ ش : وَيَجُوْزُ تَقْلِيْدُ هَؤُلاَءِ فِيْ ذَلِكَ لِلْمَشَقَّةِ بِالشَّرْطِ الْمَذْكُوْرِ [بغية المسترشدين 283]

“Keterangan ب ي ش: Ketika kita menghukumi fasiqnya seseorang maka ditolaklah kesaksiannya, baik di akad nikah maupun yang lain. Benar demikian. Sebagian ulama berfatwa perihal diterimanya kesaksian orang fasiq ketika fasiq sudah

merajalela, merata. Pendapat ini dipilih Al-Imam Al-Ghozali, Al-Adzra’i dan Ibn ‘Uthaif untuk mencegah tindakan dosa yang lebih berat dikarenakan kekosongan hukum. Tetapi bagi seorang qadli wajib mendahulukan yang lebih sepadan kemudian sepadan dan meneliti kondisi kadar kesaksiannya serta mendahulukan orang yang fasiqnya lebih ringan daripada yang lain. ش menambahkan : Boleh bertaqlid pada ulama ini mengenai masalah tersebut karena masyaqqat, kesusah payahan, dengan syarat-syarat tersebut di atas.” (Bughyah al-Mustarsyidin 283).

وَالْعَدَالَةُ تَتَحَقَّقُ بِاجْتِنَابِ كُلِّ كَبِيْرَةٍ مِنْ أَنْوَاعِ الْكَبَائِرِ كَالْقَتْلِ وَالزِّنَا إلى أن قال : وَتَفْوِيْتِ مَكْتُوْبَةٍ (وَقَوْلُهُ وَتَفْوِيْتِ مَكْتُوْبَةٍ) أَيْ فَهُوَ مِنَ الْكَبَائِرِ [إعانة الطالبين 4/279].

“Sifat ‘adalah menjadi jelas dengan menjauhi semua dosa besar dari segala macam dosa besar, seperti membunuh, berzina … dan melewatkan shalat wajib. Kalimat “melewatkan shalat wajib” itu termasuk dosa besar.” (I’anah al-Thalibin IV/279).

[+/-] Selengkapnya...

WANITA BERGANTI-GANTI SUAMI

Siapakah suami seorang perempuan yang menikah beberapa kali kelak di surga ?

Apabila berulang-ulang pernikahannya tidak disebabkan perceraian, suaminya kelak adalah suami yang terakhir.

وَأَمَّا الْمَرْأَةُ إِذَا كَانَ لَهَا أَزْوَاجٌ كَانَتْ زَوْجَةً لِمَنْ كَانَ زَوْجَهَا

أَخِيْرًا فَقَدْ قَالَ أَبُوْ حُذَيْفَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ : إِنْ سَرَّكِ أَنْ تَكُوْنِيْ زَوْجَتِيْ فِي الْجَنَّةِ فَلاَ تَتَزَوَّجِيْ مِنْ بَعْدِيْ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ لآخرِ أَزْوَاجِهَا وَخَطَبَ مُعَاوِيَةُ بْنُ أَبِيْ سُفْيَانَ أُمَّ الدَّرْدَاءِ فَأَبَتْ وَقَالَتْ سَمِعْتُ أَبَا الدَّرْدَاءِ يُحَدِّثُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : اَلْمَرْأَةُ لآخِرِ أَزْوَاجِهَا فِي اْلآخِرَةِ. وَقَالَ : إِنْ أَرَدْتِ أَنْ تَكُوْنِيْ زَوْجَتِيْ فِي اْلآخِرَةِ فَلاَ تَتَزَوَّجِيْ مِنْ بَعْدِيْ. وَقِيْلَ : إِنَّهَا تَكُوْنُ زَوْجَةً لأَحْسَنِهِمْ خُلُقًا، وَقِيْلَ: إِنَّهَا تُتَخَيَّرُ [هامش الفتاوى الكبرى 4/380].

“Seorang perempuan bilamana berganti-ganti suami, kelak suaminya adalah yang terakhir. Sesungguhnya telah berkata Abu Hudzaifah r.a. : Jika kamu ingin tetap menjadi isteriku kelak di surga maka janganlah kamu menikah lagi setelah diriku, karena seorang perempuan itu kelak bagi suami ter- akhirnya. Mu’awiyah ibn Abi Sufyan melamar Ummi Darda’ namun ia menolak dan berkata : Aku mendengar Abu Darda’ yang menceritakan dari Rasulullah SAW, bahwa beliau

berkata: “Seorang perempuan itu kelak bagi suami terakhirnya di akhirat”, dan dia ( Abu Darda’ ) berkata : Bila kamu ingin jadi isteriku kelak di akhirat maka janganlah sekali-kali kamu menikah lagi setelah aku. Sebagian

pendapat, bahwa perempuan tersebut sebagai isteri suami-nya yang terbaik akhlaqnya. Dan pendapat lain, bahwa ia dipersilakan memilih.” (Hamisy Fatawi Kubro IV/380).

[+/-] Selengkapnya...

NIKAH TIDAK SEKUFU

Seorang perempuan yang tidak diketahui nasabnya, garis keturunan, mengahadap ke penghulu minta dinikahkan dengan seorang laki-laki yang rendah pekerjaannya. Bagaimana seharusnya sikap penghulu tersebut ?

Pada dasarnya penghulu ketika hendak menikahkan seorang perempuan yang tidak diketahui nasabnya, haruslah dengan laki-laki yang sekufu, sepadan. Akan tetapi bilamana sang perempuan tersebut minta dinikahkan dengan laki-laki yang bukan sekufu, maka penghulu wajib mengabulkannya bila dikhawatirkan adanya fitnah. Bila tidak ada kekhawatiran akan adanya fitnah yang timbul, maka penghulu tidak boleh menikahkan.

وَبَحَثَ جَمْعٌ مُتَأَخِّرُوْنَ أَنَّهَا لَوْ لَمْ تَجِدْ كُفْؤًا وَخَافَتِ الْفِتْنَةُ لَزِمَ الْقَاضِيَ إِجَابَتُهَا لِلضَّرُوْرَةِ قَالَ شَيْخُنَا وَهُوَ مُتَّجَهٌ مُدْرَكًا [إعانة الطالبين 4/339].

“Sejumlah ulama muta’akhirin telah membahas, bahwa seorang perempuan jika tidak menemukan yang sekufu dan kawatir akan adanya fitnah maka bagi qadli wajib menga-bulkannya karena dlarurat. Syaikhuna berkata, bahwa pen-dapat ini kuat alasannya yang dapat dimengerti”. (I’anah al-Thalibin IV/339).

وَقَعَ السُّؤَالُ فِي الدَّرْسِ عَمَّا جَاءَتْ امْرَأَةٌ مَجْهُوْلَةُ النَّسَبِ إِلَى الْحَاكِمِ وَطَلَبَتْ مِنْهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا مِنْ دَنِيْءِ النَّسَبِ وَنَحْوِهِ فَهَلْ يُجِيْبُهَا أَمْ لاَ وَالْجَوَا بُ عَنْهُ أَنَّ الظَّاهِرَ الثَّانِيْ لِلإِحْتِيَاطِ

لأَمْرِ النِّكَاحِ فَلَعَلَّهَا تُنْسَبُ إِلَى ذِيْ حِرْفَةٍ شَرِيْفَةٍ وَبِفَرْضِ

ذَلِكَ فَتَزْوِيْجُهَا مِنْهُ مِنْ ذِي الْحِرْفَةِ الدَّنِيْئَةِ بَاطِلٌ وَالنِّكَاحُ يُحْتَاطُ لَهُ ا ها. ع ش على م ر. [الجمل على شرح المنهج 4/164]

Timbul pertanyaan dalam suatu pelajaran mengenai seorang wanita yang tidak diketahui nasabnya datang kepada hakim dan minta untuk dinikahkan dengan seorang pria yang rendah nasabnya, apakah hakim tersebut wajib mengabulkannya atau tidak? Jawabnya: Menurut qaul dhahir adalah yang kedua (tidak boleh mengabulkannya). Karena untuk berhati-hati dalam urusan pernikahan, jangan-jangan seorang wanita tersebut mempunyai garis keturunan kepada orang yang berprofesi mulia. Dengan pengandaian demikian itu, maka menikahkannya dengan orang yang berprofesi rendah adalah batal. Sedang pernikahan diperlukan kehati-hatian. Demikian keterangan Ali Syibramalisi atas keterangan Muhammad Ramli. ( Al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj 4/164).

[+/-] Selengkapnya...

PERBARUI AKAD NIKAH

Sebagaimana yang terjadi di sebagian masyarakat, mereka memperbarui pernikahannya dengan akad lagi. Bagaimana hukumnya terhadap hak talak dan maharnya?

Tajdidun nikah (memperbarui nikah) hukumnya boleh dan tidaklah mempengaruhi hak talak. Sedangkan maharnya, ia tidak wajib membayar lagi.

إِنَّ مُجَرَّدَ مُوَافَقَةِ الزَّوْجِ عَلَى عَقْدٍ ثَانٍ لاَ يَكُوْنُ اعْتِرَافًابِانْقِضَاءِ الْعِصْمَةِ بَلْ وَلاَ كِنَايَةً فِيْهِ وَهُوَ ظاَهِرٌ إلى أن قال وَمَا هُنَا فِيْ مُجَرَّدِ طَلَبٍ مِنَ الزَّوْجِ لِتَجَمُّلٍ اَوْ احْتِيَاطٍ

[تحفة المحتاج 7/291]

“Pada dasarnya persetujuan suami terhadap akad kedua tidaklah berarti pengakuan terputusnya tali pernikahan, bahkan juga tidak kinayah (kiasan). Hal ini sudah jelas. Pada dasarnya memperbaharui nikah yang diizinkan oleh suami itu hanyalah untuk memperindah dan kehati-hatian.” (Tuhfah al-Muhtaj VII/391)

فَإِنْ تَكَرَّرَ لَزِمَهُ مَا وَقَعَ الْعَقْدُ اْلأَوَّلُ عَلَيْهِ قَلَّ أَوْ كَثُرَ اتَّحَدَتْ شُهُوْدُ الْعَلاَنِيَةِ وَالسِّرِّ أَمْ لاَ وَذَلِكَ لأَنَّ الْعِبْرَةَ بِالْعَقْدِ اْلأَوَّلِ وَأَمَّا الثَّانِيْ فَهُوَ لاَغٍ لاَ عِبْرَةَ بِهِ [إعانة الطالبين 3/350].

“Bilamana berulang-ulang akad nikah seseorang maka kewajiban mahar hanyalah pada akad pertama, baik sedikit ataupun banyak, baik ketika akad terang-terangan atau sirri, saksinya jadi satu atau tidak. Hal tersebut karena yang dianggap adalah akad nikah yang pertama, sedang yang kedua sia-sia, tidak diperhitungkan”. (I’anah al-Thalibin III/350).

[+/-] Selengkapnya...

Makan dan minum di masjid

MAKAN DAN TIDUR DI MASJID

Bagaimana hukum makan dan tidur di dalam masjid ?

Makan dan tidur di dalam masjid hukumnya boleh selama tidak menyebabkan tadlyiq (mempersempit tempat bagi orang lain).

وَيَجُوْزُ النَّوْمُ فِيْهِ بِلاَ كَرَاهَةٍ بِقَيْدِ عَدَمِ التَّضْيِيْقِ أَيْضًا سَوَاءٌ الْمُعْتَكِفُ وَغَيْرُهُ وَإِنْ وُضِعَ لَهَ فِرَاشٌ وَكَذَا لاَ بَأْسَ بِاْلأَكْلِ وَالشُّرْبِ وَالْوُضُوْءِ إِذَا لَمْ يَتَأَذَّ بِهِ النَّاسُ وَلَمْ يَكُنْ لِلْمَأْكُوْلِ رَائِحَةٌ كَرِيْهَةٌ كَالثُّوْمِ وَإِلاَّ كُرِهَ [تلخيص المراد 97]

“Boleh hukumnya tidur di masjid tanpa makruh dengan catatan tidak adanya penyempitan tempat, baik terhadap orang yang i’tikaf maupun yang lain, meskipun dengan meletakkan tikar. Demikian juga tidak mengapa makan, minum dan wudlu bila orang lain tidak merasa terganggu dan makanan tersebut tidak berbau yang tidak sedap seperti bawang putih, dan bila berbau maka makruh”. (Talkhish al-Murad 97).

 

I’TIKAF DI SERAMBI MASJID

Bagaimana hukum shalat tahiyyatal masjid atau i’tikaf di serambi masjid ?

Shalat tahiyyatal masjid dan i’tikaf tersebut hukumnya sah bilamana serambinya dihukumi masjid (pembangunannya bersamaan dengan masjid) atau serambi tambahan baru yang telah dijadikan masjid atau majhul keberadaannya.

يُسَنُّ اعْتِكَافٌ كُلَّ وَقْتٍ وَهُوَ لُبْثٌ فَوْقَ قَدْرِ طَمَأْنِيْنَةِ الصَّلاَةِ وَلَوْ مُتَرَدِّدًا فِيْ مَسْجِدٍ أَوْ رَحْبَتِهِ الَّتِيْ لَمْ يُتَيَقَّنْ حُدُوْثُهَا بَعْدَهُ وَأَنَّهَا غَيْرُ مَسْجِدٍ. (وقَوْلُهُ الَّتِيْ لَمْ يُتَيَقَّنْ الخ) فَإِنْ تُيُقِّنَ حُدُوْثُهَا بَعْدَهُ مَعْ كَوْنِهَا غَيْرَ مَسْجِدٍ فَلاَ يَصِحُّ اْلإِعْتِكَافُ فِيْهَا [إعانة الطالبين 2/ 259-260].

“Sunat i’tikaf setiap waktu, yaitu berdiam diri melebihi kadar waktu tuma’ninah shalat meskipun hanya mondar mandir di dalam masjid atau serambinya yang tidak diyakini keberadaannya setelah adanya masjid dan bukan dari masjid. Kalimat ‘tidak diyakini keberadaannya setelah masjid serta tidak menjadi bagian masjid maka tidak sah beri’tikaf diserambi tersebut”. (I’anah al-Thalibin II/259-260).

وَيَتَحَقَّقُ كَوْنُ الرَّحْبَةِ مِنَ الْمَسْجِد اِمَّا بِوَ‍قْفٍ أَوْ بِاِطْلاَقِ الْمَسْجِدِ عَلَيْهَا وَكَذَا اِنْ جُهِلَ حَالُهَا اَهِيَ مِنَ الْمَسْجِدِ اَمْ لاَ كَمَا قَالَهُ السَّمْهُوْدِيّ [تلخيص المراد 96].

“Keberadaan serambi menjadi jelas termasuk masjid, adakalanya dengan wakaf atau diucapkannya sebagai masjid. Demikian juga bila tidak diketahui keberadaannya apakah termasuk masjid atau bukan, sebagaimana keterangan ‘Al-Samhudi.” (Talkhish al-Murad 96)

 

ORANG KAFIR BANGUN MASJID

Bagaimana hukumnya orang kafir membangun masjid / mushalla ? Dan bagaiman pula hukumnya shalat di tempat tersebut ?

Orang kafir membangun masjid/mushalla hukumnya boleh dan shalat di tempat tersebut juga sah.

(قَوْلُهُ وَأَنْ يَكُوْنَ الْوَاقِفُ أَهْلاً لِلتَّبَرُّعِ) فَيَصِحُّ مِنْ كَافِرٍ وَلَوْ لِمَسْجِدٍ وَمُصْحَفٍ وَكُتُبِ عِلْمٍ وَإِنْ لَمْ يَعْتَقِدْ ذَلِكَ قُرْبَةً اعْتِبَارًا بِاعْتِقَادِنَا [الشرقاوي 2/174]

“Kalimat ‘orang yang wakaf haruslah ahli derma,’ maka juga sah dari orang kafir sekalipun untuk masjid, mushaf dan kitab-kitab ilmiah meskipun ia tidak menyakini sebagai bentuk ibadah yang sesuai dengan keyakinan kita.” (Al-Syarqawi II/174)

[+/-] Selengkapnya...

Tukar tanah wakaf

TUKAR TANAH WAKAF

Bagaimana hukum menukar tanah wakaf dengan tanah lain yang bukan wakaf ?

Penukaran tanah tersebut hukumnya tidak boleh.

وَلاَ يَجُوْزُ اسْتِبْدَالُ الْمَوْقُوْفِ عِنْدَنَا وَإِنْ خَرُبَ [الشرقاوي 2/178].

“Tidak boleh menukar barang wakaf, menurut ulama kita (Syafi’iyah) sekalipun sudah runtuh”. (Al-Syarqawi II/178).

 

MENGAMBIL AIR WAKAFAN

Bagaimana hukumnya mengambil air sumur lingkungan masjid oleh penduduk?

Mengambil air tersebut hukumnya boleh jika memang ada petunjuk yang memperbolehkan, seperti tidak adanya reaksi ulama sekitar.

وَسُئِلَ الْعَلاَّمَةُ الطَّنْبَدَوِيّ عَنِ الْجَوَابِي وَالْجِرَارِ الَّتِيْ عِنْدَ الْمَسَاجِدِ فِيْهَا الْمَاءُ إِذَا لَمْ يُعْلَمْ اَنَّهَا مَوْقُوْفَةٌ لِلشُّرْبِ أَوِ الْوُضُوْءِ أَوِ الْغُسْلِ الْوَاجِبِ أَوِ الْمَسْنُوْنِ أَوْ غَسْلِ النَّجَاسَةِ فَأَجَابَ أَنَّهُ إِذَا دَلَّتْ قَرِيْنَةٌ عَلَى أَنَّ الْمَاءَ مَوْضُوْعٌ لِتَعْمِيْمِ اْلإِنْتِفَاءِ جَازَ جَمِيْعُهُ مَا ذُكِرَ مِنَ الشُّرْبِ وَغَسْلِ النَّجَاسَةِ وَغُسْلِ الْجَنَابَةِ وَغَيْرِهَا وَمِثَالُ الْقَرِيْنَةِ جَرَيَانُ النَّاسِ عَلَى تَعْمِيْمِ اْلإِنْتِفَاءِ مِنْ غَيْرِ نَكِيْرٍ مِنْ فَقِيْهٍ وَغَيْرِهِ إِذِ الظَّاهِرُ مِنْ عَدَمِ النَّكِيْرِ

أَنَّهُمْ أَقْدَمُوْا عَلَى تَعْمِيْمِ اْلإِنْتِفَاءِ بِالْمَاءِ بِغُسْلٍ وَشُرْبٍ وَوُضُوْءٍ وغَسْلِ نَجَاسَةٍ فَمِثْلُ هَذَا إِيْقَاعٌ يُقَالُ بِالْجَوَازِ. وَقَالَ: إِنَّ فَتْوَى الْعَلاَّمَةِ عَبْدِ اللهِ بَا مَحْرَمَةَ يُوَافِقُ مَا ذَكَرَهُ [هامش اعانةالطالبين 3/171-172].

“Al-‘Allamah al-Thanbadawi pernah ditanya mengenai gentong dan tempayan berisikan air di beberapa masjid, bila tidak diketahui bahwa air itu diwakafkan untuk minum, wudlu, mandi wajib, mandi sunat atau mensucikan najis. Beliau menjawab: jika ada pertanda yang menunjukkan bahwa air tersebut memang disediakan untuk dipergunakan secara umum maka boleh menggunakan air tersebut untuk minum, mensucikan najis, mandi janabat dan lain sebagai-nya. Misal pertanda tersebut adalah kebiasaan masyarakat menggunakan air tersebut secara umum tanpa adanya penolakan ahli fiqh serta yang lain. Karena secara lahiriyah, tanpa adanya penolakan itu menunjukkan bahwa para pewakaf merelakan air tersebut digunakan secara umum, baik untuk mandi, minum, wudlu dan mensucikan najis. Pertanda semacam ini adalah kenyataan untuk ditetapkan-nya hukum boleh. Beliau juga berkata, bahwa fatwa Al-’Allamah Abdullah Bamahramah menyetujui apa yang telah dikemukakan tadi. (Hamisy I’anah al-Thalibin III/171-172).

[+/-] Selengkapnya...

Bongkaran masjid untuk Madrasah

BONGKARAN MASJID UNTUK MADRASAH

Bolehkah material bongkaran masjid seperti ubin dan sebagainya digunakan untuk madrasah/mushalla ?

Tidak boleh menggunakan bongkaran tersebut kecuali tidak ada masjid lain yang membutuhkan.

وَلاَ يُعَمَّرُ بِهِ غَيْرُ جِنْسِهِ كَرِبَاطٍ وَبِئْرٍ كَالْعَكْسِ إِلاَّ إِذَا تَعَذَّرَ جِنْسُهُ (قوله إِلاَّ إِذَا تَعَذَّرَ جِنْسُهُ) أَيْ فَإِنَّهُ يُعَمَّرُ بِهِ غَيْرُ الْجِنْسِ [إعانة الطالبين 3/181]

“Hasil bongkaran masjid tidak boleh digunakan untuk bangunan lain yang bukan sejenis seperti mushalla dan sumur sebagaimana sebaliknya, kecuali bila sulit ditemukan yang sejenis maka dapat digunakan untuk yang bukan sejenis. (I’anah al-Thalibin 3/181).

[+/-] Selengkapnya...