Talkin

TALKIN

Bagaimana hukum mentalkin mayat?

Hukumnya sunat bilamana mayat tersebut sudah baligh.

(قَوْلُهُ وَتَلْقِيْنُ بَالِغٍ) أَيْ وَيُنْدَبُ تَلْقِيْنُ بَالِغٍ الخ وَذَلِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ. وَأَحْوَجُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ إِلَى التَّذْكِيْرِ فِيْ هَذِهِ الْحَالَةِ. وَخَرَجَ بِالْبَالِغِ الطِّفْلُ فَلاَ يُسَنُّ تَلْقِيْنُهُ لأَنَّهُ لاَ يُفْتَنُ فِيْ قَبْرِهِ. وَمِثْلُهُ الْمَجْنُوْنُ إِنْ لَمْ يَسْبِقْ لَهُ تَكْلِيْفٌ. وَإِلاَّ لُقِّنَ. [اعانة الطالبين 2/140]

“Kalimat ‘dan disunatkan mentalkin seorang yang sudah baligh’. Hal tersebut sejalan dengan firman Allah: “Dan berilah peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” Sedangkan kebutuhan yang paling mendesak bagi seseorang pada sebuah peringatan adalah ketika ia dalam keadaan begini ini. Kata baligh mengecualikan anak kecil, ia tidak disunatkan ditalkin karena tidak mendapat cobaan di kuburnya. Demikian pula orang gila yang belum pernah mengalami taklif, kena hukum. Bila sudah pernah, maka ditalkin.” (I’anah al-Thalibin II/140).

[+/-] Selengkapnya...

Adzan jenazah

ADZAN JENAZAH

Bagaimana hukumnya adzan ketika jenazah hendak dikuburkan?

Adzan tersebut hukumnya khilaf. Menurut qaul mu’tamad tidak disunatkan.

وَاعْلَمْ أَنَّهُ لاَ يُسَنُّ اْلأَذَانُ عِنْدَ دُخُوْلِ الْقَبْرِ خِلاَفًا لِمَنْ قَالَ بِسُنِّيَّتِهِ قِيَاسًا لِخُرُوْجِهِ مِنَ الدُّنْيَا عَلَى دُخُوْلِهِ فِيْهَا. قَالَ ابْنُ حَجَرٍ وَرَدَدْتُهُ فِيْ شَرْحِ الْعُبَابِ لَكِنْ إِذَا وَافَقَ اِنْزَالَهُ الْقَبْرَ اَذَانٌ خُفِّفَ عَنْهُ فِي السُّؤَالِ [اعانة اطالبين 1/230]

“Ketahuilah bahwa tidaklah disunatkan adzan ketika jenazah dimasukkan ke liang kubur. Berbeda dengan ulama yang

berpendapat disunatkan, karena dianalogikan: kesunatan adzan ketika seseorang dilahirkan dengan ketika dimasukkan ke liang kubur. Ibn Hajar berkata , pendapat disunatkan adzan tersebut telah aku sanggah di dalam kitab Syarh al-‘Ubab. Hanya saja bila ada adzan shalat bersamaan dimasukkannya jenazah ke liang kubur maka diperinganlah pertanyaan kubur”. (I’anah al-Thalibin 1/230).

وَلاَ يُسَنُّ عِنْدَ اِدْخَالِ الْميِّتِ الْقَبْرَ عَلَى الْمُعْتَمَدِ [الشرقاوي 1/227]

“Tidaklah disunatkan adzan ketika memasukkan jenazah ke liang kubur, menurut qaul mu’tamad” (Al-Syarqawi 1/227).

[+/-] Selengkapnya...

Tertinggal takbirnya imam

TERTINGGAL TAKBIRNYA IMAM

Ketika jamaah shalat jenazah sedang berlangsung ada beberapa orang tertinggal satu takbirnya imam.

Di antaranya ada yang mengikuti imam sejak awal karena suatu hal ia tertinggal satu takbir dan seorang lagi datang terlambat, ia mendapatkan imam sudah takbir kedua. Bagaimana hukumnya?

Makmum dalam kasus pertama tadi bila tertinggalnya bukan karena udzur maka batal shalatnya dan bila dikarenakan udzur, seperti tidak terdengar takbirnya imam, maka tidak batal. Sedang makmum dalam kasus kedua, ia langsung takbiratul ikhram lalu membaca fatihah, kemudian setelah imam salam ia menyusuli takbir yang tertinggal.

وَلَوْ تَخَلَّفَ عَنْ إِمَامِهِ بِلاَ عُذْرٍ بِتَكْبِيْرَةٍ حَتَّى شَرَعَ إِمَامُهُ فِيْ أُخْرَى بَطَلَتْ صَلاَتُهُ (قَوْلُهُ بِلاَ عُذْرٍ) يُفِيْدُ أَنَّ التَّخَلُّفَ بِتَكْبِيْرَةٍ مَعَ الْعُذْرِ كَنِسْيَانٍ وَبُطْءِ قِرَاءَ ةٍ وَعَدَمِ سَمَاعِ تَكْبِيْرٍ وَجَهْلٍ يُعْذَرُ بِهِ لاَ يَبْطُلُ بِخِلاَفِ التَّخَلُّفِ بِتَكْبِيْرَتَيْنِ [اعانة لطالبين 2/129]

“Andai seseorang tertinggal satu takbirnya imam bukan karena udzur hingga imam melakukan takbir yang lain maka batal shalatnya. Kalimat ‘bukan karena udzur’ memberi pengertian bahwa tertinggal satu takbir yang di karenakan udzur seperti lupa, lamban bacaan, tidak mendengar takbir dan kebodohan yang di anggap sebagai udzur, maka tidaklah batal shalatnya. Lain halnya bila tertinggal sampai dua takbir.” (I’anah al-Thalibin II/129).

وَمَنْ أَدْرَكَ التَّكْبِيْرَةَ الثَّانِيَةَ فَيَنْبَغِيْ أَنْ يُرَاعِيَ تَرْتِيْبَ الصَّلاَةِ فِيْ نَفْسِهِ وَيُكَبِّرُ مَعَ تَكْبِيْرَاتِ اْلإِمَامِ. فَإِذَا سَلَّمَ اْلإِمَامُ قَضَى تَكْبِيْرَهُ الَّذِيْ فَاتَ كَفِعْلِ الْمَسْبُوْقِ [احياء علوم الدين 1/205]

“Barangsiapa mendapatkan takbirnya imam kedua maka wajib menjaga tertib, urutan, shalatnya dan bertakbir bersama-sama takbirnya imam, kemudian bila imam salam ia melanjutkan takbir yang tertinggal sebagaimana yang di kerjakan oleh makmum masbuq.” (Ihya’ Ulum al-Din 1/205)

[+/-] Selengkapnya...

Takbiran seusai adzan

TAKBIRAN SEUSAI ADZAN

Bagaimana hukumnya takbiran usai adzan untuk menunggu berjamaah pada hari-hari tasyriq?

Takbiran tersebut tidak disunahkan.

وَتَكْبِيْرُ الْحَاجِّ وَغَيْرِهِ فِي الْوَقْتَيْنِ الْمَذْكُوْرَيْنِ يَكُوْنُ (بَعْدَ) أَيْ عَقِبَ (صَلاَةِ كُلِّ فَرْضٍ أَوْ نَفْلٍ أَدَاءً وَقَضَاءً وَجَنَازَةً)وَمَنْذُوْرَةً [المنهاج القويم 94]

“Kesunahan bertakbir bagi orang yang sedang berhaji -- sejak Dhuhur hari raya kurban sampai dengan Shubuh akhir hari tasyriq -- maupun yang lain -- sejak Shubuh hari Arafah sampai dengan Ashar akhir hari tasyriq -- pada masing-masing waktu dimaksud, itu usai shalat baik fardlu maupun sunat, ada’ maupun qadla’, shalat janazah dan shalat karena nadzar.” (Al-Minhaj al-Qawim 94).

BERJABAT TANGAN DENGAN LAWAN JENIS

Sebagaimana yang terlihat pada hari-hari lebaran, tengah menggejala di sebagian kalangan remaja berjabat tangan berlainan jenis yang bukan mahram. Bagaimana hukum-nya?

Berjabat tangan dengan lelawan jenis yang bukan mahram hukumnya haram, baik di hari lebaran maupun bukan, kecuali memakai tutup tangan.

وَتُسَنُّ التَّهْنِئَةُ بِالْعِيْدِ وَنَحْوِهِ مِنَ الْعَامِ وَالشَّهْرِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ مَعَ الْمُصَافَحَةِ إِنِ اتَّحَدَ الْجِنْسُ فَلاَ يُصَافِحُ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ وَلاَ عَكْسُهُ وَمِثْلُهَا اْلأَمْرَدُ الْجَمِيْلُ [الباجوري 1/ 224]

“Disunatkan menyampaikan ucapan selamat hari raya dan semisalnya baik tahun maupun bulan menurut qaul mu’tamad dengan berjabat tangan bilamana sesama jenis. Maka tidak di perbolehkan seorang laki-laki berjabat tangan dengan seorang perempuan dan sebaliknya, demikian juga amrad yang tampan.” (Al-Bajuri 1/224)

وَتَحْرُمُ مُصَافَحَةُ الرَّجُلِ لِلْمَرْأَةِ اْلأَجْنَبِيَّةِ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ وَكَذَا اْلأَمْرَدُ الْجَمِيْلُ [تنوير القلوب 199].

“Haram berjabat tangan antara lelaki dengan perempuan yang bukan mahram tanpa penghalang, demikian juga amrad yang tampan.” (Tanwir al-Qulub 199).

WUDLUI JENAZAH BARU MANDIKAN

Mana yang didahulukan, memandikan jenazah atau mewudlukan? Mewudlukan yang didahulukan, baru kemudian dimandikan.

وَاَكْمَلُهُ إلى أن قال وَأَنْ يُوَضِّئَهُ قَبْلَ الْغَسْلِ كَالْحَيِّ [كاشفة السجا 95]

“Yang lebih sempurna adalah mewudlukan jenazah sebelum memandikannya sebagaimana orang hidup” (Kasyifah al-Saja 95).

MANDI JENAZAH BERHADATS BESAR

Bagaimana cara memandikan mayat yang junub, cukup sekali ataukah dua kali?

Memandikan mayat junub cukup sekali saja.

(وَأَقَلُّ غَسْلِهِ ) وَلَوْ جُنُبًا أَوْ نَحْوَهُ (تَعْمِيْمُ بَدَنِهِ) بِالْمَاءِ مَرَّةً (قَوْلُهُ وَلَوْ جُنُبًا) غَايَةٌ لِلرَّدِّ عَلَى الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ الْقَائِلِ بِأَنَّهُ يَجِبُ غَسْلاَنِ أَحَدُهُمَا لِلْجَنَابَةِ وَاْلآخَرُ لِلْمَوْتِ كَمَا قَرَّرَهُ شَيْخُنَا. [بجيرمي علي المنهج 1/452]

“Memandikan mayat meskipun junub atau sejenisnya minimal adalah meratakan air pada seluruh tubuh satu kali. Kalimat ‘meskipun junub’ adalah ghayah, menghabiskan, untuk menolak pendapat Al-Hasan al-Bashri yang berkata, bahwa mayat tersebut wajib dimandikan dua kali, salah satunya karena janabat dan yang lain karena meninggal, sebagaimana yang ditetapkan Syaikhuna.” (Bujairami ala al-Manhaj 1/452)

SHALAT JENAZAH DALAM TERBELO

Sahkah shalat jenazah didalam terbelo?

Shalat tersebut hukumnya sah.

نَعَمْ لَوْ كَانَ الْمَيِّتُ فِيْ صُنْدُوْقٍ لاَ يَضُرُّ [نِهاية الزين 159]

“Benar demikian, andaikan jenazah dalam terbelo maka menshalatinya tidak mengapa, sah”. (Nihayah al-Zain 159).

SHALAT JENAZAH DAN ASHAR

Ketika waktu Ashar sudah tiba mana yang didahulukan, shalat jenazah ataukah shalat Ashar?

Jika waktunya masih longgar seyogyanya mengerjakan shalat jenazah terlebih dahulu dan jika waktunya sudah sempit maka wajib mendahulukan shalat Ashar. Demikian ini selama tidak ada unsur kesengajaan mengerjakannya usai shalat Ashar.

وَمَحَلُّ جَوَازِ مَا لَهُ سَبَبٌ مُتَقَدِّمٌ أَوْ مُقَارِنٌ إِنْ لَمْ يَتَحَرَّ بِهِ وَقْتَ الْكَرَاهَةِ، وَإِلاَّ كَاَنْ أَخَّرَ فَائِتَةً أَوْ جَنَازَةً لِيُوْقِعَهَا فِيْهِ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ وَقْتُ كَرَاهَةٍ أَوْ دَخَلَ الْمَسْجِدَ بِقَصْدِ التَّحِيَّةِ فَقَطْ أَيْ لاَ غَرَضَ لَهُ إِلاَّ ذَلِكَ أَوْ قَرَأَ اْلآيَةَ فِيْ هَذِهِ اْلأَوْقَاتِ بِقَصْدِ السُّجُوْدِ أَوْ فِيْ غَيْرِهَا لِيَسْجُدَ فِيْهَا حَرُمَ ذَلِكَ وَلاَ يَنْعَقِدُ [الشرقاوي 1/169]

“Adapun letak di perbolehkan shalat yang mempunyai sebab terdahulu atau bersamaan bila memang tidak disengaja mengerjakannya pada waktu makruh. Bila sengaja seperti mengakhirkan shalat qadla atau shalat janazah untuk dilak-sanakan pada waktu makruh sedangkan ia tahu bahwa waktu tersebut adalah waktu makruh, atau masuk masjid dengan tujuan tahiyyatal masjid saja (artinya tiada tujuan sama sekali selain tahiyyatal masjid), atau membaca ayat sajdah pada waktu makruh dengan tujuan sujud tilawah atau pada selain waktu makruh untuk sujud tilawah pada waktu makruh, maka hal tersebut haram dan tidak sah.” ( Al-Syarqawi 1/169)

وَلَوِ اجْتَمَعَ فَرْضٌ وَجَنَازَةٌ وَلَمْ يَخَفْ تَغَيُّرَ الْمَيِّتِ فَإِنْ كَانَ وَقْتُ الْفَرْضِ وَاسِعًا وَجَبَ تَقْدِيْمُ الْجَنَازَةِ. وَإِنْ كَانَ وَقْتُ الْفَرْضِ ضَيِّقًا وَجَبَ تَقْدِيْمُ الْفَرْضِ [ نهاية الزين 111]

“Bilamana bersamaan waktu antara shalat fardlu dan shalat jenazah serta tidak di khawatirkan akan adanya perubahan pada mayat, maka bila waktu shalat fardlu masih longgar wajiblah mendahulukan shalat jenazah. Dan bila waktunya sudah sempit maka wajib mendahulukan shalat fardlu”. (Nihayah al-Zain 111)

[+/-] Selengkapnya...

Menjama' taqdim shalat jum'at

MENJAMA’ TAQDIM SHALAT JUM’AT

Dalam bepergian jauh, kadang-kadang ketika waktu shalat Jum’at berlangsung, seseorang masih di tengah-tengah perjalanan.

a. Bolehkah shalat Jum’at dijama’ taqdim dengan shalat Ashar?

b. Bolehkah meninggalkan shalat Jum’at dengan melakukan shalat Dhuhur?

Menjama’ taqdim shalat Jum’at dengan Ashar hukumnya boleh. Sedang meninggalkan shalat Jum’at dengan alasan bepergian hukumnya tidak boleh, kecuali ketika keluar dari batas desanya (sur) sebelum waktu Shubuh tiba.

يَجُوْزُ فِي السَّفَرِ الَّذِيْ يَجُوْزُ فِيْهِ الْفِطْرُ الْجَمْعُ بَيْنَ الْعَصْرَيْنِ أَيِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ (قوله أَيِ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ) أَيْ وَالْجُمْعَةُ كَالظُّهْرِ فِيْ جَمْعِ التَّقْدِيْمِ كَأَنْ يُقِيْمَ بِبَلَدِ

الْجُمْعَةِ إِقَامَةً لاَ تَمْنَعُ التَّرَخُّصَ فَلَهُ أَنْ يُصَلِّيَ الْجُمْعَةَ ثُمَّ الْعَصْرَ عَقِبَهَا. وَأَمَّا جَمْعُ التَّأْخِيْرِ فَيَمْتَنِعُ لاسْتِحَالَةِ تَأْخِيْرِ الْجُمْعَةِ [موهبة ذي الفضل 3/174]

“Dalam perjalanan yang diperbolehkan berbuka puasa, diperbolehkan juga menjama’ antara Dhuhur dan Ashar. Kalimat “Dhuhur dan Ashar” yakni shalat Jum’at seperti shalat Dhuhur, juga boleh dijama’ taqdim, seperti ketika ia mukim di daerah yang didirikan shalat Jum’at yang diperbolehkan untuk tarakhkhus (menggunakan keringanan

hukum), maka ia boleh melakukan shalat Jum’at lalu shalat Ashar (menjama’ taqdim). Adapun menjama’ ta’khir tidak diperkenankan karena tidak dimungkinkannya mengakhir- kan shalat Jum’at pada waktu Ashar.” (Muhibah Dzi al Fadl III/174).

(وَ) حَرُمَ عَلَى مَنْ تَلْزَمُهُ الْجُمْعَةُ وَإِنْ لَمْ تَنْعَقِدْ بِهِ (سَفَرٌ) تَفُوْتُ بِهِ الْجُمْعَةُ كَأَنْ ظَنَّ أَنَّهُ لاَ يُدْرِكُهَا فِيْ طَرِيْقِهِ أَوْ مَقْصَدِهِ وَلَوْ كَانَ السَّفَرُ طَاعَةً مَنْدُوْبًا أَوْ وَاجِبًا (بَعْدَ فَجْرِهَا) أَيْ فَجْرِ يَوْمِ الْجُمْعَةِ [هامش إعانة الطالبين 2/96].

“Haram bagi orang yang berkewajiban shalat Jum’at sekalipun tidak menjadikan sahnya, bepergian yang dapat meluputkan shalat Jum’at -- misalnya ia memperkirakan tidak akan dapat mengejar shalat Jum’at dalam perjalanan

atau di tempat tujuan, meskipun bepergiannya itu bepergian taat, baik sunat ataupun wajib -- setelah terbit fajar hari Jum’at. “ (I’anah al-Thalibin II/96).

[+/-] Selengkapnya...

Kotak amal saat khutbah

KOTAK AMAL SAAT KHUTBAH

Untuk membiayai kebutuhan masjid pengurus menge-darkan kotak amal pada saat khutbah berlangsung, Bagaimana hukumnya ?

Mengedarkan kotak amal tersebut hukumnya makruh bilamana tidak menimbulkan tasywisy dan haram bila menimbulkan tasywisy.

(فَرْعٌ) يُكْرَهُ كَرَاهَةً قَوِيَّةً كِتَابَةُ الْحَفَائِظِ فِيْ رَمَضَانَ وَتَفْرِقَتُهَا عَلَى الْمُصَلِّيْنَ وَقَبُوْلُهُمْ لَهَا وَالْمَشْيُ بَيْنَ الصُّفُوْفِ لِلسُّؤَالِ أَوْ غَيْرِهِ وَالتَّصَدُّقُ عَلَيْهِ [قليوبي 1/283]

“(Cabang). Makruh kuat hukumnya menulis jimat-jimat di bulan Ramadlan kemudian mengedarkan pada orang–orang yang sedang shalat, juga penerima mereka, dan berjalan di antara barisan shalat untuk meminta dan lainnya, serta memberinya sedekah.” (Qalyubi I/283)

وَلاَ يَنْبَغِي التَّصَدُّقُ فِي الْمَسْجِدِ وَيَلْزَمُ مَنْ رَآهُ اْلإِنْكَارُ عَلَيْهِ وَمَنْعُهُ إِنْ قَدَرَ، وَيُكْرَهُ السُّؤَالُ فِيْهِ بَلْ يَحْرُمُ إِنْ شَوَّشَ عَلَى الْمُصَلِّيْنَ أَوْ مَشَى أَمَامَ الصُّفُوْفِ أَوْ تَخَطَّى رِقَابَهُمْ

[بجيرمي على الخطيب 1/326]

“Tidak seyogyanya memberi sedekah di dalam masjid dan wajib ingkar bagi orang yang melihatnya serta mencegah bila mampu. Juga makruh meminta-minta dan haram bila menimbulkan tasywisy pada orang-orang yang sedang shalat atau berjalan di muka barisan dan melangkahi leher mereka.” (Bujairami ‘ala Al-Khatib I/326)

[+/-] Selengkapnya...

Nyelonong untuk khutbah/imam

Sebagaimana tradisi yang berlaku, khatib dan imam Jum’at digilir berdasarkan hasil musyawarah masyarakat. Suatu ketika seseorang yang tidak mendapat giliran, nyelonong berkhutbah sekaligus mengimami.

a. Bagaimana hukumnya nyelonong berkhutbah dan mengimami tersebut?

b. Bagaimana hukum Jum’atannya?

Nyelonong berkhutbah dan mengimami hukumnya haram, sebab termasuk ghashab. Sedang Jum’atannya sah.

فَصْلٌ فِي الْغَصْبِ. وَهُوَ إلى أن قال : وَشَرْعًا اسْتِيْلاَءٌ عَلَى حَقِّ الْغَيْرِ بِلاَ حَقٍّ (قوله عَلَى حَقِّ الْغَيْرِ) وَلَوْ مَنْفَعَةً كَإِقَامَةِ مَنْ قَعَدَ بِمَسْجِدٍ أَوْ سُوْقٍ وَإِنْ لَمْ يَسْتَوْلِ عَلَى مَحَلِّهِ إلى ان قال وَالْقُعُوْدُ لِذِكْرٍ أَوْ تَسْبِيْحٍ أَوْ سَمَاعِ قُرْآنٍ حُكْمُهُ كَالْجَالِسِ لِلصَّلاَةِ [بجيرمي علي الخطيب 3/137].

“Ghashab menurut terminologi syara’ adalah menguasai hak orang lain dengan cara yang tidak benar. Kalimat “hak orang lain” sekalipun hanya berupa manfaat (bukan materi), seperti menyuruh berdiri orang yang telah duduk di masjid atau di pasar, meskipun ia tidak menduduki tempat tersebut … Duduk-duduk di masjid untuk berdzikir, membaca tasbih ataupun mendengarkan Alqur’an, hukumnya seperti orang duduk untuk shalat.” (Bujairami ‘ala al-Khatib III/137).

(قَوْلُهُ كَجُلُوْسِهِ عَلَى فِرَاشِ غَيْرِهِ) إلى أن قال أَيْ وَكَجُلُوْسِهِ عَلَى فِرَاشِ غَيْرِهِ أَيْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَهُوَ غَاصِبٌ لَهُ وَإِنْ لَمْ يَنْقُلْهُ [إعانة الطالبين 3/137]

“Kalimat ‘seperti duduk di atas tikar orang lain’ yakni tanpa seizin, maka statusnya juga mengghashab, meskipun tanpa memindahkan.” (I’anah al-Thalibin I/137).

(قوله وَلَيْسَ لِلْعَارِيْ غَصْبُ الثَّوْبِ) أَيْ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَأْخُذَ الثَّوْبَ قَهْرًا مِنْ مَالِكِهِ فَلَوْ أَخَذَهُ وَصَلَّى بِهِ صَحَّتْ صَلاَتُهُ مَعَ الْحُرْمَةِ كَمَا مَرَّ [إعانة الطالبين 1/114].

“Kalimat ‘tidak boleh bagi orang yang telanjang mengghashab pakaian,’ yakni tidak boleh mengambil pakaian orang lain secara paksa. Andai ia mengambil pakaian tersebut untuk digunakan shalat, maka tetap sah

shalatnya, namun haram, sebagaimana keterangan yang terdahulu.” (I’anah al-Thalibin I/114).

[+/-] Selengkapnya...