Kotak amal saat khutbah

KOTAK AMAL SAAT KHUTBAH

Untuk membiayai kebutuhan masjid pengurus menge-darkan kotak amal pada saat khutbah berlangsung, Bagaimana hukumnya ?

Mengedarkan kotak amal tersebut hukumnya makruh bilamana tidak menimbulkan tasywisy dan haram bila menimbulkan tasywisy.

(فَرْعٌ) يُكْرَهُ كَرَاهَةً قَوِيَّةً كِتَابَةُ الْحَفَائِظِ فِيْ رَمَضَانَ وَتَفْرِقَتُهَا عَلَى الْمُصَلِّيْنَ وَقَبُوْلُهُمْ لَهَا وَالْمَشْيُ بَيْنَ الصُّفُوْفِ لِلسُّؤَالِ أَوْ غَيْرِهِ وَالتَّصَدُّقُ عَلَيْهِ [قليوبي 1/283]

“(Cabang). Makruh kuat hukumnya menulis jimat-jimat di bulan Ramadlan kemudian mengedarkan pada orang–orang yang sedang shalat, juga penerima mereka, dan berjalan di antara barisan shalat untuk meminta dan lainnya, serta memberinya sedekah.” (Qalyubi I/283)

وَلاَ يَنْبَغِي التَّصَدُّقُ فِي الْمَسْجِدِ وَيَلْزَمُ مَنْ رَآهُ اْلإِنْكَارُ عَلَيْهِ وَمَنْعُهُ إِنْ قَدَرَ، وَيُكْرَهُ السُّؤَالُ فِيْهِ بَلْ يَحْرُمُ إِنْ شَوَّشَ عَلَى الْمُصَلِّيْنَ أَوْ مَشَى أَمَامَ الصُّفُوْفِ أَوْ تَخَطَّى رِقَابَهُمْ

[بجيرمي على الخطيب 1/326]

“Tidak seyogyanya memberi sedekah di dalam masjid dan wajib ingkar bagi orang yang melihatnya serta mencegah bila mampu. Juga makruh meminta-minta dan haram bila menimbulkan tasywisy pada orang-orang yang sedang shalat atau berjalan di muka barisan dan melangkahi leher mereka.” (Bujairami ‘ala Al-Khatib I/326)

[+/-] Selengkapnya...

Nyelonong untuk khutbah/imam

Sebagaimana tradisi yang berlaku, khatib dan imam Jum’at digilir berdasarkan hasil musyawarah masyarakat. Suatu ketika seseorang yang tidak mendapat giliran, nyelonong berkhutbah sekaligus mengimami.

a. Bagaimana hukumnya nyelonong berkhutbah dan mengimami tersebut?

b. Bagaimana hukum Jum’atannya?

Nyelonong berkhutbah dan mengimami hukumnya haram, sebab termasuk ghashab. Sedang Jum’atannya sah.

فَصْلٌ فِي الْغَصْبِ. وَهُوَ إلى أن قال : وَشَرْعًا اسْتِيْلاَءٌ عَلَى حَقِّ الْغَيْرِ بِلاَ حَقٍّ (قوله عَلَى حَقِّ الْغَيْرِ) وَلَوْ مَنْفَعَةً كَإِقَامَةِ مَنْ قَعَدَ بِمَسْجِدٍ أَوْ سُوْقٍ وَإِنْ لَمْ يَسْتَوْلِ عَلَى مَحَلِّهِ إلى ان قال وَالْقُعُوْدُ لِذِكْرٍ أَوْ تَسْبِيْحٍ أَوْ سَمَاعِ قُرْآنٍ حُكْمُهُ كَالْجَالِسِ لِلصَّلاَةِ [بجيرمي علي الخطيب 3/137].

“Ghashab menurut terminologi syara’ adalah menguasai hak orang lain dengan cara yang tidak benar. Kalimat “hak orang lain” sekalipun hanya berupa manfaat (bukan materi), seperti menyuruh berdiri orang yang telah duduk di masjid atau di pasar, meskipun ia tidak menduduki tempat tersebut … Duduk-duduk di masjid untuk berdzikir, membaca tasbih ataupun mendengarkan Alqur’an, hukumnya seperti orang duduk untuk shalat.” (Bujairami ‘ala al-Khatib III/137).

(قَوْلُهُ كَجُلُوْسِهِ عَلَى فِرَاشِ غَيْرِهِ) إلى أن قال أَيْ وَكَجُلُوْسِهِ عَلَى فِرَاشِ غَيْرِهِ أَيْ بِغَيْرِ إِذْنِهِ فَهُوَ غَاصِبٌ لَهُ وَإِنْ لَمْ يَنْقُلْهُ [إعانة الطالبين 3/137]

“Kalimat ‘seperti duduk di atas tikar orang lain’ yakni tanpa seizin, maka statusnya juga mengghashab, meskipun tanpa memindahkan.” (I’anah al-Thalibin I/137).

(قوله وَلَيْسَ لِلْعَارِيْ غَصْبُ الثَّوْبِ) أَيْ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَأْخُذَ الثَّوْبَ قَهْرًا مِنْ مَالِكِهِ فَلَوْ أَخَذَهُ وَصَلَّى بِهِ صَحَّتْ صَلاَتُهُ مَعَ الْحُرْمَةِ كَمَا مَرَّ [إعانة الطالبين 1/114].

“Kalimat ‘tidak boleh bagi orang yang telanjang mengghashab pakaian,’ yakni tidak boleh mengambil pakaian orang lain secara paksa. Andai ia mengambil pakaian tersebut untuk digunakan shalat, maka tetap sah

shalatnya, namun haram, sebagaimana keterangan yang terdahulu.” (I’anah al-Thalibin I/114).

[+/-] Selengkapnya...

Shalat Jum'at terlambat

Ketika hendak melakukan shalat Jum’at, seseorang sudah terlambat satu raka’at, kemudian seorang lagi tertinggal dua raka’at.

a. Bagaimana cara niat shalatnya?

b. Bagaimana cara menyempurnakan raka’atnya?

Ma’mum yang mengikuti hanya satu raka’at, wajib niat shalat Jum’at, dan setelah imam salam tinggal menyusuli satu raka’at. Sedang ma’mum yang tertinggal dua raka’at, niatnya tetap niat shalat Jum’at (نوى ولا صلى) kemudian menyusuli empat raka’at setelah salamnya imam (صلىولانوى).

وَلَوْ أَدْرَكَ الْمَسْبُوْقُ رُكُوْعَ الثَّانِيَةِ وَاسْتَمَرَّ مَعَهُ إِلَىاَنْ سَلَّمَ أَتَى بِرَكْعَةٍ بَعْدَ سَلاَمِهِ جَهْرًا وَتَمَّتْ جُمْعَتُهُ اِنْ صَحَّتُْجمْعَةُ اْلامَامِ [هامش إعانة الطالبين 2/56].

“Bilamana ma’mum masbuq mendapatkan imam pada ruku’ raka’at kedua dan ia shalat bersamanya hingga imam salam, maka ma’mum tersebut wajib menyusuli satu raka’at lagi sesudah salamnya imam dengan jahr (bersuara keras ketika membaca Fatihah dan surat) dan sempurnalah shalat Jum’atnya. jika sah shalat Jum’atnya imam.” (Hamisy I’anah al-Thalibin II/56)

وَتَجِبُ عَلَى مَنْ جَاءَ بَعْدَ رُكُوْعِ الثَّانِيَةِ نِيَّةُ الْجُمْعَةِ عَلَى اْلأَصَحِّ وَإِنْ كَانَتِ الظُّهْرُ هِيَ اللاَّزِمَةَ لَهُ [إعانة الطالبين 2/56].

Wajib bagi orang yang datang setelah imam ruku’ pada raka’at kedua, berniat shalat Jum’at menurut qaul ashah, meskipun shalat Dhuhur adalah yang wajib baginya. (I’anah al-Thalibin II/56).

 

Masalah terkait:

bagaimana hukumnya?

[+/-] Selengkapnya...

Sujud berdesakan

Karena banyaknya jama’ah shalat Jum’at hingga tidak bisa melakukan sujud secara sempurna, bagaimana caranya?

Apabila tidak bisa melakukan dengan sempurna, maka bersujud di punggung ma’mum depannya. Dan apabila tidak bisa sama sekali, maka menunggu hingga tiada lagi desak-desakan.

فَإِنْ زُوْحِمَ الْمَأْمُوْمُ عَنِ السُّجُوْدِ فِي الْجُمْعَةِ نُظِرَتْ فَإِنْ قَدَرَ أَنْ يَسْجُدَ عَلَى ظَهْرِ إِنْسَانٍ لَزِمَهُ أَنْ يَسْجُدَ لِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: إِذَا اشْتَدَّ الزِّحَامُ فَلْيَسْجُدْ أَحَدُكُمْ عَلَى ظَهْرِ أَخِيْهِ إلى أن قال: وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى السُّجُوْدِ بِحَالٍ انْتَظَرَ حَتَّى يَزُوْلَ الزِّحَامُ [المهذب 1/115].

“Apabila ma’mum berdesakan sujudnya ketika shalat Jum’at, maka dilihat-lihat. Jika ia mampu bersujud di punggung orang lain, maka ia bersujud di punggung tersebut, karena keterangan hadits yang diriwayatkan oleh Umar R.A. Beliau berkata: Jika terjadi desakan yang amat sangat, maka sujudlah salah seorang di antara kalian di punggung saudaranya ..… Dan jika ia tidak bisa sujud sama sekali, maka menunggu hingga tidak ada desak-desakan lagi.” (Al-Muhadzdzab I/115).

 

Bagaimana hukum Shalat hari-hari tertentu

[+/-] Selengkapnya...

Shalat hari-hari tertentu

Bagaimana hukumnya sengaja melakukan shalat pada hari-hari tertentu seperti ‘Asyura, Nishfu Sya’ban dan sebagainya? Jika tidak boleh bagaimana jalan keluarnya ?

Shalat sebagaimana tersebut hukumnya tidak boleh, bid’ah qabihah. Bila melakukannya, ia harus berniat shalat sunat muthlaqah atau shalat sunat hajat, tidak berniat mengkhusus-kan hari tersebut.

(فَائِدَةٌ) أَمَّا الصَّلاَةُ الْمَعْرُوْفَةُ لَيْلَةَ الرَّغَائِبِ وَنِصْفَ شَعْبَانَ وَيَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَبِدْعَةٌ قَبِيْحَةٌ وَأَحَادِيْثُهَا مَوْضُوْعَةٌ [هامش إعانة الطالبين 1/270]

“(Faedah). Adapun shalat yang dikenal malam Raghaib, Nishfu Sya’ban dan hari Asyura itu bi’dah qabihah sedang-kan haditsnya maudlu’.” (Hamisy I’anah al-Thalibin I/270)

(تَنْبِيْهٌ) قَالَ الْعَلاَّمَةُ الشَّيْخُ زَيْنُ الدِّيْنِ تِلْمِيْذُ ابْنِ حَجَرٍ الْمَكِّيُّ فِيْ كِتَابِهِ "إِرْشَادُ الْعِبَادِ" كَغَيْرِهِ مِنْ عُلَمَاءِ الْمَذْهَبِ: وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ الَّتِيْ يَأْثَمُ فَاعِلُهَا وَيَجِبُ عَلَى وُلاَةِ اْلأَمْرِ مَنْعُ فَاعِلِهَا صَلاَةُ الرَّغَائِبِ إِلَى أَنْ قَالَ أَمَّا أَحَادِيْثُهَا فَمَوْضُوْعَةٌ بَاطِلَةٌ وَلاَ تَغْتَرَّ بِمَنْ ذَكَرَهَا اها. (قُلْتُ) وَمِثْلُهُ صَلاَةُ صَفَرَ فَمَنْ أَرَادَ الصَّلاَةَ فِيْ وَقْتٍ مِنْ هَذِهِ اْلأَوْقَاتِ فَلْيَنْوِ النَّفْلَ الْمُطْلَقَ فُرَادَى مِنْ غَيْرِ عَدَدٍ مُعَيَّنٍ وَهُوَ مَا لاَ يَتَقَيَّدُ بِوَقْتٍ وَلاَ سَبَبٍ وَلاَ حَصْرَ لَهُ [كنْز النجاح والسرور 17 – 18]

“(Perhatian). Al-‘Allamah al-Syaikh Zainuddin muridnya Ibn Hajar al-Makki di dalam kitabnya Irsyad al-‘Ibad sebagaimana ulama madzhab yang lain berkata: Termasuk bid’ah tercela yang berdosa bagi yang melakukan dan wajib bagi pemegang urusan/ kekuasaan mencegah adalah shalat Raghaib… Adapun haditsnya maudlu’ dan batal. Janganlah terpedaya orang yang menyebutnya. Aku berkata: Semisal hal tersebut adalah shalat Shafar, maka barang siapa yang hendak melakukan shalat pada waktu-waktu dimaksud hendaklah niat shalat sunat muthlaqah secara sendiri-sendiri,

tidak berjamaah, tanpa hitungan rekaat yang pasti. Nafl mutlaq adalah shalat yang tanpa terikat waktu, sebab dan hitungan rekaat.” (Kanz al-Najah wa al-Surur 17-18)

Shalat sunah belum qadla fardlu

[+/-] Selengkapnya...

Shalat sunah belum qadla' fardlu

Seseorang meninggalkan shalat fardlu dan belum diqadla’ kemudian ia melakukan shalat sunnat. Bagaimana hukumnya?

Melakukan shalat sunat tersebut hukumnya haram, apabila meninggalkannya tanpa ada udzur, namun sah shalatnya.

(وَيُبَادِرُ) مَنْ مَرَّ (بِفَائِتٍ) وُجُوْبًا اِنْ فَاتَ بِلاَ عُذْرٍ فَيَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ فَوْرًا قَالَ شَيْخُنَا أَحْمَدُ بْنُ حَجَرٍ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى وَالَّذِيْ يَظْهَرُ أَنَّهُ يَلْزَمُهُ صَرْفُ جَمِيْعِ زَمَنِهِ لِلْقَضَاءِ مَا عَدَا مَا يَحْتَاجُ لِصَرْفِهِ فِيْمَا لاَ بُدَّ مِنْهُ وَأَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ التَّطَوُّعُ. (قَوْلُهُ وَأَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ التَّطَوُّعُ) أَيْ مَعَ صِحَّتِهِ خِلاَفًا لِلزَّرْكَشِيّ [إعانة الطالبين 1/23].

“Seorang mukallaf wajib segera mengqadha’ shalatnya apabila ia meninggalkannya tanpa udzur. Syikhuna Ahmad ibn Hajar rahimahullah berkata: Menurut qaul dhahir, ia wajib menggunakan seluruh waktunya untuk mengqadha’ shalatnya, kecuali untuk hal-hal yang memang harus ia kerjakan dan ia haram melakukan shalat sunat. Kalimat “haram dan seterusnya” yakni sah shalatnya. Berbeda dengan pendapat Al-Zarkasyi.” (I’anah al-Thalibin I/23).

Bepergian ulang waktu shalat

[+/-] Selengkapnya...

Bepergian ulang waktu

Seseorang bepergian ke luar negeri dengan menggunakan pesawat terbang. Sebelum berangkat ia sudah mengerjakan shalat Maghrib, namun sesampainya di tempat tujuan malah masih waktu Ashar. Haruskah ia mengulang shalat Maghrib ketika waktunya tiba ?

Orang tersebut wajib mengulang kembali shalat Maghrib ketika saatnya tiba.

وَهَذَا الْحُكْمُ لاَ يَخْتَصُّ بِالصَّوْمِ بَلْ يَجْرِيْ فِيْ غَيْرِهِ أَيْضًا حَتَّى لَوْ صَلَّى الْمَغْرِبَ بِمَحَلٍّ وَسَافَرَ إِلَى بَلَدٍ فَوَجَدَهَا لَمْ تَغْرُبْ وَجَبَتِ اْلإِعَادَةُ [كاشفة السجا 109]

“Hukum ini tidak terbatas hanya pada masalah puasa tetapi juga berlaku pada masalah-masalah yang lain, sehingga andaikan seseorang telah mengerjakan shalat Maghrib di suatu tempat kemudian ia bepergian ke negara lain, sesampainya di sana matahari belum terbenam maka ia wajib i’adah, mengulang shalat Maghrib tadi.” (Kasyifah al-Saja 109)

Bagaimana hukum berjamaah dengan imam fasiq ?

[+/-] Selengkapnya...