Showing posts with label Bahsul Masail. Show all posts
Showing posts with label Bahsul Masail. Show all posts

Jual bongkaran masjid

JUAL BONGKARAN MASJID

Bagaimana hukum menjual bongkaran masjid ?

Apabila barang tersebut tidak bisa dimanfaatkan dan tidak ada maslahat kecuali dijual maka boleh. Apabila barang tersebut masih bisa dimanfaatkan atau tidak ada maslahat bila dijual maka tidak boleh dijual.

وَيَجُوْزُ بَيْعُ حُصُرِ الْمَسْجِدِ الْمَوْقُوْفَةِ عَلَيْهِ إِذَا بَلِيَتْ بِأَنْ ذَهَبَ جَمَالُهَا وَنَفْعُهَا وَكَانَتِ الْمَصْلَحَةُ فِيْ بَيْعِهَا وَكَذَا جُذُوْعُهُ الْمُنْكَسِرَةُ خِلاَفًا لِجَمْعٍ فِيْهِمَا وَيُصْرَفُ ثَمَنُهَا لِمَصَالِحِ الْمَسْجِدِ إِنْ لَمْ يُمْكِنْ شِرَاءُ حَصِيْرٍ أَوْ جِذْعٍ بِهِ [هامش إعانة الطالبين 3/180].

“Diperbolehkan menjual tikar masjid yang diwaqafkan jika telah rusak, misalnya sudah pudar keindahannya dan tidak berfungsi lagi manfaatnya, bahkan merupakan kemaslahatan bila dijual. Demikian menjual tiang-tiang penyangga masjid yang patah. Lain halnya menurut segolongan ulama yang

berbeda pendapat dalam kedua masalah tersebut. Kemudian hasil penjualannya dibelanjakan untuk kepentingan masjid jika tidak memungkinkan untuk membeli tikar atau tiang yang baru”. (Hamisy I’anah al-Thalibin III/180).

[+/-] Selengkapnya...

Kerja membangun gereja

Bagaimana hukum orang Islam ikut kerja membangun gereja atau warung pramuwisma?

Haram hukumnya ikut kerja membangun gereja ataupun warung pramuwisma.

وَلاَ يَجُوْزُ بَذْلُ مَالٍ فِيْهِ لِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ وَمِثْلُهُ أَيْضًا اسْتِئْجَارُ كَافِرٍ مُسْلِمًا لِبِنَاءِ نَحْوِ كَنِيْسَةٍ [قليوبي

3/70].

“Tidak boleh menyerahkan uang untuk hal-hal yang diharamkan tanpa adanya dlarurat. Demikian juga tidak boleh orang kafir mempekerjakan orang Islam untuk membangun semisal gereja”. (Qalyubi III/70).

وَلاَ يَجُوْزُ اسْتِئْجَارُ الْمَغَانِيْ وَلاَ شَخْصٍ لِحَمْلِ خَمْرٍ وَنَحْوِهِ وَلاَ لِجَبْيِ الْمُكُوْسِ وَالرِّشَى وَجَمِيْعِ الْمُحَرَّمَاتِ [كفاية الأخيار 1/215].

“Tidak boleh mempekerjakan biduan. Tidak boleh pula mempekerjakan seseorang untuk membawa arak dan sejenisnya atau untuk manarik bea, suap dan segala hal yang dilarang”. (Kifayah al-Akhyar I/215).

[+/-] Selengkapnya...

Sewa pohon ambil buah

SEWA POHON AMBIL BUAH

Bagaimana hukumnya menyewa pohon untuk diambil buahnya?

Akad tersebut tidak boleh, karena barang (bukan jasa) tidak bisa dimiliki dengan akad ijarah, berbeda dengan pendapat Imam Subki yang memperbolehkannya, namun pendapat ini adalah dla’if.

فَلاَ يَصِحُّ اكْتِرَاءُ بُسْتَانٍ لِثَمْرَتِهِ لأَنَّ اْلأَعْيَانَ لاَ تُمْلَكُ بِعَقْدِ اْلإِجَ‍ارَةِ قَصْدًا وَنَقَلَ التَّاجُ السُّبْكِي فِيْ تَوْشِيْخِهِ اخْتِيَارَ وَالِدِهِ التَّقِيّ السُّبْكِيّ فِيْ آخِرِ عُمْرِهِ صِحَّةَ إِجَارَةِ اْلأَشْجَارِ لِثَمْرِهَا. (قَوْلُهُ وَنَقَلَ التَّاجُ السُّبْكِيّ الخ. ضَعِيْفٌ) [هامش إعانة الطالبين 3/114) ]

“Tidak sah menyewa kebun untuk diambil buahnya, karena tidak bisa dimiliki dengan akad tijarah, sewa, sebagai tujuan awalnya. Al-Taj al-Subki dalam sebuah ulasannya menukil pendapat orang tuanya, Al-Taqiy al-Subki, diakhir usianya yang memilih sahnya sewa pohon untuk diambil buahnya.

Kalimat ‘Al-Taj al-Subki menukil dst.’ adalah dla’if.” (Hamisy I’anah al-Thalibin III/114).

[+/-] Selengkapnya...

Jual beli kucing

JUAL BELI KUCING

Bagaimana hukum memperjual belikan kucing ?

Memperjual belikan kucing hukumnya boleh.

وَيَصِحُّ أَيْضًا بَيْعُ مَا يُنْتَفَعُ بِتَعْلِيْمِهِ كَقِرْدٍ أَوْبِصَيْدِهِ كَصَقْر وَهِرَّةٍ أفَادَ ذَلِكَ الرَّمْلِيّ [مرقاة صعود التصديق فى شرح سلم التوفيق 49]

“Sah menjual hewan yang bermanfaat, baik dengan dilatih seperti monyet atau dipergunakan untuk berburu seperti burung elang dan kucing. Keterangan ini disampaikan oleh Al-Ramli.” (Mirqah Shu’ud al-Tashdiq fi Syarh Sullam al-Taufiq 49)

[+/-] Selengkapnya...

Jual minuman keras

JUAL MINUMAN KERAS

Bagaimana hukum menjual minuman keras ?

Menjual minuman keras hukumnya haram dan tidak sah.

وَيَحْرُمُ وَلاَ يَصِحُّ أَيْضًا بَيْعُ النَّجْسِ وَكَذَا الْمُتَنَجِّسُ الَّذِيْ لاَ يُمْكِنُ تَطْهِيْرُهُ بِالْمَاءِ كَالْكَلْبِ وَدُهْنٍ مُتَنَجِّسٍ وَكَذَا بَيْعُ كُلِّ مُسْكِرٍ كَخَمْرٍ وَكُلِّ مُحَرَّمٍ مِنْ آلاَتِ الْمَلاَهِيْ وَالصُّوَرِ وَلَوْ مِنْ ذَهَبٍ [إسعاد الرفيق 1/136]

“Haram dan tidak sah menjual barang najis, begitu juga ba-rang yang kena najis yang tidak mungkin disucikan kembali dengan air, seperti anjing dan minyak yang kena najis. Demi- kian halnya menjual setiap barang yang memabukkan seperti arak dan setiap yang diharamkan seperti alat musik dan gambar /lukisan meskipun dari emas.” (Is’ad al-Rafiq I/136).

[+/-] Selengkapnya...

Pemodal sekaligus pembeli

PEMODAL SEKALIGUS PEMBELI

Seseorang memberi pinjaman modal kepada peternak ayam dengan syarat hasil ternaknya harus dijual kepada pemberi pinjaman dengan harga di bawah standar. Bagaimana hukumnya ?

Bilamana persyaratan tadi disebut pada waktu akad maka hukumnya haram dan bilaman tidak disebut pada waktu akad, dikalangan ulama, terdapat tiga pendapat yaitu haram, halal dan syubhat. Yang lebih berhati-hati adalah haram.

اخْتَلَفَ الْعُلَمَاءُ فِيْ هَذِهِ الْمَسْئَلَةِ عَلَى ثَلاَثَةِ أَقْوَالٍ : قِيْلَ إِنّهُ حَرَامٌ لأَنَّهُ دَاخِلٌ فِيْ قَرْضٍ جَرَّ نَفْعًا، وَقِيْلَ إِنَّهُ حَلاَلٌ لِعَدَمِ الشَّرْطِ فِيْ صُلْبِ الْعَقْدِ أَوْ فِيْ مَجْلِسِ الْخِيَارِ وَالْعَادَةُ الْمُطَّرِدَةُ لاَ يَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الشَّرْطِ عِنْدَ الْجُمْهُوْرِ، وَقِيْلَ شبُهْةٌَ لاخْتِلاَفِ الْعُلَمَاءِ فِيْهِ، واَلْمُؤْتَمَرُ قَرَّرَ أَنَّ اْلأَحْوَطَ الْقَوْلُ اْلأَوَّلُ وَهُوَ الْحُرْمَةُ [أحكام الفقهاء 1/22]

“Para ulama dalam masalah ini berselisih atas tiga pendapat; Haram karena termasuk pinjaman untuk mengambil keun-tungan; halal karena tidak adanya syarat pada waktu akad atau pada waktu hak khiyar sedangkan kebiasaan yang ber-laku tidak bisa menduduki kedudukan syarat menurut keba-nyakan ulama; dan syubhat karena para ulama berbeda-beda pendapat. Mu’tamar menetapkan, bahwa yang lebih berhati-hati adalah pendapat yang pertama yaitu haram.” (Ahkam al-Fuqaha’ I/22)

وَمِنْهُ الْقَرْضُ لِمَنْ يَسْتَأْجِرُ مِلْكَهُ أَيْ مَثَلاً بِأَكْثَرَ مِنْ قِيْمَتِهِ لأَجْلِ الْقَرْضِ إِنْ وَقَعَ ذَلِكَ شَرْطًا إِذْ هُوَ حِيْنَئِذٍ حَرَامٌ إِجْمَاعًا وَإِلاَّ كُرِهَ عِنْدَنَا وَحَرُمَ عِنْدَ كَثِيْرٍ مِنَ الْعُلَمَاءِ [هامش إعانة الطالبين 3/5354]

Termasuk riba qardl adalah memberi pinjaman utang kepada orang yang menyewa hak miliknya misalnya, dengan harga lebih tinggi dari harga sebenarnya karena hutang, bilamana hal tersebut merupakan syarat, karena demikian ini haram menurut ijma’ ulama dan bila tidak syarat maka makruh menurut kami dan haram menurut kebanyakan ulama. (Hamisy I’anah al-Thalibin III/53-54)

(قَوْلُهُ فَفَاسِدٌ) قَالَ ع ش: وَمَعْلُوْمٌ أَنَّ مَحَلَّ الْفَسَادِ حَيْثُ وَقَعَ الشَّرْطُ فِيْ صُلْبِ الْعَقْدِ أَمَّا لَوْ تَوَافَقَا عَلَى ذَلِكَ وَلَمْ يَقَعْ شَرْطٌ فَي الْعَقْدِ فَلاَ فَسَادَ [إعانة الطالبين 3/53]

“Kata ‘batal’. ع ش berkata : Sudah jelas bahwa letak batal-nya dari sisi terjadinya syarat pada waktu akad. Adapun jika keduanya bersepakat pada hal tersebut dan syarat tidak terjadi di dalam akad maka tidak batal.” (I’anah al-Thalibin III/53)

41. ANAK KECIL JUAL BELI

Bagaimana hukumnya anak kecil belum baligh melakukan jual beli ?

Jual beli tersebut hukumnya boleh namun terbatas pada sesuatu yang maklum seperti rokok, sabun dan semisalnya.

وَمِمَّا عَمَّتِ الْبَلْوَى بِعْثَانُ الصَّغَائِرِ لِشِرَاءِ الْحَوَائِجِ وَاطَّرَدَتِ الْعَادَةُ فِيْ سَائِرِ الْبِلاَدِ وَقَدْ تَدْعُو الضَّرُوْرَةُ إِلَى ذَلِكَ فَيَنْبَغِيْ إِلْحَاقُ ذَلِكَ بِالْمُعَاطَاةِ [كفاية الأخيار 1/240]

“Termasuk kebiasaan yang sudah umum adalah menyuruh anak-anak kecil untuk membeli berbagai kebutuhan dan kebiasan ini sudah berlaku di berbagai negara, bahkan kadang-kadang juga dlarurat mendorong pada hal tersebut. Maka seyogyanya disamakan dengan mu’athah.” (Kifayah al-Akhyar I/240)

فَلاَ يَنْعَقِدُ بِالْمُعَاطَاةِ لَكِنِ اخْتِيْرَ اْلإِنْعِقَادُ بِكُلِّ مَا يُتَعَارَفُ الْبَيْعُ بِهَا فِيْهِ كَاْلُخُبْزِ وَاللَّحْمِ دُوْنَ نَحْوِ الدَّوَابِّ وَاْلأَرَاضِيْ

[هامش إعانة الطالبين 3\4]

“Tidak sah jual beli dengan mu’athah, tetapi dipilih pendapat yang menyatakan sah pada sesuatu yang dikenal sebagai jual beli dengan mu’athah seperti roti, daging bukan semisal hewan, kendaraan, dan tanah.” (Hamisy I’anah al-Thalibin III/4)

[+/-] Selengkapnya...

Menunda ibadah haji

MENUNDA IBADAH HAJI

Bagaimana hukum menunda-nunda haji padahal ia sudah mampu hingga akhirnya ia tidak mampu lagi?

Menunda haji pada dasarnya adalah boleh, namun apabila menundanya sampai tidak mampu lagi hukumnya berdosa dan fasiq.

(وَالتَّهَاوُنُ) أَيْ عَدَمُ اْلإِسْتِعْجَالِ (بِالْحَجِّ بَعْدَ اْلإِسْتِطَاعَةِ إِلَى أَنْ يَمُوْتَ) لأَنَّ وَقْتَهُ الْعُمْرُ فَإِذَا مَاتَ بَعْدَ اْلإِسْتِطَاعَةِ تَبَيَّنَ الْعِصْيَانُ مِنْ آخِرِ سِنِي اْلإِمْكَانِ لأَنَّهُ قَدْ أَخَّرَهُ وَأَخْرَجَهُ عَنْ وَقْتِهِ. [مرقاة صعود التصديق فى شرح سلم التوفيق 82]

“Termasuk maksiat badan adalah menganggap enteng, yakni tidak segera melaksanakan ibadah haji ketika sudah mampu hingga ia meninggal (karena waktunya seumur hidup). Maka ketika ia meninggal sesudah mampu jelaslah termasuk maksiat sejak akhir tahun mampunya karena penundaannya sehingga habislah waktunya”. (Mirqah Shu’ud al-Tashdiq fi Syarh Sullam al-Taufiq 82).

(مَسْأَلَةٌ) يَجِبُ الْحَجُّ عَلَى التَّرَاخِيْ إِنْ لَمْ يَخَفِ الْعَضْبَ أَوْ الْمَوْتَ أَوْ تَلَفَ الْمَالِ فَمَتَى أَخَّرَهُ مَعَ اْلاِسْتِطَاعَةِ حَتَّى عَضُبَ أَوْ مَاتَ تَبَيَّنَ فِسْقُهُ مِنْ وَقْتِ خُرُوْجِ قَافِلَةِ بَلَدٍ مِنْ آخِرِ سِنِي اْلأِمْكَانِ. [بغية المسترشدين 115].

“(Masalah) Kewajiban haji itu tidak harus segera dilak-sanakan apabila tidak khawatir akan lumpuh, mati atau

hartanya habis. Maka ketika seseorang menundanya pada-hal sudah mampu hingga akhirnya lumpuh atau mati maka jelaslah kefasiqannya dari masa keberangkatan kafilah negaranya pada akhir tahun mampunya”. (Bughyah al-Mustarsyidin 115).

[+/-] Selengkapnya...

Berpuasa melakukan hubungan suami isri

BERPUASA MELAKUKAN HUBUNGAN SUAMI ISTRI ( SENGGAMA )

Bagaimana hukum orang sedang berpuasa melakukan senggama pada siang hari di bulan Ramadlan ?

Hukumnya berdosa dan puasanya batal serta wajib membayar kafarat bagi wathi’, penyenggama.

وَمَنْ وَطِئَ فِيْ نَهَارِ رَمَضَانَ …فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ (قَوْلُهُ فَعَلَيْهِ) أَيْ فَوْرًا أَخْذًا مِنَ التَّعْبِيْرِ بِالْفَاءِ الَّتِيْ لِلتَّعْقِيْبِ وَالضَّمِيْرُ رَاجِعٌ لِمَنْ وَطِئَ فَالْواَطِئُ عَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَالْكَفَّارَةُ وَالتَّعْزِيْرُ كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ اْلإِمَامُ الشَّافِعِيُّ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ وَأَمَّا الْمَوْطُوْءُ وَلَوْ ذَكَرًا فَعَلَيْهِ الْقَضَاءُ وَالتَّعْزِيْرُ دُوْنَ الْكَفَّارَةِ لأَنَّ اِفْسَادَ صَوْمِهِ فِي الْحَقِيْقَةِ بِغَيْرِ الْوَطْءِ فَإِنَّهُ يَفْسُدُ صَوْمُهُ بِدُخُوْلِ شَيْءٍ مِنَ الْحَشَفَةِ فَرْجَهُ قَبْلَ تَحَقُّقِ الْوَطْءِ بِدُخُوْلِ جَمِيْعِهَا فِيْهِ [الباجوري 1/297].

“Bagi seseorang yang bersenggama pada siang hari Ramadlan wajib mengqadla puasanya. Kalimat ‘wajib mengqadla’ yakni sesegera mungkin, diambil dari ibarat fa’ yang berfaedah ta’qib -- terjadinya sesuatu setelah fa’ usai sesuatu sebelum fa’ tanpa tunda. Dlomir hi kembali pada wathi’ (penyenggama) walaupun laki-laki wajib baginya qadla dan ta’zir sebagaimana yang telah diterangkan oleh Imam Syafi’i dan ini pendapat mu’tamad. Adapun mauthu’ (yang disenggama) walaupun laki-laki wajib baginya qadla dan ta’zir tanpa membayar kafarat, karena batalnya puasa tersebut pada hakikatnya bukan disebabkan senggama tapi lebih disebabkan oleh masuknya hasyafah ke dalam vagina sebelum nyata-nyata senggama terjadi dengan masuk seluruhnya”. (Al-Bajuri I/297).

 

Masalah terkait :

[+/-] Selengkapnya...

Apakah suntik membatalkan puasa ?

SUNTIK SEDANG BERPUASA

Batalkah puasa orang yang disuntik ?

Puasa orang tersebut tidak batal.

وَخَرَجَ بِالْعَيْنِ اْلأَثَرُ كَالرِّيْح بِالشَّمِّ وَبُرُوْدِ الْمَاءِ وَحَرَارَتِهِ بِاللَّمْسٍ وَبِالْجَوْفِ مَا لَوْدَاوَى جَرْحَهُ عَلَى لَحْمِ السَّاقِ أَوِ الْفَخِدِ فَوَصَلَ الدَّوَاءُ دَاخِلَ الْمُخِّ أَوِ اللّ‍حْمِ أَوْ غَرَزَ فِيْهِ حَدِيْدَةً فَإِنَّهُ لاَ يُفْطِرُ لاِنْتِفَاءِ الْجَوْفِ [نهاية المحتاج 3/166].

“Dikecualikan dari benda riil adalah benda abstrak seperti bau dengan penciuman dan panas dinginnya air dengan perabaan. Demikian juga dikecualikan dari jauf, lubang, adalah bila seseorang mengobati lukanya di atas betis atau paha kemudian obat tersebut merasuk ke sumsum atau daging, ataupun memasukkan besi pada daging maka hal itu tidak membatalkan puasanya karena tidak melalui lubang. (Nihayah al-Muhtaj III/166).

 

Masalah terkait :

[+/-] Selengkapnya...

Tiba di tempat berlebaran awal

TIBA DI TEMPAT BERLEBARAN AWAL

Seseorang berpuasa sudah 28 hari, kemudian bepergian ke luar negeri dengan pesawat terbang sesampai di tempat tujuan ternyata sudah hari raya lebaran. Bolehkah dia ikut berlebaran ?

Orang tersebut wajib mengikuti lebaran dan mengqadla satu hari.

وَلَوْ سَفَرَ مَنْ صَامَ إِلَى مَحَلٍّ بَعِيْدٍ مِنْ مَحَلِّ رُؤْيَتِهِ وَافَقَ أَهْلَهُ فِي الصَّوْمِ آخِرًا فَلَوْ عَيَّدَ قَبْلَ سَفَرِهِ ثُمَّ اَدْرَكَهُمْ بَعْدَهُ صَائِمِيْنَ أَمْسَكَ مَعَهُمْ وَإِنْ تَمَّ الْعَدَدُ ثَلاَثِيْنَ لأَنَّهُ صَارَ مِنْهُمْ أَوْ سَافَرَ مِنَ الْبَعِيْدِ إِلَى مَكَانِ الرُّؤْيَةِ عَيَّدَ مَعَهُمْ وَقَضَى يَوْمًا إِنْ صَامَ ثَمَانِيَةً وَعِشْرِيْنَ وَإِنْ صَامَ تِسْعَةً وَعِشْرِيْنَ فَلاَ قَضَاءَ. [كاشفة السجا 109].

“Seandainya seseorang yang sedang berpuasa bepergian ke tempat yang jauh dari tempat terlihatnya tanggal maka ia menyesuaikan akhir puasanya bersama penduduk setempat. Untuk itu, bilamana hari raya terjadi sebelum bepergian kemudian ia mendapatkan penduduk setempat yang sedang berpuasa maka ia harus berpuasa bersama-sama mereka meskipun ia telah berpuasa genap 30 hari karena ia telah menjadi bagian mereka. Atau seseorang bepergian dari tempat yang jauh ke tempat terlihatnya tanggal maka ia berhari raya bersama-sama mereka dan mengqadla satu hari apabila ia telah berpuasa 28 hari dan apabila telah berpuasa 29 hari maka ia tidak usah mengqadla.” (Kasyifah al-Saja 108).

[+/-] Selengkapnya...

Takjil fitrah di rantau

TAKJIL FITRAH DI RANTAU

Seseorang di rantau sebelum pulang kampung telah takjil mengeluarkan zakat fitrah , kemudian ia sudah tiba di rumah sebelum matahari terbenam saat malam lebaran. Cukupkah zakat fitrah yg telah dikeluarkan tempo hari ?

Zakat fitrah tempo hari tidaklah cukup tapi ia harus mengeluarkan lagi.

(مَسْئَلَةٌ) تَجِبُ زَكَاةُ الْفِطْرِ فِي الْمَوْضِعِ الَّذِيْ كَانَ الشَّخْصُ فِيْهِ عِنْدَ الْغُرُوْبِ فَيَصْرِفُهَا لِمَنْ كَانَ هُنَاكَ مِنَ الْمُسْتَحِقِّيْنَ

وَإِلاَّ نَقَلَهَا إِلَى أَقْرَبِ مَوْضِعٍ إِلىَ ذَلِكَ الْمَكَانِ وَلاَ يُجْزِئُهُ الْمُعَجَّلُ لَوْ كَانَ قَدْ عَجَّلَهَا وَالْحَالَةُ هَذِهِ بَلْ يُخْرِجُ ثَانِيًا. نَعَمْ لَوْ كَانَ حِيْنَ الْغُرُوْبِ بِمَوْضِعٍ لاَ فُقَرَاءَ فِيْهِ وَكَانَ الْمَكَانُ الْمُعَجَّلَةُ هِيَ فِيْهِ أَقْرَبَ الْمَوَاضِعِ إِلَيْهِ أَجْزَأَهُ حِيْنَئِذٍ [غاية تلخيص المراد 113]

“Wajib mengeluarkan zakat fitrah di tempat seseorang ketika matahari terbenam ia berada, kemudian di berikan pada orang–orang yang berhak di tempat tersebut. Tidaklah cukup zakat yang ditakjil andaikan ia telah mentakjilnya dan memang demikian inilah, tetapi ia harus mengeluarkan yang kedua kalinya. Benar demikian, andaikata seseorang ketika matahari terbenam berada ditempat yang tidak ada orang-orang fakir sama sekali dan tempat yang ia keluarkan zakat fitrah dengan takjil merupakan tempat yang paling dekat bagi dirinya, maka yang demikian sudah mencukupi.” (Talkhish al-Murad 113)

[+/-] Selengkapnya...

Zakat untuk lembaga sosial

ZAKAT UNTUK LEMBAGA SOSIAL

Bagaimana hukum memberi zakat pada masjid, madrasah, yayasan sosial dsb ?

Memberikan zakat sebagaimana di atas hukumnya tidak boleh, menurut jumhur ulama.

(مَسْئَلَةٌ) لاَ يَسْتَحِقُّ الْمَسْجِدُ شَيْئًا مِنَ الزَّكَاةِ مُطْلَقًا إِذْ لاَ

يَجُوْزُ صَرْفُهَا إِلاَّ لِحُرٍّ مُسْلِمٍ [بغية المسترشدين 106]

“Masjid mutlak tidak berhak menerima zakat sama sekali, sebab zakat tidak boleh diberikan kecuali hanya kepada orang merdeka yang beragama Islam.” (Bughyah al-Mustarsyidin 106).

اِتَّفَقَ اْلأَئِمَّةُ اْلأَرْبَعَةُ عَلَى أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ إِخْرَاجُ الزَّكَاةِ لِبِنَاءِ مَسْجِدٍ أَوْ تَكْفِيْنِ مَيِّتٍ [الميزان الكبرى 2/13]

“Imam empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali ) sepakat bahwa tidak boleh mengeluarkan zakat untuk membangun masjid atau mengurus orang mati.” (Al-Mizan al-Kubra II/13)

[+/-] Selengkapnya...

Fakir tidak shalat menerima zakat

FAKIR TIDAK SHALAT MENERIMA ZAKAT

Seorang fakir mengaku beragama Islam tapi tidak mengerjakan shalat. Bolehkah ia diberi zakat?

Apabila sejak umur baligh orang tersebut belum pernah mengerjakan shalat maka tidak boleh diberi zakat, dan

apabila sesudah baligh sudah pernah mengerjakan shalat kemudian meninggalkannya, maka boleh diberi zakat.

قَالَ اْلإِمَامُ النَّوَوِيّ: مَنْ بَلَغَ تَارِكًا لِلصَّلاَةِ وَاسْتَمَرَّ عَلَيْهِ لَمْ يَجُزْ إِعْطَاؤُهُ الزَّكَاةَ إِذْ هُوَ سَفِيْهٌ بَلْ يُعْطَى وَلِيُّهُ لَهُ بِخِلاَفِ مَا لَوْ بَلَغَ مُصَلِّيًا رَشِيْدًا ثُمَّ طَرَأَ تَرْكُ الصَّلاَةِ وَلَمْ يُحْجَرْ عَلَيْهِ فَيَصِحُّ قَبْضُهُ بِنَفْسِهِ كَمَا تَصِحُّ تَصَرُّفَاتُهُ اهر[بغية المسترشدين 106]

“Imam Nawawi berkata: “Barang siapa telah baligh dan selalu meninggalkan shalat, maka tidak boleh memberikan zakat padanya, karena dia safih (bodoh), tapi diberikan kepada walinya. Berbeda apabila dia baligh pintar dan mengerjakan shalat, kemudian dia meninggalkan shalat dan tidak dicegah tasharrufnya, maka dia boleh menerima sendiri, sebagaimana sah tasharrufnya.” (Bughyah al-Mustarsyidin 106).

[+/-] Selengkapnya...

Zakat usaha jasa

ZAKAT USAHA JASA

Apakah wajib zakat usaha yang bergerak dalam bidang jasa seperti pengangkutan, penggilingan dan sejenisnya?

Usaha bidang jasa tersebut wajib zakat karena mengandung arti tijarah.

وَلَوْ اَجَّرَ الشَّخْصُ مَالَهُ أَوْ نَفْسَهُ وَقَصَدَ بِاْلأُجْرَةِ إِذَا كَانَتْ غَرَضًا لِلتِّجَارَةِ تَصِيْرُ مَالَ تِجَارَةٍ لأَنَّ اْلإِجَارَةَ مُعَاوَضَةٌ [كفاية الأخيار 1/178]

“Bila seseorang menyewakan harta benda atau mempeker-jakan diri dengan maksud untuk mendapatkan upah bila-mana sasarannya untuk berdagang maka menjadi harta dagangan, karena persewaan itu tukar-menukar”. (Kifayah al-Akhyar I/178).

(قَوْلُهُ وَاْلإِجَارَةُ لِنَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ) فَإِذَا أَجَّرَ نَفْسَهُ بِعِوَضٍ بِقَصْدِ التِّجَارَةِ صَارَ ذَلِكَ الْعِوَضُ مَالَ ِتجَارَةٍ [موهبة ذي الفضل 4/31].

“Kalimat ’mempekerjakan diri atau menyewakan harta.’ Bila seseorang mempekerjakan diri dengan upah untuk tujuan dagang maka upah tersebut menjadi harta dagangan”. (Muhibbah Dzi al-Fadl IV/31)

[+/-] Selengkapnya...

zakat tijarah sebelum haul dan nishab

ZAKAT TIJARAH SEBELUM HAUL DAN NISHAB

Bolehkah mengeluarkan zakat dagangan sebelum ada satu tahun dan sebelum mencapai satu nishab?

Mengeluarkan zakat dagangan sebelum genap satu tahun dan sebelum mencapai satu nishab hukumnya boleh apabila setelah genap satu tahun antara malik dan mustahiq statusnya masih tetap.

وَالَّثانِيْ وَهُوَ عُرُوْضُ التِّجَارَةِ يَجُوْزُ إِخْرَاجُهَا قَبْلَ مِلْكِ النِّصَابِ وَقَبْلَ الْحَوْلِ وَعَلَّلُوْا ذَلِكَ بِأَنَّ النِّصَابَ فِيْهَا مُعْتَبَرٌ بآخِرِ الْحَوْلِ وَبِأَنَّ حَوْلَهَا يَنْعَقِدٌ بِمُجَرَّدِ الشِّرَاءِ بِنِيَّةِ التِّجَارَةِ وَهَذَا كُلُّهُ ظَاهِرٌ مُصَرَّحٌ بِهِ فِيْ كُتُبِ الْمَذْهَبِ [قرة العين بفتاوي إسماعيل الزين 103]

“Kedua yaitu barang dagangan, boleh mengeluarkan zakat-nya sebelum mencapai satu nishab dan sebelum satu tahun. Para ulama memberi argumentasi, bahwa nishabnya diper-hitungkan pada akhir tahun sedangkan haulnya terjadi

dengan sendirinya pada waktu membeli dengan niat berda-gang. Semua ini sudah jelas keterangannya dalam kitab-kitab fiqh. (Qurrah al-‘Ain bi Fatawi Ismail al-Zain 103).

[+/-] Selengkapnya...

Zakat tijarah dengan barang

ZAKAT TIJARAH DENGAN BARANG

Ada orang berdagang, pada akhir tahun dagangannya telah

mencapai satu nishab. Bolehkah ia mengeluarkan zakat dengan barang dagangannya?

Tidak boleh mengeluarkan zakat dengan barang dagangan, tetapi harus dengan qimah, nilai tukarnya.

وَلاَ يَجُوْزُ لِمَالِكٍ نَقْلُ الزَّكَاةِ عَنْ بَلَدِ الْمَالِ وَلَوْ إِلَى مَسَافَةٍ قَرِيْبَةٍ وَلاَ تُجْزِئُ وَلاَ دَفْعُ الْقِيْمَةِ فِيْ غَيْرِ مَالِ التِّجَارَةِ وَلاَ دَفْعُ عَيْنِهِ فِيْهِ (قَوْلُهُ وَلاَ دَفْعُ عَيْنِهِ)… أَيْ وَلاَ يَجُوْزُ دَفْعُ الْعَيْنِ فِيْ مَالِ التِّجَارَةِ عَنِ الزَّكَاةِ وَلاَ يُجْزِئُ لأَنَّ مُتَعَلَّقَهَا الْقِيْمَةُ [اعانة الطالبين 2/198]

“Tidak diperbolehkan pemilik harta memindahkan harta zakat dari tempat harta itu berada walaupun ke tempat yang dekat (kurang dari dua marhalah) dan tidak dianggap mencukupi. Tidak boleh pula memberikan zakat dalam

bentuk qimah, nilai tukar, pada selain harta dagangan. Demikian juga tidak boleh dalam bentuk barang pada harta dagangan. Kata ’tidak boleh memberikan zakat dalam bentuk barang dst’ dan dianggap tidak mencukupi, karena yang diperhitungkan adalah nilai tukarnya”. (I’anah al-Thalibin II/198).

[+/-] Selengkapnya...

Bayar hutang atau keluarkan zakat

BAYAR HUTANG ATAU KELUARKAN ZAKAT

Seseorang mempunyai modal sepuluh juta rupiah. Untuk menambah modal tersebut ia berhutang sepuluh juta yang akan dilunasi pada akhir tahun. Setelah satu tahun berakhir uang hutangan tinggal sembilan juta.

a. Wajibkah ia mengeluarkan zakat?

b. Bila wajib mana yang didahulukan, membayar hutang ataukah mengeluarkan zakat?

Ia wajib mengeluarkan zakat karena sudah ada satu nishab walaupun merugi. Sedang yang didahulukan adalah mengeluarkan zakat.

(يَجِبُ أَدَاؤُهَا) أَيِ الزَّكَاةِ وَإِنْ كَانَ عَلَيْهِ دَيْنٌ مُسْتَغْرِقٌ حَالٌّ للهِ أَوْ لآدَمِيٍّ فَلاَ يَمْنَعُ الدَّيْنُ وُجُوْبَ الزَّكَاةِ فِي اْلأَظْهَرِ [هامش اعانة الطالبين 2/175]

“Wajib mengeluarkan zakat meskipun mempunyai tanggungan hutang yang harus segera dibayar hingga menghabiskan hartanya, baik berhutang kepada Allah maupun kepada manusia. Hutang- hutang tersebut tidak bisa “ (I’anah al-Thalibin II/175)

(فَرْعٌ) تُقَدَّمُ الزَّكَاةُ وَنَحْوُهَا مِنْ تِرْكَةِ مَدْيُوْنٍ إلى أن قال كَمَا إِذَا اجْتَمَعَتَا عَلَى حَيٍّ لَمْ يُحْجَرْ عَلَيْهِ (قَوْلُهُ كَمَا) اَلْكَافُ لِلتَّنْظِيْرِ أَيْ وَذَلِكَ نَظِيْرُ مَا إِذَا اجْتَمَعَتَا أَيْ حُقُوْقُ اللهِ وَحُقُوْقُ اْلآدَمِيِّ عَلَى حَيٍّ لَمْ يُحْجَرْ عَلَيْهِ فَإِنَّ الزَّكَاةَ وَنَحْوَهَا تُقَدَّمُ فِيْ مَالِهِ الَّذِىْ ضَاقَ عَنْهُمَا [اعانة الطالبين 2/179]

“(Cabang). Mengeluarkan zakat dan semisalnya harus

didahulukan dari harta peninggalan orang yang berhutang sebagaimana ketika berkumpul hak Allah dan hak adami atas kewajiban seseorang yang masih hidup yang tidak mahjur alaih, dicegah pembelanjaan hartanya, maka zakat dan semisalnya harus didahulukan pada hartanya yang tidak bisa mencukupi kedua tanggungan tersebut”. (I’anah al-Thalibin II/179)

[+/-] Selengkapnya...

Hasil pekarangan kuburan / makam

HASIL PEKARANGAN KUBURAN

Bagaimana hukum hasil pekarangan yang tumbuh dengan sendirinya di pekuburan umum?

Makan hasil pekarangan tersebut hukumnya boleh, namun bila ditasharrufkan untuk kemaslahatan pekuburan akan lebih utama.

(فَرْعٌ) ثَمْرُ الشَّجَرِ النَّابِتِ بِالْمَقْبَرَةِ الْمُبَاحَةِ مُبَاحٌ وَصَرْفُهُ لِمَصَالِحِهَا أَوْلَى. قَوْلُهُ ثَمْرُ الشَّجَرِ النَّابِتِ بِالْمَقْبَرَةِ الْمُبَاحَةِ أَيْ لِدَفْنِ الْمُسْلِمِيْنَ فِيْهَا بِأَنْ كَانَتْ مَوْقُوْفَةً أَوْ مُسَبَّلَةً لِذَلِكَ وَخَرَجَ بِهَا الْمَمْلُوْكَةُ فَإِنَّ ثَمْرَ الشَّجَرِ النَّابِتِ فِيْهَا مَمْلُوْكٌ أَيْضًا وَقَوْلُهُ مُبَاحٌ خَبَرُ ثَمْرُ أَيْ يَجُوْزُ لِكُلِّ أَحَدٍ اْلأَكْلُ. [اعانة الطالبين 3/183]

“Buah-buahan pohon yang tumbuh di kuburan yang mubah hukumnya boleh (halal). Namun apabila digunakan untuk kemaslahatan kuburan lebih utama. Kata “Buah-buahan pohon yang tumbuh di kuburan yang mubah” yakni untuk mengebumikan kaum muslimin (kuburan umum), dalam arti kuburan wakaf atau yang disediakan untuk umum. Hal ini mengecualikan kuburan yang dimiliki, maka buah pohon yang tumbuh di sana juga dimiliki. Kata “mubah” adalah khabarnya lafadh “tsamr” yakni tiap orang boleh memakannya.” (I’anah al-Thalibin III/183).

[+/-] Selengkapnya...

Menulis batu nisan

MENULIS BATU NISAN

Bagaimana hukumnya menulis nama, hari dan tanggal wafatnya seseorang di batu nisan?

Menulis nama, hari dan tanggal wafat seseorang di batu nisan hukumnya boleh,

وَلاَ يُكْتَبُ عَلَيْهِ وَلَوْ فِيْ لَوْحٍ عِنْدَ رَأْسِهِ لَكِنْ قَالَ فِيْ شَرْحِ الْبَهْجَةِ وَفِيْ كَرَاهَةِ كِتَابَةِ اسْمِ الْمَيِّتِ عَلَيْهِ نَظَرٌ بَلْ قَالَ الزَّرْكَشِيّ لاَ وَجْهَ لِكَرَاهَةِ كِتَابَةِ اسْمِهِ وَتَارِيْخِ وَفَاتِهِ خُصُوْصًا إِذَا كَانَ مِنَ الْعُلَمَاءِ وَنَحْوِهِمْ كَمَا جَرَتْ بِذَلِكَ عَادَةُ النَّاسِ. [الباجوري 1/257]

“Tidak diperkenankan menulis di batu nisan walaupun di papan bagian kepala. Akan tetapi dalam Syarh al-Bahjah diterangkan bahwa kemakruhan penulisan nama mayat di batu nisan masih dalam pertimbangan. Bahkan Al-Zarkasyi berkata: Tidak ada jalan bagi kemakruhan penulisan nama mayat dan tanggal wafatnya, terlebih jika seorang ulama dan semisalnya sebagaimana tradisi yang berlaku di masyarakat”. (Al-Bajuri I/257).

[+/-] Selengkapnya...

Talkin

TALKIN

Bagaimana hukum mentalkin mayat?

Hukumnya sunat bilamana mayat tersebut sudah baligh.

(قَوْلُهُ وَتَلْقِيْنُ بَالِغٍ) أَيْ وَيُنْدَبُ تَلْقِيْنُ بَالِغٍ الخ وَذَلِكَ لِقَوْلِهِ تَعَالَى: وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِيْنَ. وَأَحْوَجُ مَا يَكُوْنُ الْعَبْدُ إِلَى التَّذْكِيْرِ فِيْ هَذِهِ الْحَالَةِ. وَخَرَجَ بِالْبَالِغِ الطِّفْلُ فَلاَ يُسَنُّ تَلْقِيْنُهُ لأَنَّهُ لاَ يُفْتَنُ فِيْ قَبْرِهِ. وَمِثْلُهُ الْمَجْنُوْنُ إِنْ لَمْ يَسْبِقْ لَهُ تَكْلِيْفٌ. وَإِلاَّ لُقِّنَ. [اعانة الطالبين 2/140]

“Kalimat ‘dan disunatkan mentalkin seorang yang sudah baligh’. Hal tersebut sejalan dengan firman Allah: “Dan berilah peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman.” Sedangkan kebutuhan yang paling mendesak bagi seseorang pada sebuah peringatan adalah ketika ia dalam keadaan begini ini. Kata baligh mengecualikan anak kecil, ia tidak disunatkan ditalkin karena tidak mendapat cobaan di kuburnya. Demikian pula orang gila yang belum pernah mengalami taklif, kena hukum. Bila sudah pernah, maka ditalkin.” (I’anah al-Thalibin II/140).

[+/-] Selengkapnya...