Seorang perempuan yang tidak diketahui nasabnya, garis keturunan, mengahadap ke penghulu minta dinikahkan dengan seorang laki-laki yang rendah pekerjaannya. Bagaimana seharusnya sikap penghulu tersebut ?
Pada dasarnya penghulu ketika hendak menikahkan seorang perempuan yang tidak diketahui nasabnya, haruslah dengan laki-laki yang sekufu, sepadan. Akan tetapi bilamana sang perempuan tersebut minta dinikahkan dengan laki-laki yang bukan sekufu, maka penghulu wajib mengabulkannya bila dikhawatirkan adanya fitnah. Bila tidak ada kekhawatiran akan adanya fitnah yang timbul, maka penghulu tidak boleh menikahkan.
وَبَحَثَ جَمْعٌ مُتَأَخِّرُوْنَ أَنَّهَا لَوْ لَمْ تَجِدْ كُفْؤًا وَخَافَتِ الْفِتْنَةُ لَزِمَ الْقَاضِيَ إِجَابَتُهَا لِلضَّرُوْرَةِ قَالَ شَيْخُنَا وَهُوَ مُتَّجَهٌ مُدْرَكًا [إعانة الطالبين 4/339].
“Sejumlah ulama muta’akhirin telah membahas, bahwa seorang perempuan jika tidak menemukan yang sekufu dan kawatir akan adanya fitnah maka bagi qadli wajib menga-bulkannya karena dlarurat. Syaikhuna berkata, bahwa pen-dapat ini kuat alasannya yang dapat dimengerti”. (I’anah al-Thalibin IV/339).
وَقَعَ السُّؤَالُ فِي الدَّرْسِ عَمَّا جَاءَتْ امْرَأَةٌ مَجْهُوْلَةُ النَّسَبِ إِلَى الْحَاكِمِ وَطَلَبَتْ مِنْهُ أَنْ يُزَوِّجَهَا مِنْ دَنِيْءِ النَّسَبِ وَنَحْوِهِ فَهَلْ يُجِيْبُهَا أَمْ لاَ وَالْجَوَا بُ عَنْهُ أَنَّ الظَّاهِرَ الثَّانِيْ لِلإِحْتِيَاطِ
لأَمْرِ النِّكَاحِ فَلَعَلَّهَا تُنْسَبُ إِلَى ذِيْ حِرْفَةٍ شَرِيْفَةٍ وَبِفَرْضِ
ذَلِكَ فَتَزْوِيْجُهَا مِنْهُ مِنْ ذِي الْحِرْفَةِ الدَّنِيْئَةِ بَاطِلٌ وَالنِّكَاحُ يُحْتَاطُ لَهُ ا ها. ع ش على م ر. [الجمل على شرح المنهج 4/164]
Timbul pertanyaan dalam suatu pelajaran mengenai seorang wanita yang tidak diketahui nasabnya datang kepada hakim dan minta untuk dinikahkan dengan seorang pria yang rendah nasabnya, apakah hakim tersebut wajib mengabulkannya atau tidak? Jawabnya: Menurut qaul dhahir adalah yang kedua (tidak boleh mengabulkannya). Karena untuk berhati-hati dalam urusan pernikahan, jangan-jangan seorang wanita tersebut mempunyai garis keturunan kepada orang yang berprofesi mulia. Dengan pengandaian demikian itu, maka menikahkannya dengan orang yang berprofesi rendah adalah batal. Sedang pernikahan diperlukan kehati-hatian. Demikian keterangan Ali Syibramalisi atas keterangan Muhammad Ramli. ( Al-Jamal ‘ala Syarh al-Manhaj 4/164).
[+/-] Selengkapnya...
[+/-] Ringkasan saja...