Menyembelih sapi dengan berbagai tujuan

Tujuh orang iuran membeli sapi untuk disembelih yang tujuannya masing-masing berbeda. Ada yang berniat untuk aqiqah, udlhiyyah, hadiah dan sebagainya. Sahkah hal tersebut ?

Menyembelih sapi sebagaimana dimaksud hukumnya sah.

(قَوْلُهُ اشْتَرَكُوْا فِي التَّضْحِيَةِ بِهَا) أَيْ بِالْبَدَنَةِ وَمِثْلُهَا الْهَدْيُ وَالْعَقِيْقَةُ وَغَيْرُهُمَا فَالتَّقْيِيْدُ بِالتَّضْحِيَةِ لِخُصُوْصِ الْمَقَامِ سَوَاءٌ اتَّفَقُوْا فِيْ نَوْعِ الْقُرْبَةِ أَمِ اخْتَلَفُوْا فِيْهِ كَمَا إِذَا قَصَدَ بَعْضُهُمُ التَّضْحِيَّةَ وَبَعْضُهُمُ الْهَدْيَ وَبَعْضُهُمُ الْعَقِيْقَةَ [الباجوري 2/297]

“Kalimat ‘tujuh orang bergabung untuk berkurban cukup dengan satu unta’. Begitu juga hadiah, aqiqah dan lain sebagainya sedangkan qayid kurban di sini hanyalah karena sesuai dengan topik/pokok bahasannya, baik sama bentuk ibadahnya ataupun berbeda-beda seperti sebagian bermaksud untuk kurban, sebagian lagi untuk hadiah dan yang lain untuk aqiqah.” (Al-Bajuri II/297)

[+/-] Selengkapnya...

Kulit kurban untuk bedug/terbang

Bagaimana hukum menggunakan kulit hewan kurban untuk bedug masjid atau terbang ?

Hukumnya boleh bilamana kurban sunat dan tidak boleh bilamana kurban wajib atau nadzar. Demikian ini bila yang menggunakan mudlahhi, orang yang berkurban sendiri. Bila sudah diterimakan kepada mustahiq maka boleh.

وَيَحْرُمُ اْلأَكْلُ مِنْ اُضْحِيَةٍ أَوْ هَدْيٍ وَجَبَا بِنَذْرِهِ. (قوله وَيَحْرُمُ اْلأَكْلُ الخ) أَيْ وَيَحْرُمُ أَكْلُ الْمُضَحِّيْ وَالْمُهْدِيْ مِنْ ذَلِكَ فَيَجِبُ عَلَيِهِ التَّصَدُّقُ بِجَمِيْعِهَا حَتَّي قَرْنِهَا وَظِلْفِهَا فَلَوْ أَكَلَ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ غَرَمَ بَدَلَهُ لِلْفُقَرَاَء [إعانة الطالبين 2/333]

“Haram makan daging hewan kurban atau hadiah yang wajib sebab nadzar. Kalimat ‘haram makan dst.’. Haram bagi orang yang kurban dan yang berhadiah, makan hewan kurban dan

hadiahnya. Ia wajib menyedekahkan semuanya, termasuk tanduk dan kukunya. Andaikan ia memakan sedikit saja maka ia harus menggantinya untuk diserahkan kepada fakir.” (I’anah al-Thalibin II/333)

(قَوْلُهُ وَالتَّصَدُّقُ بِجِلْدِهَا) أَيْ وَاْلأَفْضَلُ التَّصَدُّقُ بِجِلْدِهَا وَلَهُ أَنْ يَنْتَفِعَ بِهِ بِنَفْسِهِ كَأَنْ يَجْعَلَهُ دَلْوًا أَوْ نَعْلاً وَلَهُ أَنْ يُعِيْرَهُ لِغَيْرِهِ وَيَحْرُمُ عَلَيْهِ وَعَلَى وَارِثِهِ بَيْعُهُ كَسَائِرِ أَجْزَائِهَا وَإِجَارَتُهُ وَإِعْطَاؤُهُ أُجْرَةَ جَزَّارٍ فِيْ مُقَابَلَةِ الذَّبْحِ [إعانة الطالبين 2/333]

“Kalimat ‘dan menyedekahkan kulitnya’ artinya dan yang utama adalah menyedekahkan kulitnya. Ia boleh mempergunakannya sendiri seperti untuk timba dan sandal; dan boleh pula meminjamkan pada orang lain. Haram baginya dan ahli warisnya menjual kulit tersebut sebagaimana organ-organ lain hewan kurban tersebut. Haram pula memberikannya kepada tukang potong sebagai imbalan/upah atas penyembelihannya.” (I’anah al-Thalibin II/333)

[+/-] Selengkapnya...

Daging kurban diberikan pada non muslim

Bagaimana hukumnya orang qurban dagingnya sebagian diberikan kepada tetangga yang non muslim?

Qurban tersebut hukumnya sah, sedang memberikan daging tersebut kepada non muslim hukumnya tidak boleh (haram).

(قَوْلُهُ وَقِيْلَ يُهْدِيْ ثُلُثًا لِلْمُسْلِمِيْنَ اْلأَغْنِيَاءِ) هَذَا هُوَ الْمُعْتَمَدُ

وَقَوْلُهُ وَيَتَصَدَّقُ بِثُلُثٍ عَلَى الْفُقَرَاءِ أَيِ الْمُسْلِمِيْنَ أَيْضًا وَخَرَجَ بِقَيْدِ الْمُسْلِمِيْنَ غَيْرُهُمْ فَلاَ يَجُوْزُ إِعْطَاؤُهُمْ مِنْهَا شَيْئًا كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ الْبُوَيْطِيّ. وَوَقَعَ فِي الْمَجْمُوْعِ جَوَازُ اِطْعَامِ فُقَرَاءِ أَهْلِ الذِّمَّةِ مِنْ أُضْحِيَةِ التَّطَوُّعِ دُوْنَ الْوَاجِبَةِ وَتَعَجَّبَ مِنْهُ اْلأَذْرُعِيّ. فَالْحَقُّ أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ إِطْعَامُ الذَّمِّيِّيْنَ مِنَ اْلأُضْحِيَةِ

مُطْلَقًا لاَ تَصَدُّقًا وَلاَ اهْدَاءً حَتَّى لَوْ أَخَذَهَا فُقَرَاءُ الْمُسْلِمِيْنَ صَدَقَةً وَأَغْنِيَاؤُهُمْ هَدِيَّةً حَرُمَ عَلَيْهِمُ التَّصَدُّقُ بِشَيْءٍ مِمَّا أَخَذُوْهُ أَوْ اِهْدَاءُ شَيْءٍ مِنْهُ لأَهْلِ الذِّمَّةِ وَكَذَلَكَ بَيْعُهُ لَهُمْ لأَنَّهَا ضِيَافَةُ اللهِ للْمُسْلِمِيْنَ كَمَا قَالَهُ الشَّيْخُ الشِّبْرَامَلِسِيّ وَهُوَ الْمُعْتَمَدُ. [الباجوري 2/301].

“Kalimat “sebagian pendapat sepertiga daging qurban sunat dihadiahkan kepada orang-orang kaya yang beragama Islam”. Ini adalah pendapat yang mu’tamad. Kalimat “seper-tiga lagi dihadiahkan kepada orang-orang fakir”, yakni yang beragama Islam juga. Dengan qayid (batasan) muslim, dikeluarkanlah selain muslim, maka tidaklah diperbolehkan memberikan daging qurban sama sekali kepada mereka, sebagaimana keterangan Al-Buwaithi. Dalam Al-Majmu’ terdapat keterangan mengenai diperbolehkannya memberi-kan makan kepada para orang fakir ahli dzimmah dari daging qurban sunat, tidak qurban wajib, dan Al-Adzra’i heran dengan keterangan ini. Sedang yang benar adalah tidak diperbolehkan memberikan makan daging qurban kepada para ahli dzimmah secara mutlak (baik qurban sunat ataupun wajib). Tidak boleh juga dengan menyedekahkan ataupun dengan menghadiahkan, sehingga andaikan para

orang fakir yang muslim mengambil daging tersebut sebagai shadaqah dari orang-orang kaya muslim sebagai hadiah, maka haramlah bagi mereka menyedekahkan sebagian

daging dari yang diambilnya atau menghadiahkannya sebagian daging tersebut kepada ahli dzimmah. Demikian juga menjual-nya kepada mereka, karena qurban adalah jamuan Allah pada orang-orang Islam, sebagaimana keterangan Al-Syaikh al-Syibramalisi. Pendapat ini adalah yang mu’tamad.” ( Al-Bajuri II/301).

[+/-] Selengkapnya...

Pernyataan kurban

Seorang berkata, “Kambing ini akan saya buat kurban.” Apakah kambing tersebut harus disembelih ? Bolehkah orang tersebut ikut makan dagingnya ?

Kambing tersebut harus disembelih sebagai kurban nadzar dan orang tersebut tidak boleh makan dagingnya, kecuali apabila kalimat tersebut dimaksud sekedar memberi tahu.

(وَلاَ تَجِبُ اْلأُضْحِيَةُ إِلاَّ بِالنَّذْرِ) أَيْ حَقِيْقَةً أَوْ حُكْمًا فَاْلأَوَّلُ كَقَوْلِهِ للهِ عَلَيَّ أَنْ أُضَحِّيَ وَالثَّانِيْ كَقَوْلِهِ جَعَلْتُ هَذِهِ أُضْحِيَةً فَالْجَعْلُ بِمَنْزِلَةِ النَّذْرِ بَلْ مَتَى قَالَ هَذِهِ أُضْحِيَةٌ صَارَتْ وَاجِبَةً وَإِنْ جَهِلَ ذَلِكَ مِمَّا يَقَعُ مِنَ الْعَوَامِ عِنْدَ سُؤَالِهِمْ عَمَّا يُرِيْدُوْنَ التَّضْحِيَةَ بِهِ مِنْ قَوْلِهِمْ هَذِهِ أُضْحِيَةٌ تَصِيْرُ بِهِ وَاجِبَةً وَيَحْرُمُ اْلأَكْلُ مِنْهَا وَلاَ يُقْبَلُ قَوْلُهُمْ أَرَدْنَا التَّطَوُّعَ بِهَا خِلاَفًا لِبَعْضِهِمْ

[الباجوري 2/296]

“Tidaklah wajib kurban kecuali dengan nadzar, baik secara haqiqi ataupun hukmi. Yang pertama seperti ucapan, “Wajib berkurban atas diriku bagi Allah”. Yang kedua seperti ucapan, “Telah aku jadikan hewan ini sebagai kurban.” Menjadikan itu kedudukannya sama halnya nadzar, bahkan jika seseorang berkata ; “Ini adalah hewan kurban” maka jadilah kurban wajib, sekalipun ia tahu sebagaimana yang terjadi di kalangan awam ketika ditanya perihal hewan yang dimaksudkan sebagai kurban, dengan jawaban : “Ini adalah hewan kurban”, maka dengan perkataan tersebut jadilah kurban wajib dan haram baginya memakan daging kurban tersebut serta tidak diterima ucapannya : “Maksud kami, kurban tadi sebagai kurban sunat.” Berbeda dengan pendapat sebagian ulama.” (Al-Bajuri II/296)

وَقَالَ السَّيِّدُ عُمَرُ مَا نَصُّهُ: يَنْبَغِيْ أَنَّ مَحَلَّهُ أَيِ التَّعْيِيْنِ بِقَوْلِهِ هَذِهِ أُضْحِيَةٌ مَا لَمْ يَقْصِدِ اْلإِخْبَارَ بِأَنَّ هَذِهِ الشَّاةَ الَّتِيْ أُرِيْدَ التَّضْحِيَةُ بِهَا، فَإِنْ قَصَدَهُ فَلاَ تَعْيِيْنَ وَقَدْ وَقَعَ الْجَوَابُ كَذَلِكَ فِيْ نَازِلَةٍ رُفِعَتْ لِهَذَا الْحَقِيْرِ وَهِيَ أَنَّ شَخْصًا اشْتَرَى شَاةً لِلتَّضْحِيَةِ فَلَقِيَهُ شَخْصٌ فَقَالَ مَا هَذِهِ؟ فَقَالَ أُضْحِيَتِيْ [حواشي الشرواني العبادي على تحفة المحتاج بشرح المنهاج 9/356]

“Al-Sayyid ‘Umar berkata: Penjelesannya sebagai berikut, seyogyanya letak ta’yin dalam ucapan, ‘Ini adalah hewan kurban’ selama tidak bertujuan memberi khabar bahwa kambing ini dikehendaki kurban. Bila bertujuan ikhbar maka bukan ta’yin. Jawaban ini telah dikemukakan mengenai kejadian yang diajukan pada al-haqir, bahwasannya seseorang membeli kambing untuk kurban kemudian ia bertemu seseorang yang bertanya: Apa ini ? Kemudian ia jawab: Kurbanku.” (Al-Syarwani IX/356)

[+/-] Selengkapnya...

Jika pengadilan menolak talak

Seseorang lelaki menjatuhkan talak kepada istrinya, setelah diajukan ke pengadilan agama ternyata tidak putus. Masih dalam waktu iddah lelaki tersebut dengan istrinya bersatu kembali tanpa ucapan rujuk (ucapan kembali kepada istri ), bagaimana hukumnya ?

Hukumnya tidak boleh dan belum bisa menjadi istrinya kembali karena tanpa adanya ucapan rujuk.

وَلاَ تَصِحُّ بِالنِّيَّةِ مِنْ غَيْرِ لَفْظٍ وَلاَ بِفِعْلٍ كَوَطْءٍ خِلاَفًا لأَبِيْ حَنِيْفَةَ رضي الله عنه [الباجوري 2/151]

“Tidaklah sah rujuk hanya dengan niat tanpa diucapkan dan tidak juga dengan pekerjaan seperti senggama, berbeda dengan pendapat Abu Hanifah ra.” (Al-Bajuri II/151)

[+/-] Selengkapnya...

Amal anak hasil zina

Diterimakah amal ibadah seorang anak hasil perzinaan ?

Amal ibadah anak tersebut bisa diterima.

وَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ أَنَّ مَنْ آمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى فَإِنَّ لَهُ جَنَّةَ الْمَأْوَى وَإِنْ كَانَ مِنْ أَوْلاَدِ الزِّنَا. وَأَمَّا قَوْلُهُ r : فَرْخُ الزِّنَا لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مُؤَوَّلٌ مَعَ السَّابِقِيْنَ اْلأَوَّلِيْنَ كَمَا نَصَّ عَلَيْهِ فِي الْجُزْءِ الثَّالِثِ مِنَ السِّرَاجِ الْمُنِيْرِ عَلَى الْجَامِعِ الصَّغِيْرِ فِيْ قَوْلِهِ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ r : فَرْخُ الزِّنَا لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، قَالَ الْمُنَاوِيّ أَيْ مَعَ السَّابِقِيْنَ اْلأَوَّلِيْنَ [أحكام الفقهاء 1/55]

“Ulama sepakat, bahwa setiap orang yang beriman dan beramal shaleh, baik pria maupun wanita tentu masuk surga meskipun anak dari zina. Adapun sabda Rasulullah SAW : ‘Anak zina tidak akan masuk surga itu diartikan tidak masuk bersama-sama golongan yang masuk surga pertama kali, sebagaimana keterangan di dalam kitab Al-Siraj al-Munir Juz III ‘ala Jami’ al-Shaghir dalam salah satu keterangannya : Rasulullah bersabda, “Anak zina tidak akan masuk surga.” Al-Munawi berkata, maksudnya adalah bersama orang-orang yang masuk surga pertama kali.” (Ahkam al-Fuqaha’ I/55).

[+/-] Selengkapnya...

Menggugurkan kandungan

Bagaimana hukumnya menggugurkan kandungan seperti diurut, minum jamu atau yang lain ?

Para ulama berbeda-beda pendapat dalam menanggapi masalah ini. Diantaranya, mengharamkan secara mutlak baik sebelum maupun sesudah bernyawa. Ada pula yang menafsil. Bila sebelum bernyawa hukumnya boleh asal tidak membahayakan dan bila sudah bernyawa hukumnya tidak boleh secara mutlak, baik berbahaya atau tidak.

وَالرَّاجِحُ تَحْرِيْمُهُ بَعْدَ نَفْخِ الرُّوْحِ مُطْلَقًا وَجَوَازُهُ قَبْلَهُ [إعانة الطالبين 4/130]

“Menurut qaul rajih, diharamkan menggugurkan kandungan setelah bernyawa secara mutlak dan boleh bila sebelum bernyawa.” (I‘anah al-Thalibin IV/130)

يَحْرُمُ التَّسَبُّبُ فِيْ إِسْقَاطِ الْجَنِيْنِ بَعْدَ اسْتِقْرَارِهِ فِي الرَّحِمِ بِأَنْ صَارَ عَلَقَةً أَوْ مُضْغَةً وَلَوْ قَبْلَ نَفْخِ الرُّوْحِ كَمَا فِي التُّحْفَةِ وَقَالَ م ر : لاَ يَحْرُمُ إِلاَّ بَعْدَ النَّفْخِ [بغية المسترشدين 246]

“Haram melakukan hal-hal yang menyebabkan pengguguran janin, embrio, setelah terbentuk di kandungan, seperti sudah menjadi segumpal darah beku atau sepotong daging walau-pun belum bernyawa, sebagaimana keterangan di dalam Al-Tuhfah. Sedang Al-Ramli berpendapat tidak haram kecuali setelah bernyawa.” (Bughyah al-Mustarsyidin 246).

[+/-] Selengkapnya...