Thursday, February 10, 2011

Maulid Nabi Muhammad (2)

Muhammad. Kembali ke Pangkuan Ibunda Tercinta

Dengan adanya peristiwa pembelahan dada itu, maka Halimah As_Sa’diyah merasa khawatir terhadap keselamatan beliau, sehingga dia mengembalikannya kepada ibunya. Kemudian beliau hidup bersama ibunda tercinta hingga berumur enam tahun.

Beberapa waktu kemudian Aminah binti Wahb merasa perlu untuk mengenang suaminya yang telah meninggal dunia dengan cara mengunjungi kuburannya di Yatsrib Madinah. Maka dia pergi dari Makkah menempuh perjalanan sejauh 500 KM, bersama putranya yang yatim, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, disertai pembantu wanitanya, yaitu Ummu Aiman. Setelah menetap selama satu bulan di Madinah, maka Aminah binti Wahb dan rombongannya siap_siap untuk kembali ke Makkah. Dalam perjalanan pulang itu dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia di Abwa’, yang terletak di antara Makkah dan Madinah. . [Lihat Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al_Humary, As_Sirah An_Nabawiyah, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafah Al_Baby Al_Halaby wa Auladuhu, 1375 H), cet. 2, hal. 1/168; dan lihat juga kitab Talliqihu Fuhumi Ahli Atsar karya Abul Fajar Abdurrahman bin Al-Jauzy, hal. 8]

Kembali ke Kakeknya yang Penuh Kasih Sayang

Kemudian beliau kembali ke tempat kakeknya, yaitu Abdul Muththalib di Makkah. Perasaan kasih sayang di dalam sanubarinya terhadap cucunya yang kini yatim piatu semangkin terpupk, karena cucunya harus menghadapi cobaan baru di atas luka yang lama. Hatinya bergetar oleh perasaan kasih sayang yang tidak pernah dirasakannya sekali pun terhadap anak_anaknya sendiri. Dia tidak ingin cucunya hidup sebatang kara. Bahkan dia lebih mengutamakan cucunya dari pada anak_ anaknya.

Ibnu Hisyam dalam kitab As_Sirah An_Nabawiyah berkata, “Ada sebuah dipan yang diletakkan di dekat Ka’bah untuk Abdul Muththalib. Sedangkan kerabat_ kerabatnya biasa duduk di sekeliling dipan itu hingga Abdul Muththalib ke luar ke sana, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani duduk di dipan itu sebagai penghormatan terhadap dirinya. Suatu hari selagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi anak kecil yang montok, beliau duduk di atas dipan itu, maka paman_paman beliau langsung memegang dan menahan agar tidak duduk di atas dipan itu. Tatkala Abdul Muththalib melihat kejadian ini, dia berkata: Biarkan anakku ini. Demi Allah, sesungguhnya dia akan memiliki kedudukan yang agung. Kemudian Abdul Muththalib duduk bersama beliau di atas dipannya sambil mengelus punggung beliau dan senantiasa merasa gembira terhadap apa pun yang beliau lakukan.”

Pada usia delapan tahun lebih dua bulan sepuluh hari dari umur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kakeknya meninggal dunia di Makkah. Sebelum meninggal, Abdul Muththalib sudah berpesan menitipkan pengasuhan sang cucu kepada pamannya, yaitu Abu Thalib, saudara kandung bapak beliau. . [Lihat Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al_Humary, As_Sirah An_ Nabawiyah, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafah Al_Baby Al_Halaby wa Auladuhu, 1375 H), cet. 2, hal. 1/169; dan lihat juga kitab Talliqihu Fuhumi Ahli Atsar karya Abul Fajar Abdurrahman bin Al-Jauzy, hal. 7]

Meminta Hujan dengan Wajah Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam

Ibnu Asakir mentakhrij (meneliti) dari Julhumah bin Arfathah, dia berkata, “Tatkala aku tiba di Makkah, orang_orang sedang dilanda musim paceklik. Orang_orang Quraisy berkata: Wahai Abu Thalib, lembah sedang kekeringan dan kemiskinan melanda. Marilah kita berdoa meminta hujan.” Maka Abu Thalib keluar bersama anak kecil, yang seolah_olah wajahnya adalah matahari yang membawa mendung, yang menampakkan awan sedang berjalan pelan_pelan. Di sekitar Abu Thalib juga ada beberapa anak kecil lainnya. Dia memegang anak kecil itu dan menempelkan punggungnya ke dinding Ka’bah. Jari_jemarinya memegangi anak itu. Langit yang tadinya bersih, tiba_tiba saja mendung datang dari segala penjuru, lalu menurunkan hujan yang sangat deras, hingga lembah_ lembah terairi dan ladang_ladang menjadi subur. Abu Thalib mengisyaratkan hal ini dalam syair yang dibacakannya,

“ Putih berseri meminta hujan dengan wajahnya

Penolong anak yatim dan pelindung wanita janda.”

[Lihat Muhammad bin Abdul Wahhab An_Najdy, Mukhtashar Siratir Rasul, hal. 15-16]

Bahira Sang Rahib

Ketika usia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencapai dua belas tahun – ada yang berpendapat lebih dari dua bulan sepuluh hari – Abu Thalib mengajak beliau pergi berdagang dengan tujuan Syam, hingga tiba di Bushra, yaitu suatu daerah yang sudah termasuk Syam yang merupakan ibukota Hauran, yang juga merupakan ibukotanya orang_orang Arab, walaupun di bawah kekuasaan Bangsa Romawi. Di negeri ini ada seorang rahib yang dikenal dengan sebutan Bahira – yang nama aslinya adalah Jurjis –.  Tatkala rombongan singgah di daerah ini,

maka sang rahib menghampiri mereka dan mempersilahkan mereka mampir ke tempat tinggalnya sebagai tamu kehormatan. Padahal sebelumnya rahib tersebut tidak pernah keluar, namun begitu dia bisa mengetahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sifat_sifat beliau. Sambil memegang tangan beliau, sang rahib berkata, “Orang ini adalah pemimpin semesta alam. Anak ini akan diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam.”

Abu Thalib bertanya, “Dari mana engkau tahu hal itu?”

Rahib Bahira menjawab, “Sebenarnya sejak kalian tiba di Aqabah, tidak ada bebatuan dan pepohonan pun melainkan mereka tunduk bersujud. Mereka tidak sujud melainkan kepada seorang nabi. Aku bisa mengetahuinya dari cincin nubuwah yang berada di bagian bawah tulang rawan bahunya yang menyerupai buah apel. Kami juga bisa mendapatkan tanda itu di dalam kitab kami.”

Kemudian sang rahib meminta agar Abu Thalib kembali lagi bersama beliau tanpa melanjutkan perjalanan ke Syam, karena dia takut gangguan dari pihak orang_orang Yahudi. Maka Abu Thalib mengirim beliau bersama beberapa pemuda agar kembali lagi ke Makkah.

Disebutkan di dalam kitab At_Tirmidzi dan lain_lainnya bahwa Abu Thalib juga mengutus Bilal bersama beliau. Maka Ibnul Qayyim Al_Jauziyah berkata, “Hal ini merupakan kesalahan yang amat mencolok, karena boleh jadi saat itu Bilal belum lahir. Kalaupun sudah lahir, maka tidak bakalan dia bergabung bersama Abu Thalib atau pun Abu Bakar.” [Lihat Syamsudin Abu Abdullah Muhammad bin Bakr bin Ayyub, yang dikenal dengan nama Ibnul Qayyim Al_Jauziyah, Zadul Ma’ad, hal. 1/17]

berlanjut ..............................

1 comment:

  1. MUHAMMAD SAW DAN KELAHIRANNYA


    Muhammad SAW dilahirkan dari keluarga yang bersih dan mempunyai silsilah terhormat, yang menjadi pusat segala keutamaan orang-orang Arab dan jauh dari kecendrungan-kecendrungan jahat. Mengenai dirinya, Rasulullah SAW berkata:


    “Sesungguhnya Allah telah memilih Kinanah dari putra Ismail, memilih Qureisy dari Kinanah, memilih Bani Hasyim dari Qureisy dan memilih diriku dari Bani Hasyim” (HR. Muslim).


    Kelahiran Muhammad SAW dalam keluarga yang memiliki keutamaan merupakan salah satu sarana menuju kesuksesan yang telah disediakan oleh Allah SWT. Masyarakat Arab jahiliyah sangat fanatik kepada sukunya masing-masing sehingga mereka tidak segan-segan memusnahkan suku-suku lain demi kehormatan sukunya sendiri, atau suku lain yang menjadi sekutu mereka. Selama beberapa waktu, Islam hidup dalam naungan tradisi yang sedemikian itu sampai ia mampu berdiri sendiri. Ibarat tanaman yang tidak lagi membutuhkan penyangga setelah ia tumbuh kuat dan tegak.


    Sekalipun Muhammad SAW berasal dari keturunan mulia, beliau tidak memiliki kekayaan. Sedikit harta miliknya dan kemuliaan keturunan sajalah yang membuat beliau memiliki sifat paling mulia di antara golongan masyarakat lain. Anak-anak dari keluarga terhormat biasanya bergelimang kekayaan sehingga menjadikan mereka sombong. Bila kekayaan mereka habis, mereka masih memiliki tradisi yang akan mempertahankan kedudukan dan kehormatan mereka. Oleh karena itu, ada di antara mereka yang mengatakan dalam syairnya:

    “Dengan warisan zaman yang ada pada kami, kami pertahankan kegemilangan kami dari hal-hal yang memalukan”.

    Abdul Muthalib adalah seorang penguasa Mekah, tetapi kekuasaannya adalah terakhir dan tidak menurun kepada anak-cucunya. Karena kedudukan para pesaingnya kian menguat, kemungkinan besar tampuk kekuasaan akan berpindah ke tangan mereka. Beberapa tahun kemudian kekuasaannya jatuh ke tangan keluarga Abdusy-Syam dengan tampilnya Abu Sufyan, dan dengan sendirinya kekuasaan terlepas dari tangan Bani Hasyim.

    Abdullah adalah anak bungsu Abdul Muthalib yang begitu dikasihinya. Sang ayah menikahkannya dengan Aminah binti Wahb. Setelah itu ia dibiarkan mencari penghidupan sendiri. Masih dalam keadaan pengantin baru, ia meninggalkan keluarganya untuk merantau mencari rizki. Di suatu musim panas ia pergi ke Syam untuk tidak kembali selamanya. Kafilah yang menyertainya ke Syam, tak lama kemudian pulang ke Mekah membawa berita tentang keadaannya yang sedang sakit, setelah itu menyusul lagi berita tentang wafatnya.

    Aminah, sebagai isteri, tentu sangat menantikan kedatangan suaminya yang masih muda dan gagah untuk mengabarkan kehamilannya dan kebahagiaan mereka bila anak pertama mereka lahir. Namun suratan takdir menghapus angan bahagia itu dan akhirnya ia harus rela menjadi janda bersama anak tunggalnya.

    Kelahiran Muhammad SAW di Mekah berlangsung secara wajar. Tidak ada peristiwa yang menggegerkan atau menarik perhatian banyak orang. Para sejarahwan tidak bisa memastikan dengan tepat hari, bulan atau tahun kelahiran beliau. Namun sebagian besar sumber telah menetapkan tahunnya, yaitu pada saat Mekah diserang oleh orang-orang Habasyah, tahun 570 M, tanggal 12 Rabi’ul Awal atau 53 tahun sebelum hijrah.

    Ketentuan hari lahir beliau dilihat dari sudut agama tidak memiliki arti apa-apa. Adapun peringatan-peringatan hari lahir beliau tidak lain hanyalah tradisi keduniaan yang tidak ada hubungannya dengan syariat. Beberapa sumber menceritakan adanya peristiwa aneh yang menandakan kenabian beliau sewaktu dilahirkan. Cerita-cerita seperti ini merupakan ungkapan keliru tentang pemikiran yang benar. Yang benar ialah bahwa kelahiran Muhammad SAW menandakan akan runtuhnya kezaliman, kesewenangan-kesewenangan dan kedurhakaan. (dikutip dan diedit dari buku: Sejarah Perjalanan Hidup Muhammad karya Ulama Muhammad Ghazali, Penerbit Mitra Pustaka, halaman 55-66)

    ReplyDelete