Pernahkah Anda menyanjung seseorang (lantaran ia handal leadership, misalnya) namun orang yang bersangkutan justru tak berkenan, padahal Anda tulus memaksudkan. Menyanjungnya Anda mesti cerdas dan berkelas. Begini, “Mbakyu, Anda begitu tepat memilih suami yang handal memimpin.” Kali ini sanjungan Anda bakalan mengena, pihak yang Anda sanjung akan berkenan. Sanjungan Anda kini lebih jitu, sebab menyentuh pihak tersebut dari angle kekasihnya (orang yang ia kasihi).
Demikian halnya bila kita memuji, berhajat ataupun mengakses Tuhan. Maksudnya, kita bila memuji, berhajat dan mengakses Tuhan di jalan lurus (shiraath al mustaqim) hendaknya ‘menyentuh’ Allah dari angle ‘Kekasih Allah’ (Insan yang paling DIA Kasihi) yakni Kanjeng Nabi saw. Caranya? Ber-shalawat. Hal demikian telah Allah Perintahkan kepada orang-orang beriman.
“Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya ber-shalawat untuk Nabi saw. Hai orang-orang yang yang beriman, ber-shalawat-lah kamu sekalian untuk Nabi dan haturkanlah salam penghormatan kepadanya,” Al-Qur’an, Surat Al-Ahzab (Golongan yang Bersekutu): 56. Ayat tersebut kerap dibacakan oleh khotib Jum’at kepada jamaah (adakah hati kita tergetar oleh pembacaan ayat perintah ini?) Camkan, bahkan Diri Allah sendiri berkenan ber-shalawat kepada Nabi saw. Hmm, njur piye shalawate Gusti Allah maring Kekasih-E? –lantas macam bagaimana Allah ber-shalawat untuk Kekasih-Nya? (Sungguh, pada beberapa ayat surat Al-Qur’an menyiratkan bagaimana DIA bershalawat untuk Nabi saw: dahsyat!!!).
Bila Allah Dzat Maha Tinggi berkenan ber-shalawat untuk Nabi saw maka kita (hamba-hamba-Nya yang melata di dunia ini) mesti giat bershalawat. Apa gerangan orang lancang dan sombong diri hingga enggan ber-shalawat? Seberapa tinggi kedudukan yang ia –rasa- punya hingga enggan ber-shalawat, sedang Diri Tuhan berkenan untuk ber-shalawat? Kesombongan itu ageman (pakaian kebesaran) Allah – Al-Khaaliq, makhluq tidak berhak dan tidak layak memakainya sama sekali.
Allah Dzat Maha Tunggal, satu-satunya Sesembahan yang Haq Disembah. Tidak ada Tuhan selain Allah. Njeng Nabi saw tetaplah seorang insan dan hamba yang Dia Utus sekaligus Terkasih diantara semua insan dan Utusan. Sunan Kalijaga (pensyiar Islam di Tanah Jawa yang fenomenal, berpakaiannya nJawani warna serba wulung –kehitaman- ekspresi mulung: memungut kearifan) amat memuliakan Njeng Nabi saw dan mengungkap dalam bahasa Jawi bahwa Nabi saw adalah ‘Titah mustikaning jagat Dhutaning Gusti panutuping pra anbiya’ (seorang hamba yang menjadi mustikanya alam seluruhnya, bertindak sebagai Duta/Utusan-Tertinggi Tuhan, ditunjuk Tuhan sebagai penutup semua Nabi). Ungkapan tersebut upaya Sunan Kalijaga untuk mengenalkan aqaid Islam dan sosok Kanjeng Nabi saw kepada wong Jowo secara familiar berikut puji-pujian atas Nabi saw dengan tetap berpijak pada hal yang faktual dari Nabi saw.
Kita pujikan Njeng Nabi saw –sebagaimana makna dari nama beliau itu- tanpa kepeleset memujanya dalam pemujaan sebagai Tuhan. Di wilayah bumi beliau dikenal dalam nama Muhammad shallallaahu ‘alaihi wassalaam, sedang di ranah langit beliau harum disebut Ahmad shallallaahu ‘alaihi wassalaam. Nama pertama beliau itu bagi para penjiwa shalawat, apalagi khawashul khawas, begitu menggetarkan hati hingga lesan pun serasa tidak mampu menyebutnya saking luruhnya hati ke beliau. Maka, atas deburan perasaan yang hebat itu, para penjiwa shalawat dan khawas merasa diri hanya ‘berani menyebut’ beliau dengan (Ka)njeng Nabi saw, (Ka)njeng Rasul saw, Bendoro-kito saw, Juragane (Beliau-Junjungan) saw, dan lain-lainnya. Sebutan-sebutan substitutif tersebut bernisbah kepada kemuliaan dan tingginya derajat Nabi saw di hadlirat Allah.
Adalah seorang rektor pada salah satu universitas terkemuka di Jakarta, umurnya empat puluh tahun dengan predikat doktor. Dirinya secara pribadi amat menggandrungi Nabi saw, appreciate atas tingginya kedudukan Nabi saw di sisi Allah. Beberapa waktu lalu ia mintokke (minta pendapat) kepada kami secara ‘nakal-intelektual’, “Asmane Juragane (Ahmad saw) kae, nek huruf mim-e diilangi, piye Mas?” (Nama Junjungan-kita Ahmad saw itu andai huruf mim-nya pada lafadz tersebut dihapus, bagaimana Mas?) Kami menjawab, “Hus, Nis! Awakmu rasah nggiring aku ujar bab Juragane saw sing piyambake kagungan drajat kang duwur banget ing Ngarsane Allah nganti koyo-koyo huruf mim-e arep ilang. Wis, aku rakuat nyandra Juragane saw.” (Jangan nakal, ah. Nis! Jangan menggiring-giring saya bertutur padamu perihal Junjungan-kita saw yang memiliki derajat sangat tinggi di hadlirat Allah hingga serasa huruf mim pada lafadz Ahmad saw hampir terhapus. Sudahlah, saya enggak kuat mencandra Junjungan-kita saw). Doktor yang rektor plus ‘nakal-inteleketual’ ini tak bermaksud mensejajarkan Nabi saw kepada Allah Dzat Al-Ahad, melainkan dirinya itu lagi asyiq-masyuq dengan Sang Insan Terpuji yang memiliki derajat tinggi di sisi Tuhan.
Sekali lagi, Nabi saw itu insan, bukan Tuhan ataupun ‘Putera Tuhan’. Beliau itu Insan teragung dengan kedudukan tinggi di sisi Tuhan yang Agung sebagaimana Tuhan telah Tentukan. Kita jiwai kedudukan istimewa Nabi saw di sisi Tuhan dan dedikasi Nabi saw kepada alam semesta. Penjiwaan kita dimulaikan dari giat ber-shalawat, kemudian mengikuti teladan beliau saw. Bahwa sesudahnya Allah berkenan menerima puja-puji dan permohonan kita –dengan kita ‘menyentuh’ Allah dari angle ‘Kekasih-Nya’- siapa akan menolak Tanda Cinta dari Allah?
“Shalawat serta salam bagimu, ya Nabi saw, pada saat Paduka ditentukan. Shalawat dan salam bagimu, Nabi saw, di saat Paduka didzahirkan di dunia. Shalawat dan salam bagimu, Nabi saw, pada saat Paduka diwafatkan di dunia. Shalawat dan salam bagimu, wahai Nabi saw, pada saat Paduka dibangkitkan. Shalawat dan salam bagimu, ya Nabi saw, pada saat Paduka memberi syafa’at kepada alam semesta. Shalawat dan salam bagimu, wahai Nabi saw, duhai Rahmatan lil ‘aalamien.”
Wallaahu a’lam.
Hasan
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment