Sholawat Nurul Anwar

ART002

اللهم صل على نور الانوار وَسِرِّ الاَسرَارِ وَتِر يَاقِ الاَغيَارِ وَمِفتَاحِ بَابِ اليَسَارِ سَيِّدِنَا مُحَمَّد المُختَارِ وَالِهِ الاَطهَار وَاصحَا بِهِ الاَخيَارِ عَدَدَ نِعَمِ اللهِ وَاِفضَالِهِ

Allahumma shalli 'alaa nuuril anwaari wasirril asraari, watiryaaqil aghyaari wamiftaahi baabil yasaari, sayyidinaa wamaulaana Muhammadinil muhtaari wa aalihil ath haari wa ash haabihil ahyaari 'adada ni'amillaahi wa ifdhaalih.

Artinya :

Ya Allah, limpahkanlah rahmat kepada cahaya dari segala cahaya, rahasia dari segenap rahasia, penawar duka dan kebingungan, pembuka pintu kemudahan, yakni junjungan kami, Nabi Muhammad saw yang terpilih, keluarganya yang suci dan para sahabatnya yang mulia sebanyak hitungan nikmat Allah SWT dan karunia Nya

Keutamaan dan khasiat sholawat Nurul anwar :

Sholawat ini bersumber dari wali quthub Sayyid Ahmad al Badawi ra. menurutnya, keutamaan dan kegunaannya sholawat ini adalah :

  • Jika dibaca setiap selesai shalat fardhu, maka akan terhindar dari segala mara bahaya dan memperoleh rizki dengan mudah
  • Jika dibaca 7 kali  sebelum tidur, insya Allah akan terhindar dari sihir yang dilakukan orang jahat
  • Jika dibaca 100 kali sehari semalam, akan memperoleh cahaya Illahi, menolak bencana, mendapat rizki lahir batin

 

Sholawat lain :

[+/-] Selengkapnya...

Sholawat Sayyidina Ali

Sholawat Sayyidina Ali

Shalawaatulullaahi wamalaaikatihi wa anbiyaaihii wajamii'i khalqihii 'alaa Muhammadin 'alaihi wa'alaihimus salaamu warahmatullaahi wabarakaatuh.

 

Artinya :

Semoga Rahmat Allah dan para Malaikat Nya , para NabiNya, serta para makhluqNya tetap atas nabi Muhammad SAW dan keluarganya semoga dapat limpahan keselamatan, rahmat Allah dan berkahNya.

Fadhilah dan khasiat sholawat Sayyidina Ali :

  • Sholawat ini berasal dari Sayyidina Ali Karramallahu Wajhah, fadhilahnya yaitu apabila sholawat ini dibaca 21 kali setelah sholat fardlu , Insya Allah dapat perlindungan dari Allah dari gangguan orang jahat seperti santet, tenung , sihir dll. Di samping itu akan mendatangkan kewibawaan, disegani dan disenangi orang.

 

Sholawat lain :

[+/-] Selengkapnya...

Sholawat Quthbul Aqthab

Sholawat Quthbul Aqthab

Allahmma sholli 'alaa sayyidinaa Muhammadin fil awwaliin washalli 'alaa sayyidina Muhammadin fil aakhiriinaa washalli 'alaa sayyidinaa Muhammadin finnabiyyin washalli 'alaa sayyidina Muhammadin fil mursaliin, washalli 'alaa sayyidina Muhammadin fil malail a'laa ilaa yaumiddiin.

Artinya :

Ya Allah limpahkanlah rahmat kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, pada zaman/abad awal dan di abad yang terakhir (akhir zaman) , di dalam kenabian dan kerasulan (keutusan),di dalam golongan mulia sampai hari qiyamat.

Khasiat dan fadhilah Sholawat Quthbul Aqthab :

  • Barang siapa yang ingin bertemu dengan nabi Muhammad di dalam mimpi, maka maka baca  Sholawat Quthbul Aqthab sebagai wirid 70 kali dalam sehari semalam, demikian menurut Alhafizh   Dimyathi. Atau sebelum tidur wudlu, dan sholat sunnah 2 rekaat , setelah sholat bacalah sholawat ini sampai tidur, tidurnya dalam keadaan suci baik pakaian maupun tempatnya dan posisi tidurnya membujur ke utara muka menghadap kiblat serta hatinya tidak melamun.

 

Sholawat lain :

[+/-] Selengkapnya...

Jejak Kedermawanan Rasulullah

hanjumShajarahBig

Sayyidina Umar bin Khattab bercerita, suatu hari seorang laki-laki datang menemui Rasulullah SAW untuk meminta-minta, lalu beliau memberinya. Keesokan harinya, laki-laki itu datang lagi, Rasulullah juga memberinya. Keesokan harinya, datang lagi dan kembali meminta, Rasulullah pun memberinya. Keesokan harinya, ia datang kembali untuk meminta-minta, Rasulullah lalu bersabda, “Aku tidak mempunyai apa-apa saat ini. Tapi, ambillah yang kau mau dan jadikan sebagai utangku. Kalau aku mempunyai sesuatu kelak, aku yang akan membayarnya.”
Umar lalu berkata, “Wahai Rasulullah janganlah memberi diluar batas kemampuanmu.” Rasulullah tidak menyukai perkataan Umar tadi. Tiba-tiba, datang seorang laki-laki dari Anshar sambil berkata, “Ya Rasulullah, jangan takut, terus saja berinfak. Jangan khawatir dengan kemiskinan.” Mendengar ucapan laki-laki tadi, Rasulullah tersenyum, lalu beliau berkata kepada Umar, “Ucapan itulah yang diperintahkan oleh Allah kepadaku.” (HR Turmudzi).
Jubair bin Muth’im bertutur, ketika ia bersama Rasulullah SAW, tiba-tiba orang-orang mencegat beliau dan meminta dengan setengah memaksa sampai-sampai beliau disudutkan ke sebuah pohon berduri.
Kemudian salah seorang dari mereka mengambil mantelnya. Rasulullah berhenti sejenak dan berseru, ”Berikan mantelku itu! Itu untuk menutup auratku. Seandainya aku mempunyai mantel banyak (lebih dari satu), tentu akan kubagikan pada kalian (HR. Bukhari)
Ummu Salamah, istri Rasulullah SAW bercerita, suatu hari Rasulullah masuk ke rumahku dengan muka pucat. Aku khawatir beliau sedang sakit. “Ya Rasulullah, mengapa wajahmu pucat begini?” tanyaku.
Rasulullah menjawab, ”Aku pucat begini bukan karena sakit, melainkan karena aku ingat uang tujuh dinar yang kita dapat kemarin sampai sore ini masih berada di bawah kasur dan kita belum menginfakkannya.” (HR Al-Haitsami dan hadistnya sahih).
Aisyah berkata, suatu hari, ketika sakit, Rasulullah SAW menyuruhku bersedekah dengan uang tujuh dinar yang disimpannya di rumah. Setelah menyuruhku bersedekah, beliau lalu pingsan. Ketika sudah siuman, Rasulullah bertanya kembali: “Uang itu sudah kau sedekahkan?” “Belum, karena aku kemarin sangat sibuk,” jawabku Rasulullah bersabda, “Mengapa bisa begitu, ambil uang itu!”.
Begitu uang itu sudah di hadapannya, Rasulullah lalu bersabda, “Bagaimana menurutmu seandainya aku tiba-tiba meninggal, sementara aku mempunyai uang yang belum kusedekahkan? Uang ini tidak akan menyelamatkan Muhammad seandainya ia meninggal sekarang, sementara ia mempunyai uang yang belum disedekahkan,”. (HR Ahmad).
Sahl bin Sa’ad bertutur, suatu hari datang seorang perempuan menghadiahkan kepada Nabi Saw sepotong syamlah yang ujungnya ditenun (syamlah adalah baju lapang yang menutup seluruh badan). Perempuan itu berkata, “Ya Rasulullah, akulah yang menenun syamlah ini dan aku hendak menghadiahkannya kepada Engkau.” Rasulullah pun sangat menyukainya. Tanpa banyak bicara, beliau langsung mengambil dan memakainya dengan sangat gembira dan berterima kasih kepada wanita itu. Rasulullah betul-betul sangat membutuhkan dan menyukai syamlah tersebut.
Tidak lama setelah wanita itu pergi, tiba-tiba datang seorang laki-laki meminta syamlah tersebut. Rasulullah pun memberikannya. Para sahabat yang lain lalu mengecam laki-laki tersebut. Mereka berkata, “Hai Fulan, Rasulullah sangat menyukai syamlah tersebut, mengapa kau memintanya? Kau kan tahu Rasulullah tidak pernah tidak memberi kalau diminta?” Laki-laki itu menjawab, “Aku memintanya bukan untuk dipakai sebagai baju, melainkan untuk kain kafanku nanti kalau aku meninggal”. Tidak lama kemudian, laki-laki itu meninggal dan syamlah tersebut menjadi kain kafannya. (HR Bukhari).
Beberapa kisah di atas hanyalah sebutir jejak kedermawanan Nabi Muhammad SAW. Kisah-kisah lainnya bagaikan gunung pasir tertinggi yang takkan pernah sanggup diimbangi oleh siapapun, termasuk para sahabat-sahabat terdekatnya di masa beliau masih hidup. Sahabat-sahabat Rasulullah hanya bisa meniru kedermawanan yang diajarkan Baginda Rasul itu, yang kemudian menambah panjang jejak sejarah kedermawanan yang dicontohkan Nabi dan para sahabatnya.
Lihatlah Thalhah bin Ubaidillah, seorang sahabat yang kaya raya namun pemurah dan dermawan. “Sungai yang airnya mengalir terus menerus mengairi dataran dan lembah” adalah lukisan tentang kedermawanan seorang Thalhah. Isterinya bernama Su’da binti Auf. Pada suatu hari isterinya melihat Thalhah sedang murung dan duduk termenung sedih. Melihat keadaan suaminya, sang isteri segera menanyakan penyebab kesedihannya dan Thalhah mejawab, “Uang yang ada di tanganku sekarang ini begitu banyak sehingga memusingkanku. Apa yang harus kulakukan ?”
Maka istrinya berkata, “Uang yang ada di tanganmu itu bagi-bagikanlah kepada fakir miskin.” Maka dibagi-baginyalah seluruh uang yang ada di tangan Thalhah tanpa meninggalkan sepeserpun.
Assaib bin Zaid berkata tentang Thalhah, “Aku berkawan dengan Thalhah baik dalam perjalanan maupun sewaktu bermukim. Aku melihat tidak ada seorangpun yang lebih dermawan dari dia terhadap kaum muslimin. Ia mendermakan uang, sandang dan pangannya.”
Jaabir bin Abdullah bertutur, “Aku tidak pernah melihat orang yang lebih dermawan dari Thalhah walaupun tanpa diminta.” Oleh karena itu patutlah jika dia dijuluki “Thalhah si dermawan”, “Thalhah si pengalir harta”, “Thalhah kebaikan dan kebajikan”.
Sahabat lain yang mengukir jejak indah kedermawanan mencontoh Nabi adalah Tsabit bin Dahdah yang memiliki kebun yang bagus, berisi 600 batang kurma kualitas terbaik. Begitu turun firman Allah, “Siapakah yang mau meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, maka Allah akan melipatgandakan (pembayaran) pinjaman itu untuknya, dan dia akan memperoleh pahala yang banyak.” (Al-Hadid: 11). Dia bergegas mendatangi Rasulullah untuk bertanya, “Ya Rasulullah, apakah Allah ingin meminjam dari hambanya?”
“Benar,” jawab Rasulullah.
Spontan Tsabit bin Dahdah mengacungkan tangannya seraya berkata, “Ulurkanlah tangan Anda, wahai Rasulullah.”
Rasulullah mengulurkan tangannya, dan langsung disambut oleh Tsabit bin Dahdah sambil berkata, “Aku menjadikan Anda sebagai saksi bahwa kupinjamkan kebunku kepada Allah.” Tsabit sangat gembira dengan keputusannya itu. Dalam perjalanan pulang dia mampir ke kebunnya. Dilihatnya isteri dan anak-anaknya sedang bersantai di bawah pepohonan yang sarat dengan buah.
Dari pintu kebun, Dipanggillah sang isteri, “Hai Ummu Dahdah! Ummu Dahdah! Cepat keluar dari kebun ini, Aku sudah meminjamkan kebun ini kepada Allah!” Isterinya menyambut dengan suka cita, “Engkau tidak rugi, suamiku, engkau beruntung, engkau sungguh beruntung!” Segera dikeluarkannya kurma yang ada di mulut anak-anaknya seraya berkata, “Ayahmu sudah meminjamkan kebun ini kepada Allah.”
Ibnu Mas’ud menceritakan bahwa Rasulullah bersabda, “Berapa banyak pohon sarat buah yang kulihat di surga atas nama Abu Dahdah.” Artinya, Allah memberi Tsabit bin Dahdah pohon-pohon yang berbuah lebat di surga sebagai ganti atas pemberiannya kepada-Nya di dunia.
Indah nian jejak-jejak kedermawanan Nabi Muhammad SAW, lebih indah lagi apa-apa yang dijanjikan Allah atas apa yang diberikan di jalan-Nya. Karenanya, seluruh sahabat pada masa itu berlomba-lomba mengikuti jejak Nabi dalam segala hal, termasuk tentang kedermawanan. Semoga, jejak kedermawanan itu terus terukir pada ummat Muhammad hingga kini selama kita masih terus meleburkan diri pada rantai jejak indah itu, dan mengajarkannya kepada anak-anak dan penerus kehidupan ini.

" Sholawat dan salam semoga tetap tercurah kepada beliau Rasulullah SAW , amiin...."

Sumber : madinatulilmi.com

[+/-] Selengkapnya...

Ketika Rasulullah Tersenyum

Saat menikahkan putri bungsunya, Sayyidah Fatimah Az Zahrah, dengan sahabat Ali bin Abi Thalib, Baginda Nabi Muhammad SAW tersenyum lebar. Itu merupakan peristiwa yang penuh kebahagiaan.
Hal serupa juga diperlihatkan Rasulullah SAW pada peristiwa Fathu Makkah, pembebasan Makkah, karena hari itu merupakan hari kemenangan besar bagi kaum muslimin.
“Hari itu adalah hari yang penuh dengan senyum panjang yang terukir dari bibir Rasulullah SAW serta bibir seluruh kaum muslimin” tulis Ibnu Hisyam dalam kita As Sirah Nabawiyyah.


Rasulullah SAW adalah pribadi yang lembut dan penuh senyum. Namun, beliau tidak memberi senyum kepada sembarang orang. Demikian istimewanya senyum Rasul sampai-sampai Abu Bakar dan Umar, dua sahabat utama beliau, sering terperangah dan memperhatikan arti senyum tersebut.
Misalnya mereka heran melihat Rasul tertawa saat berada di Muzdalifah di suatu akhir malam. “Sesungguhnya Tuan tidak biasa tertawa pada saat seperti ini,” kata Umar. “Apa yang menyebabkan Tuan tertawa?” Pada saat seperti itu, akhir malam, Nabi biasanya berdoa dengan khusyu’.
Menyadari senyuman beliau tidak sembarangan, bahkan mengandung makna tertentu, Umar berharap, “Semoga Allah menjadikan Tuan tertawa sepanjang umur”.
Atas pertanyaan diatas, Rasul menjawab, “Ketika iblis mengetahui bahwa Allah mengabulkan doaku dan mengampuni umatku, dia memungut pasir dan melemparkannya ke kepalanya, sambil berseru, ‘celaka aku, binasa aku!’ Melihat hal itu aku tertawa.” (HR Ibnu Majah)


Dalam kitab Ihya Ulumuddin, Imam Ghazali menulis, apabila Rasul dipanggil, beliau selalu menjawab, “Labbaik”. Ini menunjukkan betapa beliau sangat rendah hati. Begitu pula, Rasul belum pernah menolak seseorang dengan ucapan “tidak” bila diminta sesuatu. Bahkan ketika tak punya apa-apa, beliau tidak pernah menolak permintaan seseorang. “Aku tidak mempunyai apa-apa,” kata Rasul, “Tapi, belilah atas namaku. Dan bila yang bersangkutan datang menagih, aku akan membayarnya.”


Banyak hal yang bisa membuat Rasul tertawa tanpa diketahui sebab musababnya. Hal itu biasanya berhubungan dengan turunnya wahyu Allah. Misalnya, ketika beliau sedang duduk-duduk dan melihat seseorang sedang makan. Pada suapan terakhir orang itu mengucapkan. “Bismillahi fi awalihi wa akhirihi.” Saat itu beliau tertawa. Tentu saja orang itu terheran-heran.
Keheranan itu dijawab beliau dengan bersabda, “Tadi aku lihat setan ikut makan bersama dia. Tapi begitu dia membaca basmalah, setan itu memuntahkan makanan yang sudah ditelannya.” Rupanya orang itu tidak mengucapkan basmalah ketika mulai makan.
Suatu hari Umar tertegun melihat senyuman Nabi. Belum sempat dia bertanya, Nabi sudah mendahului bertanya, “Ya Umar, tahukah engkau mengapa aku tersenyum?”
“Allah dan Rasul-Nya tentu lebih tahu,” jawab Umar.
“Sesungguhnya Allah memandang kepadamu dengan kasih sayang dan penuh rahmat pada malam hari Arafat, dan menjadikan kamu sebagai kunci Islam,” sabda beliau.
Kesaksian Anggota Tubuh
Rasul SAW bahkan sering membalas sindiran orang dengan senyuman. Misalnya ketika seorang Badui yang ikut mendengarkan taushiyah beliau tiba-tiba nyeletuk, “Ya Rasul, orang itu pasti orang Quraisy atau Anshar, karena mereka gemar bercocok tanam, sedang kami tidak.”
Saat itu Rasul tengah menceritakan dialog antara seorang penghuni surga dan Allah SWT yang mohon agar diizinkan bercocok tanam di surga. Allah SWT mengingatkan bahwa semua yang diinginkannya sudah tersedia di surga.
Karena sejak di dunia punya hobi bercocok tanam, iapun lalu mengambil beberapa biji-bijian, kemudian ia tanam. Tak lama kemudian biji itu tumbuh menjadi pohon hingga setinggi gunung, berbuah, lalu dipanenkan. Lalu Allah SWT berfirman. “Itu tidak akan membuatmu kenyang, ambillah yang lain.”
Ketika itulah si Badui menyeletuk, “Pasti itu orang Quraisy atau Anshar. Mereka gemar bercocok tanam, kami tidak.”
Mendengar itu Rasul tersenyum, sama sekali tidak marah. Padahal, beliau orang Quraisy juga.
Suatu saat justru Rasulullah yang bertanya kepada para sahabat, “Tahukah kalian mengapa aku tertawa?.”
“Allah dan Rasul-Nya lebih tahu,” jawab para sahabat.
Maka Rasul pun menceritakan dialog antara seorang hamba dan Allah SWT. Orang itu berkata, “Aku tidak mengizinkan saksi terhadap diriku kecuali aku sendiri.”
Lalu Allah SWT menjawab, “Baiklah, cukup kamu sendiri yang menjadi saksi terhadap dirimu, dan malaikat mencatat sebagai saksi.”
Kemudian mulut orang itu dibungkam supaya diam, sementara kepada anggota tubuhnya diperintahkan untuk bicara. Anggota tubuh itupun menyampaikan kesaksian masing-masing. Lalu orang itu dipersilahkan mempertimbangkan kesaksian anggota-anggota tubuhnya.
Tapi orang itu malah membentak, “Pergi kamu, celakalah kamu!” Dulu aku selalu berusaha, berjuang, dan menjaga kamu baik-baik,” katanya.


Rasulpun tertawa melihat orang yang telah berbuat dosa itu mengira anggota tubuhnya akan membela dan menyelamatkannya. Dia mengira, anggota tubuh itu dapat menyelamatkannya dari api neraka. Tapi ternyata anggota tubuh itu menjadi saksi yang merugikan, karena memberikan kesaksian yang sebenarnya (HR Anas bin Malik).
Hal itu mengingatkan kita pada ayat 65 surah Yasin, yang maknanya, “Pada hari ini Kami tutup mulut mereka, dan berkatalah kepada Kami tangan mereka, dan memberi kesaksian kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka kerjakan.”

 

Sumber : http://www.madinatulilmi.com

[+/-] Selengkapnya...

Makan dan minum di masjid

MAKAN DAN TIDUR DI MASJID

Bagaimana hukum makan dan tidur di dalam masjid ?

Makan dan tidur di dalam masjid hukumnya boleh selama tidak menyebabkan tadlyiq (mempersempit tempat bagi orang lain).

وَيَجُوْزُ النَّوْمُ فِيْهِ بِلاَ كَرَاهَةٍ بِقَيْدِ عَدَمِ التَّضْيِيْقِ أَيْضًا سَوَاءٌ الْمُعْتَكِفُ وَغَيْرُهُ وَإِنْ وُضِعَ لَهَ فِرَاشٌ وَكَذَا لاَ بَأْسَ بِاْلأَكْلِ وَالشُّرْبِ وَالْوُضُوْءِ إِذَا لَمْ يَتَأَذَّ بِهِ النَّاسُ وَلَمْ يَكُنْ لِلْمَأْكُوْلِ رَائِحَةٌ كَرِيْهَةٌ كَالثُّوْمِ وَإِلاَّ كُرِهَ [تلخيص المراد 97]

“Boleh hukumnya tidur di masjid tanpa makruh dengan catatan tidak adanya penyempitan tempat, baik terhadap orang yang i’tikaf maupun yang lain, meskipun dengan meletakkan tikar. Demikian juga tidak mengapa makan, minum dan wudlu bila orang lain tidak merasa terganggu dan makanan tersebut tidak berbau yang tidak sedap seperti bawang putih, dan bila berbau maka makruh”. (Talkhish al-Murad 97).

 

I’TIKAF DI SERAMBI MASJID

Bagaimana hukum shalat tahiyyatal masjid atau i’tikaf di serambi masjid ?

Shalat tahiyyatal masjid dan i’tikaf tersebut hukumnya sah bilamana serambinya dihukumi masjid (pembangunannya bersamaan dengan masjid) atau serambi tambahan baru yang telah dijadikan masjid atau majhul keberadaannya.

يُسَنُّ اعْتِكَافٌ كُلَّ وَقْتٍ وَهُوَ لُبْثٌ فَوْقَ قَدْرِ طَمَأْنِيْنَةِ الصَّلاَةِ وَلَوْ مُتَرَدِّدًا فِيْ مَسْجِدٍ أَوْ رَحْبَتِهِ الَّتِيْ لَمْ يُتَيَقَّنْ حُدُوْثُهَا بَعْدَهُ وَأَنَّهَا غَيْرُ مَسْجِدٍ. (وقَوْلُهُ الَّتِيْ لَمْ يُتَيَقَّنْ الخ) فَإِنْ تُيُقِّنَ حُدُوْثُهَا بَعْدَهُ مَعْ كَوْنِهَا غَيْرَ مَسْجِدٍ فَلاَ يَصِحُّ اْلإِعْتِكَافُ فِيْهَا [إعانة الطالبين 2/ 259-260].

“Sunat i’tikaf setiap waktu, yaitu berdiam diri melebihi kadar waktu tuma’ninah shalat meskipun hanya mondar mandir di dalam masjid atau serambinya yang tidak diyakini keberadaannya setelah adanya masjid dan bukan dari masjid. Kalimat ‘tidak diyakini keberadaannya setelah masjid serta tidak menjadi bagian masjid maka tidak sah beri’tikaf diserambi tersebut”. (I’anah al-Thalibin II/259-260).

وَيَتَحَقَّقُ كَوْنُ الرَّحْبَةِ مِنَ الْمَسْجِد اِمَّا بِوَ‍قْفٍ أَوْ بِاِطْلاَقِ الْمَسْجِدِ عَلَيْهَا وَكَذَا اِنْ جُهِلَ حَالُهَا اَهِيَ مِنَ الْمَسْجِدِ اَمْ لاَ كَمَا قَالَهُ السَّمْهُوْدِيّ [تلخيص المراد 96].

“Keberadaan serambi menjadi jelas termasuk masjid, adakalanya dengan wakaf atau diucapkannya sebagai masjid. Demikian juga bila tidak diketahui keberadaannya apakah termasuk masjid atau bukan, sebagaimana keterangan ‘Al-Samhudi.” (Talkhish al-Murad 96)

 

ORANG KAFIR BANGUN MASJID

Bagaimana hukumnya orang kafir membangun masjid / mushalla ? Dan bagaiman pula hukumnya shalat di tempat tersebut ?

Orang kafir membangun masjid/mushalla hukumnya boleh dan shalat di tempat tersebut juga sah.

(قَوْلُهُ وَأَنْ يَكُوْنَ الْوَاقِفُ أَهْلاً لِلتَّبَرُّعِ) فَيَصِحُّ مِنْ كَافِرٍ وَلَوْ لِمَسْجِدٍ وَمُصْحَفٍ وَكُتُبِ عِلْمٍ وَإِنْ لَمْ يَعْتَقِدْ ذَلِكَ قُرْبَةً اعْتِبَارًا بِاعْتِقَادِنَا [الشرقاوي 2/174]

“Kalimat ‘orang yang wakaf haruslah ahli derma,’ maka juga sah dari orang kafir sekalipun untuk masjid, mushaf dan kitab-kitab ilmiah meskipun ia tidak menyakini sebagai bentuk ibadah yang sesuai dengan keyakinan kita.” (Al-Syarqawi II/174)

[+/-] Selengkapnya...

Tukar tanah wakaf

TUKAR TANAH WAKAF

Bagaimana hukum menukar tanah wakaf dengan tanah lain yang bukan wakaf ?

Penukaran tanah tersebut hukumnya tidak boleh.

وَلاَ يَجُوْزُ اسْتِبْدَالُ الْمَوْقُوْفِ عِنْدَنَا وَإِنْ خَرُبَ [الشرقاوي 2/178].

“Tidak boleh menukar barang wakaf, menurut ulama kita (Syafi’iyah) sekalipun sudah runtuh”. (Al-Syarqawi II/178).

 

MENGAMBIL AIR WAKAFAN

Bagaimana hukumnya mengambil air sumur lingkungan masjid oleh penduduk?

Mengambil air tersebut hukumnya boleh jika memang ada petunjuk yang memperbolehkan, seperti tidak adanya reaksi ulama sekitar.

وَسُئِلَ الْعَلاَّمَةُ الطَّنْبَدَوِيّ عَنِ الْجَوَابِي وَالْجِرَارِ الَّتِيْ عِنْدَ الْمَسَاجِدِ فِيْهَا الْمَاءُ إِذَا لَمْ يُعْلَمْ اَنَّهَا مَوْقُوْفَةٌ لِلشُّرْبِ أَوِ الْوُضُوْءِ أَوِ الْغُسْلِ الْوَاجِبِ أَوِ الْمَسْنُوْنِ أَوْ غَسْلِ النَّجَاسَةِ فَأَجَابَ أَنَّهُ إِذَا دَلَّتْ قَرِيْنَةٌ عَلَى أَنَّ الْمَاءَ مَوْضُوْعٌ لِتَعْمِيْمِ اْلإِنْتِفَاءِ جَازَ جَمِيْعُهُ مَا ذُكِرَ مِنَ الشُّرْبِ وَغَسْلِ النَّجَاسَةِ وَغُسْلِ الْجَنَابَةِ وَغَيْرِهَا وَمِثَالُ الْقَرِيْنَةِ جَرَيَانُ النَّاسِ عَلَى تَعْمِيْمِ اْلإِنْتِفَاءِ مِنْ غَيْرِ نَكِيْرٍ مِنْ فَقِيْهٍ وَغَيْرِهِ إِذِ الظَّاهِرُ مِنْ عَدَمِ النَّكِيْرِ

أَنَّهُمْ أَقْدَمُوْا عَلَى تَعْمِيْمِ اْلإِنْتِفَاءِ بِالْمَاءِ بِغُسْلٍ وَشُرْبٍ وَوُضُوْءٍ وغَسْلِ نَجَاسَةٍ فَمِثْلُ هَذَا إِيْقَاعٌ يُقَالُ بِالْجَوَازِ. وَقَالَ: إِنَّ فَتْوَى الْعَلاَّمَةِ عَبْدِ اللهِ بَا مَحْرَمَةَ يُوَافِقُ مَا ذَكَرَهُ [هامش اعانةالطالبين 3/171-172].

“Al-‘Allamah al-Thanbadawi pernah ditanya mengenai gentong dan tempayan berisikan air di beberapa masjid, bila tidak diketahui bahwa air itu diwakafkan untuk minum, wudlu, mandi wajib, mandi sunat atau mensucikan najis. Beliau menjawab: jika ada pertanda yang menunjukkan bahwa air tersebut memang disediakan untuk dipergunakan secara umum maka boleh menggunakan air tersebut untuk minum, mensucikan najis, mandi janabat dan lain sebagai-nya. Misal pertanda tersebut adalah kebiasaan masyarakat menggunakan air tersebut secara umum tanpa adanya penolakan ahli fiqh serta yang lain. Karena secara lahiriyah, tanpa adanya penolakan itu menunjukkan bahwa para pewakaf merelakan air tersebut digunakan secara umum, baik untuk mandi, minum, wudlu dan mensucikan najis. Pertanda semacam ini adalah kenyataan untuk ditetapkan-nya hukum boleh. Beliau juga berkata, bahwa fatwa Al-’Allamah Abdullah Bamahramah menyetujui apa yang telah dikemukakan tadi. (Hamisy I’anah al-Thalibin III/171-172).

[+/-] Selengkapnya...