Makan dan minum di masjid

MAKAN DAN TIDUR DI MASJID

Bagaimana hukum makan dan tidur di dalam masjid ?

Makan dan tidur di dalam masjid hukumnya boleh selama tidak menyebabkan tadlyiq (mempersempit tempat bagi orang lain).

وَيَجُوْزُ النَّوْمُ فِيْهِ بِلاَ كَرَاهَةٍ بِقَيْدِ عَدَمِ التَّضْيِيْقِ أَيْضًا سَوَاءٌ الْمُعْتَكِفُ وَغَيْرُهُ وَإِنْ وُضِعَ لَهَ فِرَاشٌ وَكَذَا لاَ بَأْسَ بِاْلأَكْلِ وَالشُّرْبِ وَالْوُضُوْءِ إِذَا لَمْ يَتَأَذَّ بِهِ النَّاسُ وَلَمْ يَكُنْ لِلْمَأْكُوْلِ رَائِحَةٌ كَرِيْهَةٌ كَالثُّوْمِ وَإِلاَّ كُرِهَ [تلخيص المراد 97]

“Boleh hukumnya tidur di masjid tanpa makruh dengan catatan tidak adanya penyempitan tempat, baik terhadap orang yang i’tikaf maupun yang lain, meskipun dengan meletakkan tikar. Demikian juga tidak mengapa makan, minum dan wudlu bila orang lain tidak merasa terganggu dan makanan tersebut tidak berbau yang tidak sedap seperti bawang putih, dan bila berbau maka makruh”. (Talkhish al-Murad 97).

 

I’TIKAF DI SERAMBI MASJID

Bagaimana hukum shalat tahiyyatal masjid atau i’tikaf di serambi masjid ?

Shalat tahiyyatal masjid dan i’tikaf tersebut hukumnya sah bilamana serambinya dihukumi masjid (pembangunannya bersamaan dengan masjid) atau serambi tambahan baru yang telah dijadikan masjid atau majhul keberadaannya.

يُسَنُّ اعْتِكَافٌ كُلَّ وَقْتٍ وَهُوَ لُبْثٌ فَوْقَ قَدْرِ طَمَأْنِيْنَةِ الصَّلاَةِ وَلَوْ مُتَرَدِّدًا فِيْ مَسْجِدٍ أَوْ رَحْبَتِهِ الَّتِيْ لَمْ يُتَيَقَّنْ حُدُوْثُهَا بَعْدَهُ وَأَنَّهَا غَيْرُ مَسْجِدٍ. (وقَوْلُهُ الَّتِيْ لَمْ يُتَيَقَّنْ الخ) فَإِنْ تُيُقِّنَ حُدُوْثُهَا بَعْدَهُ مَعْ كَوْنِهَا غَيْرَ مَسْجِدٍ فَلاَ يَصِحُّ اْلإِعْتِكَافُ فِيْهَا [إعانة الطالبين 2/ 259-260].

“Sunat i’tikaf setiap waktu, yaitu berdiam diri melebihi kadar waktu tuma’ninah shalat meskipun hanya mondar mandir di dalam masjid atau serambinya yang tidak diyakini keberadaannya setelah adanya masjid dan bukan dari masjid. Kalimat ‘tidak diyakini keberadaannya setelah masjid serta tidak menjadi bagian masjid maka tidak sah beri’tikaf diserambi tersebut”. (I’anah al-Thalibin II/259-260).

وَيَتَحَقَّقُ كَوْنُ الرَّحْبَةِ مِنَ الْمَسْجِد اِمَّا بِوَ‍قْفٍ أَوْ بِاِطْلاَقِ الْمَسْجِدِ عَلَيْهَا وَكَذَا اِنْ جُهِلَ حَالُهَا اَهِيَ مِنَ الْمَسْجِدِ اَمْ لاَ كَمَا قَالَهُ السَّمْهُوْدِيّ [تلخيص المراد 96].

“Keberadaan serambi menjadi jelas termasuk masjid, adakalanya dengan wakaf atau diucapkannya sebagai masjid. Demikian juga bila tidak diketahui keberadaannya apakah termasuk masjid atau bukan, sebagaimana keterangan ‘Al-Samhudi.” (Talkhish al-Murad 96)

 

ORANG KAFIR BANGUN MASJID

Bagaimana hukumnya orang kafir membangun masjid / mushalla ? Dan bagaiman pula hukumnya shalat di tempat tersebut ?

Orang kafir membangun masjid/mushalla hukumnya boleh dan shalat di tempat tersebut juga sah.

(قَوْلُهُ وَأَنْ يَكُوْنَ الْوَاقِفُ أَهْلاً لِلتَّبَرُّعِ) فَيَصِحُّ مِنْ كَافِرٍ وَلَوْ لِمَسْجِدٍ وَمُصْحَفٍ وَكُتُبِ عِلْمٍ وَإِنْ لَمْ يَعْتَقِدْ ذَلِكَ قُرْبَةً اعْتِبَارًا بِاعْتِقَادِنَا [الشرقاوي 2/174]

“Kalimat ‘orang yang wakaf haruslah ahli derma,’ maka juga sah dari orang kafir sekalipun untuk masjid, mushaf dan kitab-kitab ilmiah meskipun ia tidak menyakini sebagai bentuk ibadah yang sesuai dengan keyakinan kita.” (Al-Syarqawi II/174)

[+/-] Selengkapnya...

Tukar tanah wakaf

TUKAR TANAH WAKAF

Bagaimana hukum menukar tanah wakaf dengan tanah lain yang bukan wakaf ?

Penukaran tanah tersebut hukumnya tidak boleh.

وَلاَ يَجُوْزُ اسْتِبْدَالُ الْمَوْقُوْفِ عِنْدَنَا وَإِنْ خَرُبَ [الشرقاوي 2/178].

“Tidak boleh menukar barang wakaf, menurut ulama kita (Syafi’iyah) sekalipun sudah runtuh”. (Al-Syarqawi II/178).

 

MENGAMBIL AIR WAKAFAN

Bagaimana hukumnya mengambil air sumur lingkungan masjid oleh penduduk?

Mengambil air tersebut hukumnya boleh jika memang ada petunjuk yang memperbolehkan, seperti tidak adanya reaksi ulama sekitar.

وَسُئِلَ الْعَلاَّمَةُ الطَّنْبَدَوِيّ عَنِ الْجَوَابِي وَالْجِرَارِ الَّتِيْ عِنْدَ الْمَسَاجِدِ فِيْهَا الْمَاءُ إِذَا لَمْ يُعْلَمْ اَنَّهَا مَوْقُوْفَةٌ لِلشُّرْبِ أَوِ الْوُضُوْءِ أَوِ الْغُسْلِ الْوَاجِبِ أَوِ الْمَسْنُوْنِ أَوْ غَسْلِ النَّجَاسَةِ فَأَجَابَ أَنَّهُ إِذَا دَلَّتْ قَرِيْنَةٌ عَلَى أَنَّ الْمَاءَ مَوْضُوْعٌ لِتَعْمِيْمِ اْلإِنْتِفَاءِ جَازَ جَمِيْعُهُ مَا ذُكِرَ مِنَ الشُّرْبِ وَغَسْلِ النَّجَاسَةِ وَغُسْلِ الْجَنَابَةِ وَغَيْرِهَا وَمِثَالُ الْقَرِيْنَةِ جَرَيَانُ النَّاسِ عَلَى تَعْمِيْمِ اْلإِنْتِفَاءِ مِنْ غَيْرِ نَكِيْرٍ مِنْ فَقِيْهٍ وَغَيْرِهِ إِذِ الظَّاهِرُ مِنْ عَدَمِ النَّكِيْرِ

أَنَّهُمْ أَقْدَمُوْا عَلَى تَعْمِيْمِ اْلإِنْتِفَاءِ بِالْمَاءِ بِغُسْلٍ وَشُرْبٍ وَوُضُوْءٍ وغَسْلِ نَجَاسَةٍ فَمِثْلُ هَذَا إِيْقَاعٌ يُقَالُ بِالْجَوَازِ. وَقَالَ: إِنَّ فَتْوَى الْعَلاَّمَةِ عَبْدِ اللهِ بَا مَحْرَمَةَ يُوَافِقُ مَا ذَكَرَهُ [هامش اعانةالطالبين 3/171-172].

“Al-‘Allamah al-Thanbadawi pernah ditanya mengenai gentong dan tempayan berisikan air di beberapa masjid, bila tidak diketahui bahwa air itu diwakafkan untuk minum, wudlu, mandi wajib, mandi sunat atau mensucikan najis. Beliau menjawab: jika ada pertanda yang menunjukkan bahwa air tersebut memang disediakan untuk dipergunakan secara umum maka boleh menggunakan air tersebut untuk minum, mensucikan najis, mandi janabat dan lain sebagai-nya. Misal pertanda tersebut adalah kebiasaan masyarakat menggunakan air tersebut secara umum tanpa adanya penolakan ahli fiqh serta yang lain. Karena secara lahiriyah, tanpa adanya penolakan itu menunjukkan bahwa para pewakaf merelakan air tersebut digunakan secara umum, baik untuk mandi, minum, wudlu dan mensucikan najis. Pertanda semacam ini adalah kenyataan untuk ditetapkan-nya hukum boleh. Beliau juga berkata, bahwa fatwa Al-’Allamah Abdullah Bamahramah menyetujui apa yang telah dikemukakan tadi. (Hamisy I’anah al-Thalibin III/171-172).

[+/-] Selengkapnya...

Bongkaran masjid untuk Madrasah

BONGKARAN MASJID UNTUK MADRASAH

Bolehkah material bongkaran masjid seperti ubin dan sebagainya digunakan untuk madrasah/mushalla ?

Tidak boleh menggunakan bongkaran tersebut kecuali tidak ada masjid lain yang membutuhkan.

وَلاَ يُعَمَّرُ بِهِ غَيْرُ جِنْسِهِ كَرِبَاطٍ وَبِئْرٍ كَالْعَكْسِ إِلاَّ إِذَا تَعَذَّرَ جِنْسُهُ (قوله إِلاَّ إِذَا تَعَذَّرَ جِنْسُهُ) أَيْ فَإِنَّهُ يُعَمَّرُ بِهِ غَيْرُ الْجِنْسِ [إعانة الطالبين 3/181]

“Hasil bongkaran masjid tidak boleh digunakan untuk bangunan lain yang bukan sejenis seperti mushalla dan sumur sebagaimana sebaliknya, kecuali bila sulit ditemukan yang sejenis maka dapat digunakan untuk yang bukan sejenis. (I’anah al-Thalibin 3/181).

[+/-] Selengkapnya...

Jual bongkaran masjid

JUAL BONGKARAN MASJID

Bagaimana hukum menjual bongkaran masjid ?

Apabila barang tersebut tidak bisa dimanfaatkan dan tidak ada maslahat kecuali dijual maka boleh. Apabila barang tersebut masih bisa dimanfaatkan atau tidak ada maslahat bila dijual maka tidak boleh dijual.

وَيَجُوْزُ بَيْعُ حُصُرِ الْمَسْجِدِ الْمَوْقُوْفَةِ عَلَيْهِ إِذَا بَلِيَتْ بِأَنْ ذَهَبَ جَمَالُهَا وَنَفْعُهَا وَكَانَتِ الْمَصْلَحَةُ فِيْ بَيْعِهَا وَكَذَا جُذُوْعُهُ الْمُنْكَسِرَةُ خِلاَفًا لِجَمْعٍ فِيْهِمَا وَيُصْرَفُ ثَمَنُهَا لِمَصَالِحِ الْمَسْجِدِ إِنْ لَمْ يُمْكِنْ شِرَاءُ حَصِيْرٍ أَوْ جِذْعٍ بِهِ [هامش إعانة الطالبين 3/180].

“Diperbolehkan menjual tikar masjid yang diwaqafkan jika telah rusak, misalnya sudah pudar keindahannya dan tidak berfungsi lagi manfaatnya, bahkan merupakan kemaslahatan bila dijual. Demikian menjual tiang-tiang penyangga masjid yang patah. Lain halnya menurut segolongan ulama yang

berbeda pendapat dalam kedua masalah tersebut. Kemudian hasil penjualannya dibelanjakan untuk kepentingan masjid jika tidak memungkinkan untuk membeli tikar atau tiang yang baru”. (Hamisy I’anah al-Thalibin III/180).

[+/-] Selengkapnya...

Kerja membangun gereja

Bagaimana hukum orang Islam ikut kerja membangun gereja atau warung pramuwisma?

Haram hukumnya ikut kerja membangun gereja ataupun warung pramuwisma.

وَلاَ يَجُوْزُ بَذْلُ مَالٍ فِيْهِ لِغَيْرِ ضَرُوْرَةٍ وَمِثْلُهُ أَيْضًا اسْتِئْجَارُ كَافِرٍ مُسْلِمًا لِبِنَاءِ نَحْوِ كَنِيْسَةٍ [قليوبي

3/70].

“Tidak boleh menyerahkan uang untuk hal-hal yang diharamkan tanpa adanya dlarurat. Demikian juga tidak boleh orang kafir mempekerjakan orang Islam untuk membangun semisal gereja”. (Qalyubi III/70).

وَلاَ يَجُوْزُ اسْتِئْجَارُ الْمَغَانِيْ وَلاَ شَخْصٍ لِحَمْلِ خَمْرٍ وَنَحْوِهِ وَلاَ لِجَبْيِ الْمُكُوْسِ وَالرِّشَى وَجَمِيْعِ الْمُحَرَّمَاتِ [كفاية الأخيار 1/215].

“Tidak boleh mempekerjakan biduan. Tidak boleh pula mempekerjakan seseorang untuk membawa arak dan sejenisnya atau untuk manarik bea, suap dan segala hal yang dilarang”. (Kifayah al-Akhyar I/215).

[+/-] Selengkapnya...

Sewa pohon ambil buah

SEWA POHON AMBIL BUAH

Bagaimana hukumnya menyewa pohon untuk diambil buahnya?

Akad tersebut tidak boleh, karena barang (bukan jasa) tidak bisa dimiliki dengan akad ijarah, berbeda dengan pendapat Imam Subki yang memperbolehkannya, namun pendapat ini adalah dla’if.

فَلاَ يَصِحُّ اكْتِرَاءُ بُسْتَانٍ لِثَمْرَتِهِ لأَنَّ اْلأَعْيَانَ لاَ تُمْلَكُ بِعَقْدِ اْلإِجَ‍ارَةِ قَصْدًا وَنَقَلَ التَّاجُ السُّبْكِي فِيْ تَوْشِيْخِهِ اخْتِيَارَ وَالِدِهِ التَّقِيّ السُّبْكِيّ فِيْ آخِرِ عُمْرِهِ صِحَّةَ إِجَارَةِ اْلأَشْجَارِ لِثَمْرِهَا. (قَوْلُهُ وَنَقَلَ التَّاجُ السُّبْكِيّ الخ. ضَعِيْفٌ) [هامش إعانة الطالبين 3/114) ]

“Tidak sah menyewa kebun untuk diambil buahnya, karena tidak bisa dimiliki dengan akad tijarah, sewa, sebagai tujuan awalnya. Al-Taj al-Subki dalam sebuah ulasannya menukil pendapat orang tuanya, Al-Taqiy al-Subki, diakhir usianya yang memilih sahnya sewa pohon untuk diambil buahnya.

Kalimat ‘Al-Taj al-Subki menukil dst.’ adalah dla’if.” (Hamisy I’anah al-Thalibin III/114).

[+/-] Selengkapnya...

Jual beli kucing

JUAL BELI KUCING

Bagaimana hukum memperjual belikan kucing ?

Memperjual belikan kucing hukumnya boleh.

وَيَصِحُّ أَيْضًا بَيْعُ مَا يُنْتَفَعُ بِتَعْلِيْمِهِ كَقِرْدٍ أَوْبِصَيْدِهِ كَصَقْر وَهِرَّةٍ أفَادَ ذَلِكَ الرَّمْلِيّ [مرقاة صعود التصديق فى شرح سلم التوفيق 49]

“Sah menjual hewan yang bermanfaat, baik dengan dilatih seperti monyet atau dipergunakan untuk berburu seperti burung elang dan kucing. Keterangan ini disampaikan oleh Al-Ramli.” (Mirqah Shu’ud al-Tashdiq fi Syarh Sullam al-Taufiq 49)

[+/-] Selengkapnya...