Showing posts with label Tarih. Show all posts
Showing posts with label Tarih. Show all posts

Maskawin Pernikahan Adam dan Hawa

Sebagaimana dikisahkan dalam Al-Quran, Hadits atau Literatur, manusia pertama yang hidup di surga adalah Adam. Tentu saja semua kenikmatan diberikan kepada beliau di dalamnya agar dia betah. Digambarkan, sungguh surga adalah tempat yang amat indah dan permai, menjadi idaman setiap insan.

Demikian menurut riwayat, ketika Allah SWT selesai mencipta Alam semesta dan makhluk-makhluk lainnya, maka kemudian diciptakan-Nya  Adam Alaihissalam sebagai manusia pertama. Hamba yang dimuliakan ini kemudian ditempatkan Allah SWT di dalam surga (Jannah).

Mula-mula Adam hidup sebatang kara, tanpa  seorang kawan pun. Dia berjalan ke kiri dan ke kanan, menghadap ke langit-langit yang tinggi, ke bumi yang terhampar jauh di seberang, maka tidak ada sesuatu yang dilihatnya dari makhluk sejenisnya kecuali burung-burung yang berterbangan ke sana dan kemari, sambil berkejar-kejaran di angkasa bebas, bernyanyi-nyanyi, bersiul-siul, seolah-olah memamerkan kemesraan mereka.

Adam terpikat melihatnya. Tetapi sungguh malang, siapakah kawan yang hendak diajak berdiskusi. Dia merasa kesepian di surga. Bagai orang kebingungan tanpa pasangan yang akan diajak bermesraan, sebagaimana burung-burung yang dilihatnya.

Tiada pekerjaan yang dilakukan adam sehari-hari kecuali bermalas-malasan, bersantai berangin-angin di dalam taman surga yang permai, yang ditumbuhi oleh bermacam-macam bunga semerbak nan wangi, yang di bawahnya mengalir anak-anak sungai bercabang-cabang, yang disiram airnya  membuat pesona bagi yang melihatnya.

Apalah arti semua itu kalau hati selalu gundah , gelisah,  di dalam kesepian seorang diri? Itulah satu-satunya kekurangan yang dirasakan adam di dalam surga. Dia perlu seorang kawan pendamping  di dalam menikmati hari-hari indah di dalam surgai. Kadang kala kalau rindunya datang, turunlah dia ke bawah pohon-pohon rindang mencari hiburan, mendengarkan burung-burung bernyanyi bersahut-sahutan. Bukanya ketentraman batin yang didapat, malah menjadi lebih sedih. Keharuan yang begitu mendalam dirasakannya sebagai derita batin di balik kenikmatan yang dianugerahkan Allah SWT kepadanya.

Meski suasana membosankan itu dirasakan, tetapi Adam AS sungkan mengadukan problemnya kepada Allah SWT. Namun, Allah Maha Tahu tentang perasaan yang dipendam makhluknya. Oleh karena itu Allah Ta’ala ingin menghilangkan rasa kesepian Adam. Tapi rencana itu dilakukan dengan rahasia dan diam-diam.

Suatu hari, adam tengah duduk melamun di permadani yang mewah. Angin semilir tak henti menerpanya. Sampai-sampai rasa kantuk menyerangnya. Adam pun tertidur nyenyak. Pada saat itu Allah mulai bekerja. Sebuah informasi dikirimkan kepada malaikat Jibril AS. Diam-diam Jibril diperintahkan mencabut tulang rusuk Adam dari lambung sebelah kiri. Bagai orang yang sedang terbius adam tidak merasakan apa-apa.

Dengan tulang rusuk itu Allah menciptakan sosok Hawa. Kun Faya Kuun! Dalam sekejap Hawa telah berdiri di hadapan Allah dan Jibril. Kemudian Hawa duduk bersandar pada bantal lembut di atas tempat duduk megah yang bertahtakan emas dan permata mutu manikam. Lalu, Hawa terpesona melihat kecerahan wajah dari seorang lelaki yang sedang terbaring, tak jauh di depannya. Benih-benih asmara yang menggelombang di dalam sanubari hawa seolah-olah merupakan arus-arus tenaga listrik yang datang mengetuk kalbu Adam AS, yang langsung menerimanya sebagai mimpi yang berkesan di dalam gambaran jiwanya seketika itu.

Adam tiba-tiba terjaga. Alangkah terkejutnya dia ketika dilihatnya ada makhluk manusia seperti dirinya, hanya beberapa langkah di hadapannya. Dia seolah tak percaya pada penglihatannya. Dia masih terbaring mengusap matanya beberapa kali untuk memastikan apa yang sedang dilihatnya.

Tak kalah terkejutnya adalah hawa. Sebagai makhluk yang diciptakan lengkap dengan perasaan malu, ia segera memutar badannya sekedar menyembunyikan bukit-bukit di dadanya, seraya mengirimkan senyum manis bercampur manja, diiringi pandangan melirik dari sudut mata yang memberikan sinar harapan.

Memang, Hawa diciptakan dengan bentuk dan paras rupa yang sempurna. Dia dihiasi dengan kecantikan, kemanisan , keindahan, kejelitaan , kehalusan, kelembutan, kasih-sayang, kesucian, keibuan dan segala sifat-sifat kepribadian yang terpuji bagi seorang wanita, di samping bentuk tubuhnya yang mempesona serta memikat hati setiap yang memandangnya.dia adalah wanita tercantik yang menghiasi surga. Kelak keindahan ragawi dan ruhani itu akan diwariskan turun-temurun kepada kaum wanita di muka bumi.

Adam sendiri tak kurang gagah dan gantengnya. Tidak dijumpai cacat pada dirinya karena dia adalah satu-satunya makhluk yang dicipta oleh Allah SWT secara langsung tanpa perantara. Semua ketampanan yang diperuntukkan bagi lelaki terkumpul padanya. Ketampanan itu juga yang diwariskan turun-temurun kepada orang-orang (kaum pria) di kemudian hari sebagai anugerah Allah SWT kepada makhluk-Nya yang bergelar manusia.bahkan diriwayatkan bahwa kelak semua penduduk surga akan dibangkitkan dengan pantulan dari cahaya rupa Adam AS.

Didorong naluri yang menggebu-gebu Adam segera bangkit dari pembaringannya, memperbaiki duduknya. Dia memperhatikan dengan pandangan tajam dia sadar bahwa orang asing di depannya itu bukanlah bayangan fatamorgana. Ini benar-benar suatu kenyataan dari wujud insani yang mempunyai bentuk fisik seperti dirinya. Dia yakin kalau dirinya tidak salah pandang. Dia tahu itu manusia seperti dirinya, yang hanya berbeda kelamin saja. Kecerdasannya spontan menarik kesimpulan bahwa makhluk di depannya adalah perempuan, yang akan menjadi pasangannya, seperti halnya burung-burung yang selalu dilihatnya, yang hidup berpasangan.

Adam sadar bahwa itulah jenis yang dirindukannya. Hatinya gembira, bersyukur, bertahmid memuji Dzat maha Pencipta. Dia tersenyum kepada gadis jelita itu, yang membuatnya tersipu-sipu seraya menundukkan kepalanya dengan pandangan tak langsung, pandangan yang menyingkap apa yang terselip di kalbunya.

Sesuai dengan rencana besar Allah, kedua insan itu kemudian diresmikan dalam sebuah ikatan pernikahan. Inilah pernikahan resmi pertama yang sesuai dengan hukum Allah. Undangan segera dikirimkan. Seluruh bidadari surga berkumpul menghiasi dan menghibur mempelai perempuan itu serta membawa perhiasan-perhiasan surga. Sementara para malaikat langit berkumpul bersama-sama di bawah pohon Syajarah Thuba, yang menjadi saksi pernikahan Adam dan Hawa.

Diriwayatkan bahwa pada akad pernikahan antara adam dan hawa ini Allah SWT berfirman:” Segala puji adalah kepunyaan-Ku, segala kebesaran adalah pakaian-Ku, segala kemegahan adalah hiasan-Ku dan segala makhluk adalah hamba-Ku dan di bawah kekuasaan-Ku. Menjadi saksilah kamu hai para malaikat dan penghuni langit dan surga bahwa Aku menikahkan Hawa dengan Adam, kedua ciptaan-Ku dengan Mahar, dan hendaklah keduanya bertahlil dan bertahmid kepada-Ku!”.

Setelah akad pernikahan selesai berdatanganlah para malaikat dan para bidadari menyebarkan mutiara-mutiara yaqut dan intan-intan permata kemilau kepada kedua pengantin agung tersebut. Selesai itu Adam AS menemui mempelai Wanita di istana megah yang akan mereka diami. Tak sabar Adam ingin memeluk Hawa dan menyalurkan hasratnya. Tetapi, Hawa tampak dingin. Kata-kata yang keluar dari bibir Hawa justru menuntut haknya. Hak yang disyari’atkan Tuhan sejak semula.

“mana maharnya?” Tanya Hawa. Dia menolak bersentuhan sebelum mahar (mas kawin) dibayar terlebih dahulu. Adam AS mendadak bingung seketika. Lalu sadar bahwa untuk menerima haruslah bersedia memberi. Dia insyaf bahwa yang demikian itu haruskah menjadi kaidah pertama dalam pergaulan hidup. Pemberian pertama pada pernikahan untuk menerima kehalalan ialah Mahar. Allah sendiri pada waktu pembacaan aqad nikah telah menyebutkan kata mahar.

Tapi Adam bingung dengan kata itu, karena memang tidak memberikan apa-apa pada saat akad berlangsung. Apakah bentuk mahar yang harus diberikan? Itulah yang sedang dipikirkan Adam.

“Illahi, Rabbi! Apakah gerangan yang akan kuberikan kepadanya? Emaskah, intankah, perak atau permata?” Tanya Adam kepada Allah.

“bukan!”kata Tuhan.

“apakah hamba akan berpuasa atau shalat atau bertasbih untuk-Mu sebagai maharnya:” Tanya Adam AS penuh pengharapan.

“bukan!” tegas Allah lagi.

Adam pun terdiam, menentramkan jiwanya. Kemudian dia bermohon lagi, “kalau begitu tunjukkanlah hamba-Mu jalan keluar!”

Allah SWT berfirman, “ Mahar Hawa ialah sholawat sepuluh kali kepada nabi-Ku, nabi yang bakal kubangkitkan, yang membawa pernyataan dari sifat-sifatku: Muhammad, cincin permata dari para anbiya dan penutup serta penghulu semua Rasul. Ucapkanlah sepuluh kali!”.

Mendengar itu bathin Adam AS menjai lega. Dia lalu mengucapkan sepuluh kali sholawat atas nabi Muhammada SAW. Sebagai mahar kepada isterinya. Suatu mahar yang bernilai spiritual. Karena Nabi Muhammad SAW adalah Rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam). Hawa mendengarkannya dan menerimanya sebagai mahar.

“hai Adam, kini Aku halalkan Hawa bagimu,” perintah Allah. “dan dapatlah dia sebagai istrimu!”.

Luar biasa senangnya Adam AS. Dia bersujud syukur, lalu segera masuk ke kamar isterinya dengan ucapan salam. Hawa menyambutnya dengan segala keterbukaan dan cinta kasih yang tulus kemudian terdengar Allah SWT berfirman kepada mereka, “hai Adam diamlah engkau bersama istrimu di dalam surga dan makanlah (serta nikmatilah) apa saja yang kamu berdua ingini, dan janganlah kamu berdua mendekati pohon ini karena (apabila mendekatinya) kamu berdua akan menjadi dzalim”. (QS.Al-A’raaf: 19).

Dengan pernikahan ini Adam AS tidak lagi merasa kesepian di dalam surga. Inilah pernikahan dan percintaan pertama dalam sejarah umat manusia yang berlangsung di dalam surga yang penuh kenikmatan. Sebuah pernikahan agung yang dihadir oleh para bidadari, jin dan disaksikan oleh para malaikat. Peristiwa pernikahan Adam dan hawa terjadi pada hari jum’at, entah berapa lama keduanya berdiam di surga, hanya Allah SWT yang tahu.

Sampai kemudian Adam dan Hawa melanggar janjinya, memakan buah Khuldi. Hukuman untuk pasangan itu adalah meninggalkan surga. Lalu keduanya bermukim di bumi, menyebar luaskan keturunan yang akan mengabdi kepada Allah SWT dengan janji bahwa surga itu tetap tersedia di hari kemudian bagi hamba-hamba yang beriman dan beramal sholeh. Firman Allah SWT, “Kami berfirman: turunlah kamu dari surga itu. Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.”(QS. Al-Baqarah: 38).

Adam dan hawa diyakini sebagai manusia pertama di muka bumi. Tafsir Al-Qur’an selama ini menyebut dia diciptakan di surga bersama Hawa (Eva). Terbujuk oleh Iblis, Adam dan Hawa “diturunkan” ke bumi. Doa “Rabbanaa dhalamnaa anfusana wainlam taghfirlanaa wa tarhamnaa lanakuunannaa minal khasirin” (QS Al-A’raaf: 23) diyakini sebagai doa Adam dan Hawa yang menyesali kesalahan karena telah terbujuk Iblis.

Setelah diturunkan ke bumi. Mereka terpisah oleh jarak. Menurut legenda, Hawa diturunkan di daerah yang sekarang menjadi kota Jeddah, Saudi Arabi. “Jeddah” sendiri berarti “Nenek’ (Hawa). Legenda yang sama menyebut Adam dan Hawa bertemu kembali di Jabal Rahmah sering dijadikan symbol “Cinta” atau “Jodoh” oleh peziarah.

Adam-Hawa dikaruniai putra-putri yang lahir berpasangan. Diantaranya adalah Qabil dan Iqlima. Kemudian Habil dan labuda. Qabil sendiri bersifat kasar sedangkan Habil lembut hati. Qabil bekerja sebagai petani dan Habil peternak.atas petunjuk Allah, Adam akan menikahkan Qabil dengan Labuda, Habil dengan Iqlimatapi Qabil menolak rencana itu, karena pasangan untuknya tidak cantik. Sebab Qabil lebih menaksir dengan labuda kembarannya, yang memang sangat rupawan.

Lagi-lagi Allah memberi petunjuk. Adam kemudian menyuruh keduanya melakukan kurban. Siapa yang kurbannya diterima Allah, dia nanti yang berhak menikah dengan Labuda, Qabil mengurbankan hasil panenya yang berupa sayur, sedangkan Habil berkurban daging. Kurban-kurban itu ditaruh di puncak gunung. Ternyata korban Habil yang diterima. Tap Qabil menjadi murka. Dia kemudian membunuh Habil, dia menguburkan saudaranya itu setelah melihat burung gagak mengubur gagak lain yang mati setelah keduanya berkelahi. Riwayat ini menjadi kisah turun-temurun di kalangan arab dan yahudi yang masih ada hingga saat ini. Tapi tak disebutkan dengan pasti kapan persisinya masa hidup Adam dan hawa. Apakah dia berada pada masa sebelum atau setelah “manusia purba” seperti Homo Erectus di Hawa, Homo Pekinensis di Cina atau manusia Neanderthal di Eropa. Yang pasti kisah tentang Adam dan keluarganya memberi pelajaran tentang perlunya keteguhan manusia menghadapi godaan. Bagaimana bersikap dalam menghadapi urusan cinta, dosa, ketulusan untuk pengorbanan, juga nafsu serakah manusia. Dan juga perlu digarisbawahi bahwa membaca sholawat untuk junjungan nabi Muhammad SAW. itu bukan merupakan hal yang baru tetapi sudah dilakukan sejak nabi Adam. Kalau ada orang yang enggan bersholawat sama artinya tidak tahu sejarah asal mula manusia. “Allahumma sholli ‘alaa Muhammad…… “.

[+/-] Selengkapnya...

Category: 12 comments

Sejarah Sholawat Al barzanji

 image Al-Barzanji atau Berzanji adalah suatu do’a-do’a, puji-pujian dan penceritaan riwayat Nabi Muhammad saw yang biasa dilantunkan dengan irama atau nada. Isi Berzanji bertutur tentang kehidupan Nabi Muhammad saw yakni silsilah keturunannya, masa kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga diangkat menjadi rasul. Didalamnya juga mengisahkan sifat-sifat mulia yang dimiliki Nabi Muhammad serta berbagai peristiwa untuk dijadikan teladan umat manusia.

Nama Barzanji diambil dari nama pengarangnya, seorang sufi bernama Syaikh Ja’far bin Husin bin Abdul Karim bin Muhammad Al – Barzanji. Beliau adalah pengarang kitab Maulid yang termasyur dan terkenal dengan nama Mawlid Al-Barzanji. Karya tulis tersebut sebenarnya berjudul ‘Iqd Al-Jawahir (kalung permata) atau ‘Iqd Al-Jawhar fi Mawlid An-Nabiyyil Azhar. Barzanji sebenarnya adalah nama sebuah tempat di Kurdistan, Barzanj. Nama Al-Barzanji menjadi populer tahun 1920-an ketika Syaikh Mahmud Al-Barzanji memimpin pemberontakan nasional Kurdi terhadap Inggris yang pada waktu itu menguasai Irak.

Kitab Maulid Al-Barzanji karangan beliau ini termasuk salah satu kitab maulid yang paling populer dan paling luas tersebar ke pelosok negeri Arab dan Islam, baik Timur maupun Barat. Bahkan banyak kalangan Arab dan non-Arab yang menghafalnya dan mereka membacanya dalam acara-acara keagamaan yang sesuai. Kandungannya merupakan Khulasah (ringkasan) Sirah Nabawiyah yang meliputi kisah kelahiran beliau, pengutusannya sebagai rasul, hijrah, akhlaq, peperangan hingga wafatnya. Syaikh Ja’far Al-Barzanji dilahirkan pada hari Kamis awal bulan Zulhijjah tahun 1126 di Madinah Al-Munawwaroh dan wafat pada hari Selasa, selepas Asar, 4 Sya’ban tahun 1177 H di Kota Madinah dan dimakamkan di Jannatul Baqi`, sebelah bawah maqam beliau dari kalangan anak-anak perempuan Junjungan Nabi saw.

Sejarah Pengarang Maulid AlBarzanji

Sayyid Ja’far Al-Barzanji adalah seorang ulama’ besar keturunan Nabi Muhammad saw dari keluarga Sa’adah Al Barzanji yang termasyur, berasal dari Barzanj di Irak. Datuk-datuk Sayyid Ja’far semuanya ulama terkemuka yang terkenal dengan ilmu dan amalnya, keutamaan dan keshalihannya. Beliau mempunyai sifat dan akhlak yang terpuji, jiwa yang bersih, sangat pemaaf dan pengampun, zuhud, amat berpegang dengan Al-Quran dan Sunnah, wara’, banyak berzikir, sentiasa bertafakkur, mendahului dalam membuat kebajikan bersedekah,dan pemurah.

Nama nasabnya adalah Sayid Ja’far ibn Hasan ibn Abdul Karim ibn Muhammad ibn Sayid Rasul ibn Abdul Sayid ibn Abdul Rasul ibn Qalandar ibn Abdul Sayid ibn Isa ibn Husain ibn Bayazid ibn Abdul Karim ibn Isa ibn Ali ibn Yusuf ibn Mansur ibn Abdul Aziz ibn Abdullah ibn Ismail ibn Al-Imam Musa Al-Kazim ibn Al-Imam Ja’far As-Sodiq ibn Al-Imam Muhammad Al-Baqir ibn Al-Imam Zainal Abidin ibn Al-Imam Husain ibn Sayidina Ali r.a.

Semasa kecilnya beliau telah belajar Al-Quran dari Syaikh Ismail Al-Yamani, dan belajar tajwid serta membaiki bacaan dengan Syaikh Yusuf As-So’idi dan Syaikh Syamsuddin Al-Misri.Antara guru-guru beliau dalam ilmu agama dan syariat adalah : Sayid Abdul Karim Haidar Al-Barzanji, Syeikh Yusuf Al-Kurdi, Sayid Athiyatullah Al-Hindi. Sayid Ja’far Al-Barzanji telah menguasai banyak cabang ilmu, antaranya: Shoraf, Nahwu, Manthiq, Ma’ani, Bayan, Adab, Fiqh, Usulul Fiqh, Faraidh, Hisab, Usuluddin, Hadits, Usul Hadits, Tafsir, Hikmah, Handasah, A’rudh, Kalam, Lughah, Sirah, Qiraat, Suluk, Tasawuf, Kutub Ahkam, Rijal, Mustholah.

Syaikh Ja’far Al-Barzanji juga seorang Qodhi (hakim) dari madzhab Maliki yang bermukim di Madinah, merupakan salah seorang keturunan (buyut) dari cendekiawan besar Muhammad bin Abdul Rasul bin Abdul Sayyid Al-Alwi Al-Husain Al-Musawi Al-Saharzuri Al-Barzanji (1040-1103 H / 1630-1691 M), Mufti Agung dari madzhab Syafi’i di Madinah. Sang mufti (pemberi fatwa) berasal dari Shaharzur, kota kaum Kurdi di Irak, lalu mengembara ke berbagai negeri sebelum bermukim di Kota Sang Nabi. Di sana beliau telah belajar dari ulama’-ulama’ terkenal, diantaranya Syaikh Athaallah ibn Ahmad Al-Azhari, Syaikh Abdul Wahab At-Thanthowi Al-Ahmadi, Syaikh Ahmad Al-Asybuli. Beliau juga telah diijazahkan oleh sebahagian ulama’, antaranya : Syaikh Muhammad At-Thoyib Al-Fasi, Sayid Muhammad At-Thobari, Syaikh Muhammad ibn Hasan Al A’jimi, Sayid Musthofa Al-Bakri, Syaikh Abdullah As-Syubrawi Al-Misri.

Syaikh Ja’far Al-Barzanji, selain dipandang sebagai mufti, beliau juga menjadi khatib di Masjid Nabawi dan mengajar di dalam masjid yang mulia tersebut. Beliau terkenal bukan saja karena ilmu, akhlak dan taqwanya, tapi juga dengan kekeramatan dan kemakbulan doanya. Penduduk Madinah sering meminta beliau berdo’a untuk hujan pada musim-musim kemarau.

Historisitas Al-Barzanji tidak dapat dipisahkan dengan momentum besar perihal peringatan maulid Nabi Muhammad saw untuk yang pertama kali. Maulid Nabi atau hari kelahiran Nabi Muhammad saw pada mulanya diperingati untuk membangkitkan semangat umat Islam. Sebab waktu itu umat Islam sedang berjuang keras mempertahankan diri dari serangan tentara salib Eropa, yakni dari Prancis, Jerman, dan Inggris.

Kita mengenal itu sebagai Perang Salib atau The Crusade. Pada tahun 1099 M tentara salib telah berhasil merebut Yerusalem dan menyulap Masjidil Aqsa menjadi gereja. Umat Islam saat itu kehilangan semangat perjuangan dan persaudaraan ukhuwah. Secara politis memang umat Islam terpecah-belah dalam banyak kerajaan dan kesultanan. Meskipun ada satu khalifah tetap satu dari Dinasti Bani Abbas di kota Baghdad sana, namun hanya sebagai lambang persatuan spiritual.

Adalah Sultan Salahuddin Yusuf Al-Ayyubi -dalam literatur sejarah Eropa dikenal dengan nama Saladin, seorang pemimpin yang pandai mengena hati rakyat jelata. Salahuddin memerintah para tahun 1174-1193 M atau 570-590 H pada Dinasti Bani Ayyub- katakanlah dia setingkat Gubernur. Meskipun Salahuddin bukan orang Arab melainkan berasal dari suku Kurdi, pusat kesultanannya berada di kota Qahirah (Kairo), Mesir, dan daerah kekuasaannya membentang dari Mesir sampai Suriah dan Semenanjung Arabia. Menurut Salahuddin, semangat juang umat Islam harus dihidupkan kembali dengan cara mempertebal kecintaan umat kepada Nabi mereka. Salahuddin mengimbau umat Islam di seluruh dunia agar hari lahir Nabi Muhammad SAW, yang setiap tahun berlalu begitu saja tanpa diperingati, kini harus dirayakan secara massal.

Sebenarnya hal itu bukan gagasan murni Salahuddin, melainkan usul dari iparnya, Muzaffaruddin Gekburi yang menjadi Atabeg (setingkat Bupati) di Irbil, Suriah Utara. Untuk mengimbangi maraknya peringatan Natal oleh umat Nasrani, Muzaffaruddin di istananya sering menyelenggarakan peringatan maulid nabi, cuma perayaannya bersifat lokal dan tidak setiap tahun. Adapun Salahuddin ingin agar perayaan maulid nabi menjadi tradisi bagi umat Islam di seluruh dunia dengan tujuan meningkatkan semangat juang, bukan sekadar perayaan ulang tahun biasa.

Ketika Salahuddin meminta persetujuan dari Khalifah di Baghdad yakni An-Nashir, ternyata Khalifah setuju. Maka pada musim ibadah haji bulan Dzulhijjah 579 H / 1183 M, Salahuddin sebagai penguasa Haramain (dua tanah suci, Mekah dan Madinah) mengeluarkan instruksi kepada seluruh jemaah haji, agar jika kembali ke kampung halaman masing-masing segera menyosialkan kepada masyarakat Islam di mana saja berada, bahwa mulai tahun 580 / 1184 M tanggal 12 Rabiul Awal dirayakan sebagai hari Maulid Nabi dengan berbagai kegiatan yang membangkitkan semangat umat Islam.

Pada mulanya gagasan Salahuddin ditentang oleh para ulama. Sebab sejak zaman Nabi peringatan seperti itu tidak pernah ada. Lagi pula hari raya resmi menurut ajaran agama cuma ada dua, yaitu Idul Fitri dan Idul Adha. Akan tetapi Salahuddin kemudian menegaskan bahwa perayaan Maulid Nabi hanyalah kegiatan yang menyemarakkan syiar agama, bukan perayaan yang bersifat ritual, sehingga tidak dapat dikategorikan bid`ah yang terlarang.

Salah satu kegiatan yang di prakarsai oleh Sultan Salahuddin pada peringatan Maulid Nabi yang pertama kali tahun 1184 (580 H) adalah menyelenggarakan sayembara penulisan riwayat Nabi beserta puji-pujian bagi Nabi dengan bahasa yang seindah mungkin. Seluruh ulama dan sastrawan diundang untuk mengikuti kompetisi tersebut. Pemenang yang menjadi juara pertama adalah Syaikh Ja`far Al-Barzanji.

Ternyata peringatan Maulid Nabi yang diselenggarakan Sultan Salahuddin itu membuahkan hasil yang positif. Semangat umat Islam menghadapi Perang Salib bergelora kembali. Salahuddin berhasil menghimpun kekuatan, sehingga pada tahun 1187 (583 H) Yerusalem direbut oleh Salahuddin dari tangan bangsa Eropa, dan Masjidil Aqsa menjadi masjid kembali, sampai hari ini.

Kitab Al-Barzanji ditulis dengan tujuan untuk meningkatkan kecintaan kepada Rasulullah SAW dan meningkatkan gairah umat. Dalam kitab itu riwayat Nabi saw dilukiskan dengan bahasa yang indah dalam bentuk puisi dan prosa (nasr) dan kasidah yang sangat menarik. Secara garis besar, paparan Al-Barzanji dapat diringkas sebagai berikut: (1) Sislilah Nabi adalah: Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kitab bin Murrah bin Fihr bin Malik bin Nadar bin Nizar bin Maiad bin Adnan. (2) Pada masa kecil banyak kelihatan luar biasa pada dirinya. (3) Berniaga ke Syam (Suraih) ikut pamannya ketika masih berusia 12 tahun. (4) Menikah dengan Khadijah pada usia 25 tahun. (5) Diangkat menjadi Rasul pada usia 40 tahun, dan mulai menyiarkan agama sejak saat itu hingga umur 62 tahun. Rasulullah meninggal di Madinah setelah dakwahnya dianggap telah sempurna oleh Allah SWT.

Dalam Barzanji diceritakan bahwa kelahiran kekasih Allah ini ditandai dengan banyak peristiwa ajaib yang terjadi saat itu, sebagai genderang tentang kenabiannya dan pemberitahuan bahwa Nabi Muhammad adalah pilihan Allah. Saat Nabi Muhammad dilahirkan tangannya menyentuh lantai dan kepalanya mendongak ke arah langit, dalam riwayat yang lain dikisahkan Muhammad dilahirkan langsung bersujud, pada saat yang bersamaan itu pula istana Raja Kisrawiyah retak terguncang hingga empat belas berandanya terjatuh. Maka, Kerajaan Kisra pun porak poranda. Bahkan, dengan lahirnya Nabi Muhammad ke muka bumi mampu memadamkan api sesembahan Kerajaan Persi yang diyakini tak bisa dipadamkan oleh siapapun selama ribuan tahun.

Keagungan akhlaknya tergambarkan dalam setiap prilaku beliau sehari-hari. Sekitar umur tiga puluh lima tahun, beliau mampu mendamaikan beberapa kabilah dalam hal peletakan batu Hajar Aswad di Ka’bah. Di tengah masing-masing kabilah yang bersitegang mengaku dirinya yang berhak meletakkan Hajar Aswad, Rasulullah tampil justru tidak mengutamakan dirinya sendiri, melainkan bersikap akomodatif dengan meminta kepada setiap kabilah untuk memegang setiap ujung sorban yang ia letakan di atasnya Hajar Aswad. Keempat perwakilan kabilah itu pun lalu mengangkat sorban berisi Hajar Aswad, dan Rasulullah kemudian mengambilnya lalu meletakkannya di Ka’bah.

Kisah lain yang juga bisa dijadikan teladan adalah pada suatu pengajian seorang sahabat datang terlambat, lalu ia tidak mendapati ruang kosong untuk duduk. Bahkan, ia minta kepada sahabat yang lain untuk menggeser tempat duduknya, namun tak ada satu pun yang mau. Di tengah kebingungannya, Rasulullah saw memanggil sahabat tersebut dan memintanya duduk di sampingnya.. Tidak hanya itu, Rasul kemudian melipat sorbannya lalu memberikannya pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk. Melihat keagungan akhlak Nabi Muhammad, sahabat tersebut dengan berlinangan air mata lalu menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk, tetapi justru mencium sorban Nabi Muhammad saw tersebut.

Bacaan shalawat dan pujian kepada Rasulullah bergema saat kita membacakan Barzanji di acara peringatan maulid Nabi Mauhammad saw, Ya Nabi salâm ‘alaika, Ya Rasûl salâm ‘alaika, Ya Habîb salâm ‘alaika, ShalawatulLâh ‘alaika… (Wahai Nabi salam untukmu, Wahai Rasul salam untukmu, Wahai Kekasih salam untukmu, Shalawat Allah kepadamu…)

Kemudian, apa tujuan dari peringatan maulid Nabi dan bacaan shalawat serta pujian kepada Rasulullah? Dr. Sa’id Ramadlan Al-Bûthi menulis dalam Kitab Fiqh Al-Sîrah Al-Nabawiyyah: “Tujuannya tidak hanya untuk sekedar mengetahui perjalanan Nabi dari sisi sejarah saja. Tapi, agar kita mau melakukan tindakan aplikatif yang menggambarkan hakikat Islam yang paripurna dengan mencontoh Nabi Muhammad saw.”

Sarjana Jerman peneliti Islam, Annemarie Schimmel dalam bukunya, Dan Muhammad adalah Utusan Allah: Penghormatan terhadap Nabi saw dalam Islam (1991), , menerangkan bahwa teks asli karangan Ja’far Al-Barzanji, dalam bahasa Arab, sebetulnya berbentuk prosa. Namun, para penyair kemudian mengolah kembali teks itu menjadi untaian syair, sebentuk eulogy bagi Sang Nabi. Pancaran kharisma Nabi Muhammad saw terpantul pula dalam sejumlah puisi, yang termasyhur: Seuntai gita untuk pribadi utama, yang didendangkan dari masa ke masa.

Untaian syair itulah yang tersebar ke berbagai negeri di Asia dan Afrika, tak terkecuali Indonesia. Tidak tertinggal oleh umat Islam penutur bahasa Swahili di Afrika atau penutur bahasa Urdu di India, kita pun dapat membaca versi bahasa Indonesia dari syair itu, meski kekuatan puitis yang terkandung dalam bahasa Arab kiranya belum sepenuhnya terwadahi dalam bahasa kita sejauh ini.

Secara sederhana kita dapat mengatakan bahwa karya Ja’far Al-Barzanji merupakan biografi puitis Nabi Muhammad saw. Dalam garis besarnya, karya ini terbagi dua: ‘Natsar’ dan ‘Nadhom’. Bagian Natsar terdiri atas 19 sub bagian yang memuat 355 untaian syair, dengan mengolah bunyi “ah” pada tiap-tiap rima akhir. Seluruhnya menurutkan riwayat Nabi Muhammad saw, mulai dari saat-saat menjelang beliau dilahirkan hingga masa-masa tatkala paduka mendapat tugas kenabian. Sementara, bagian Nadhom terdiri atas 16 sub bagian yang memuat 205 untaian syair, dengan mengolah rima akhir “nun”.

Dalam untaian prosa lirik atau sajak prosaik itu, terasa betul adanya keterpukauan sang penyair oleh sosok dan akhlak Sang Nabi. Dalam bagian Nadhom misalnya, antara lain diungkapkan sapaan kepada Nabi pujaan” Engkau mentari, Engkau rebulan dan Engkau cahaya di atas cahaya“.

Di antara idiom-idiom yang terdapat dalam karya ini, banyak yang dipungut dari alam raya seperti matahari, bulan, purnama, cahaya, satwa, batu, dan lain-lain. Idiom-idiom seperti itu diolah sedemikian rupa, bahkan disenyawakan dengan shalawat dan doa, sehingga melahirkan sejumlah besar metafor yang gemilang. Silsilah Sang Nabi sendiri, misalnya, dilukiskan sebagai “Untaian Mutiara”.

Betapapun, kita dapat melihat teks seperti ini sebagai tutur kata yang lahir dari perspektif penyair. Pokok-pokok tuturannya sendiri, terutama menyangkut riwayat Sang Nabi, terasa berpegang erat pada Alquran, hadist, dan sirah nabawiyyah. Sang penyair kemudian mencurahkan kembali rincian kejadian dalam sejarah ke dalam wadah puisi, diperkaya dengan imajinasi puitis, sehingga pembaca dapat merasakan madah yang indah.

Salah satu hal yang mengagumkan sehubungan dengan karya Ja’far Al-Barzanji adalah kenyataan bahwa karya tulis ini tidak berhenti pada fungsinya sebagai bahan bacaan. Dengan segala potensinya, karya ini kiranya telah ikut membentuk tradisi dan mengembangkan kebudayaan sehubungan dengan cara umat Islam diberbagai negeri menghormati sosok dan perjuangan Nabi Muhammad saw.

Kitab Maulid Al-Barzanji ini telah disyarahkan oleh Al-’Allaamah Al-Faqih Asy-Syaikh Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ahmad yang terkenal dengan panggilan Ba`ilisy yang wafat tahun 1299 H dengan satu syarah yang memadai, cukup elok dan bermanfaat yang dinamakan ‘Al-Qawl Al-Munji ‘ala Mawlid Al-Barzanji’ yang telah banyak kali diulang cetaknya di Mesir.

Di samping itu, telah disyarahkan pula oleh para ulama kenamaan umat ini. Antara yang masyhur mensyarahkannya ialah Syaikh Muhammad bin Ahmad ‘Ilyisy Al-Maaliki Al-’Asy’ari Asy-Syadzili Al-Azhari dengan kitab ’Al-Qawl Al-Munji ‘ala Maulid Al-Barzanji’. Beliau ini adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif, bermazhab Maliki lagi Asy`ari dan menjalankan Thoriqah Asy-Syadziliyyah. Beliau lahir pada tahun 1217 H / 1802M dan wafat pada tahun 1299 H / 1882M.

Ulama kita kelahiran Banten, Pulau Jawa, yang terkenal sebagai ulama dan penulis yang produktif dengan banyak karangannya, yaitu Sayyidul Ulamail Hijaz, An-Nawawi Ats-Tsani, Syaikh Muhammad Nawawi Al-Bantani Al-Jawi turut menulis syarah yang lathifah bagi Maulid al-Barzanji dan karangannya itu dinamakannya ‘Madaarijush Shu`uud ila Iktisaail Buruud’. Kemudian, Sayyid Ja’far bin Sayyid Isma`il bin Sayyid Zainal ‘Abidin bin Sayyid Muhammad Al-Hadi bin Sayyid Zain yang merupakan suami kepada satu-satunya anak Sayyid Ja’far al-Barzanji, juga telah menulis syarah bagi Maulid Al-Barzanj tersebut yang dinamakannya ‘Al-Kawkabul Anwar ‘ala ‘Iqdil Jawhar fi Maulidin Nabiyil Azhar’. Sayyid Ja’far ini juga adalah seorang ulama besar keluaran Al-Azhar Asy-Syarif. Beliau juga merupakan seorang Mufti Syafi`iyyah. Karangan-karangan beliau banyak, antaranya: “Syawaahidul Ghufraan ‘ala Jaliyal Ahzan fi Fadhaail Ramadhan”, “Mashaabiihul Ghurar ‘ala Jaliyal Kadar” dan “Taajul Ibtihaaj ‘ala Dhauil Wahhaaj fi Israa` wal Mi’raaj”. Beliau juga telah menulis sebuah manaqib yang menceritakan perjalanan hidup dan ketinggian nendanya Sayyid Ja’far Al-Barzanji dalam kitabnya “Ar-Raudhul A’thar fi Manaqib As-Sayyid Ja’far”.

Kitab Al-Barzanji dalam bahasa aslinya (Arab) dibacakan dalam berbagai macam lagu; rekby (dibaca perlahan), hejas (dibaca lebih keras dari rekby ), ras (lebih tinggi dari nadanya dengan irama yang beraneka ragam), husein (memebacanya dengan tekanan suara yang tenang), nakwan membaca dengan suara tinggi tapi nadanya sama dengan nada ras, dan masyry, yaitu dilagukan dengan suara yang lembut serta dibarengi dengan perasaan yang dalam

Di berbagai belahan Dunia Islam, syair Barzanji lazimnya dibacakan dalam kesempatan memeringati hari kelahiran Sang Nabi. Dengan mengingat-ingat riwayat Sang Nabi, seraya memanjatkan shalawat serta salam untuknya, orang berharap mendapat berkah keselamatan, kesejahteraan, dan ketenteraman. Sudah lazim pula, tak terkecuali di negeri kita, syair Barzanji didendangkan – biasanya, dalam bentuk standing ovation – dikala menyambut bayi yang baru lahir dan mencukur rambutnya.

Pada perkembangan berikutnya, pembacaan Barzanji dilakukan di berbagai kesempatan sebagai sebuah pengharapan untuk pencapaian sesuatu yang lebih baik. Misalnya pada saat kelahiran bayi, upacara pemberian nama, mencukur rambut bayi, aqiqah, khitanan, pernikahan, syukuran, kematian (haul), serta seseorang yang berangkat haji dan selama berada disana. Ada juga yang hanya membaca Barzanji dengan berbagai kegiatan keagamaan, seperti penampilan kesenian hadhrah, pengumuman hasil berbagai lomba, dan lain-lain, dan puncaknya ialah mau’idhah hasanah dari para muballigh atau da’i.

Kini peringatan Maulid Nabi sangat lekat dengan kehidupan warga Nahdlatul Ulama (NU). Hari Senin tanggal 12 Rabi’ul Awal kalender hijriyah (Maulud). Acara yang disuguhkan dalam peringatan hari kelahiran Nabi ini amat variatif, dan kadang diselenggarakan sampai hari-hari bulan berikutnya, bulan Rabius Tsany (Bakda Mulud). Ada yang hanya mengirimkan masakan-masakan spesial untuk dikirimkan ke beberapa tetangga kanan dan kiri, ada yang menyelenggarakan upacara sederhana di rumah masing-masing, ada yang agak besar seperti yang diselenggarakan di mushala dan masjid-masjid, bahkan ada juga yang menyelenggarakan secara besar-besaran, dihadiri puluhan ribu umat Islam.

Para ulama NU memandang peringatan Maulid Nabi ini sebagai bid’ah atau perbuatan yang di zaman Nabi tidak ada, namun termasuk bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) yang diperbolehkan dalam Islam. Banyak memang amalan seorang muslim yang pada zaman Nabi tidak ada namun sekarang dilakukan umat Islam, antara lain: berzanjen, diba’an, yasinan, tahlilan (bacaan Tahlilnya, misalnya, tidak bid’ah sebab Rasulullah sendiri sering membacanya), mau’idhah hasanah pada acara temanten dan mauludan.

Dalam ‘Madarirushu’ud Syarhul’ Barzanji dikisahkan, Rasulullah SAW bersabda: “Siapa menghormati hari lahirku, tentu aku berikan syafa’at kepadanya di hari kiamat.” Sahabat Umar bin Khattab secara bersemangat mengatakan: “Siapa yang menghormati hari lahir Rasulullah sama artinya dengan menghidupkan Islam!”

Sumber : http://pencarisyafaat.blogspot.com/

[+/-] Selengkapnya...

Dokumen Surat Asli Nabi Muhammad Kepada Para Raja

Setelah Perjanjian Hudaibiyyah Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam memiliki kesempatan untuk berdakwah yang lebih luas. Beliau mengirimkan banyak surat kepada pembesar di berbagai negeri menyeru mereka kepada Islam.

Berikut ini adalah kisah tiga orang raja yang berbeda reaksinya ketika menerima surat dari Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam. Perbedaan reaksi ini berakibat pada perbedaan nasib yang mereka alami.
Mari kita mulai perjalanan wisata kita ke tiga negeri untuk menemui tiga orang raja.

1- Surat Nabi saw untuk Raja Negus (Penguasa Ethiopia)


Isi surat:
Dari Muhammad utusan Islam untuk An-Najasyi, penguasa Abyssinia (Ethiopia). Salam bagimu, sesungguhnya aku bersyukur kepada Allah yang tidak ada Tuhan kecuali Dia, Raja, Yang Maha Suci, Yang Maha Sejahtera, Yang Mengaruniakan keamanan, Yang Maha Memelihara, dan aku bersaksi bahwa Isa putra Maryam adalah ruh dari Allah yang diciptakan dengan kalimat Nya yang disampaikan Nya kepada Maryam yang terpilih, baik dan terpelihara. Maka ia hamil kemudian diciptakan Isa dengan tiupan ruh dari-Nya sebagaimana diciptakan Adam dari tanah dengan tangan Nya. Sesungguhnya aku mengajakmu ke jalan Allah. Dan aku telah sampaikan dan menasihatimu maka terimalah nasihatku. Dan salam bagi yang mengikuti petunjuk.
Ketika Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam menulis surat kepada An-Najasyi yakni Ashhamah bin Al-Abjar dan menyerunya kepada Islam. Raja An-Najasyi mengambil surat itu, beliau lalu meletakkan ke wajahnya dan turun dari singgasana. Beliaupun masuk Islam melalui Ja’far bin Abi Tholib radiyallahu ‘anhu.
Beliau lalu mengirimkan surat kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam dan menyebutkan tentang keislamannya.
Raja An-Najasyi akhirnya meninggal dunia pada bulan Rajab tahun ke-9 Hijriyyah. Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam memberitakan hal itu pada hari wafatnya lalu melakukan shalat ghaib untuknya. Beliau juga mengabarkan bahwa Raja An-Najasyi kelak akan masuk surga.

2- Surat Nabi saw untuk Raja Heraclius (Kaisar Romawi)


Isi surat:
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad utusan Allah untuk Heraclius Kaisar Romawi yang agung. Salam bagi siapa yang mengikuti petunjuk. Salain dari pada itu, sesungguhnya aku mengajak kamu untuk memeluk Islam. Masuklah kamu ke agama Islam maka kamu akan selamat dan peluklah agama Islam maka Allah memberikan pahalah bagimu dua kali dan jika kamu berpaling maka kamu akan menanggung dosa orang orang Romawi. “Katakanlah: Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan selain Allah. Jika mereka berpaling maka katakanlah kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa kami adalah orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”. Al-Imron 64
Ketika Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam mengirim surat kepada Kaisar Heraklius dan menyerukan kepada Islam. Pada waktu itu Kaisar sedang merayakan kemenangannya atas Negeri Persia.
Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam telah mengirim Dihyah bin Khalifah Al-Kalby sebagai utusan kepada Kaisar Heraklius penguasa Kekaisaran Romawi, negara adi daya pada masa itu. Sang Kaisar pun berkeinginan untuk melakukan penelitian guna memeriksa kebenaran kenabian Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam. Maka beliau memerintahkan untuk mendatangkan seseorang dari Bangsa Arab ke hadapannya.
Abu Sufyan rodhiyaullahu ‘anhu, waktu itu masih kafir, dan rombongannya segera dihadirkan di hadapan Kaisar. Beliau diminta berdiri paling depan sebagai juru bicara karena memiliki nasab yang paling dekat dengan Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam. Rombongan yang lain berdiri di belakangnya sebagai saksi, sehingga beliau tidak berani berbohong. Itulah strategi Kaisar untuk mendapatkan keterangan yang valid.
Maka berlangsunglah dialog yang panjang antara Kaisar dengan Abu Sufyan rodhiyaullahu ‘anhu. Kaisar Heraklius adalah seorang yang cerdas dengan pengetahuan yang luas. Beliau bertanya dengan taktis dan mengarahkannya kepada ciri seorang nabi. Abu Sufyan rodhiyaullahu ‘anhu juga seorang yang cerdas dan bisa membaca arah pertanyaan Sang Kaisar. Namun beliau dipaksa berkata benar walaupun berusaha memberi sedikit bias.
Hasil Penelitian
Di akhir dialog Sang Kaisar mengutarakan pendapatnya. Inilah ciri-ciri seorang nabi menurut pandangannya dan sebagaimana telah dia baca di dalam Injil. Ternyata semua ciri yang tersebut ada pada diri Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam.
Nasab
Para Rasul diutus dalam keadaan memiliki nasab-nasab yang baik pada kaumnya. Yaitu dari keluarga yang terhormat dan memiliki kedudukan yang tinggi. Semacam tokoh masyarakat.
Ajaran baru
Tidak ada seorangpun sebelum dia yang mengatakan perkataan seperti itu (yakni ajaran Islam). Seandainya telah ada yang mengatakan sebelumnya, maka dia hanyalah orang yang meniru-niru perkataan yang pernah dikatakan oleh orang sebelumnya. Kalau istilah sekarang : hanya copy paste.
Perintah rasul
Rasul memerintahkan untuk beribadah kepada Allah, tidak melakukan kesyirikan kepada-Nya dengan sesuatupun, serta melarang untuk beribadah kepada para berhala. Rasul memerintahkan untuk mengerjakan shalat, membayar zakat, dan menjaga kehormatan diri.
Inilah benang merah dakwah seluruh rasul. TAUHID.
Bukan keturunan raja
Tidak ada dari ayah dan kakek-kakeknya yang menjadi raja. Seandainya ada tentu dia hanya orang yang menginginkan tahta dari ayah dan kakeknya. Hanya menginginkan sesuatu yang masih bersifat duniawi. Sedangkan para rasul sangat jauh dari hal-hal semacam ini.
Bukan pendusta
Orang yang tidak meninggalkan tindakan dusta atas nama manusia, ia akan berdusta atas nama Allah. Orang yang berdusta akan melakukan apa saja untuk mendukung kedustaannya termasuk bersumpah atas nama Allah.
Bukan penipu
Para rasul tidak pernah menipu. Apalagi menipu untuk kepentingan pribadi yang bersifat duniawi. Seorang rasul tidak butuh kepada dunia kecuali sekadar untuk mendukung dakwah yang diembannya.
Pengikut
Pengikut para rasul adalah orang-orang lemah dan jumlah mereka terus bertambah. Tidak ada di antara pengikutnya yang murtad karena kesal dengan agamanya. Demikianlah keimanan ketika telah bercampur sifat kelapangannya dengan hati.
Kesimpulan
Kaisar Heraklius telah mengetahui tentang Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam dan membenarkan kenabian beliau dengan pengetahuan yang lengkap. Akan tetapi ia dikalahkan rasa cintanya atas tahta kerajaan, sehingga ia tidak menyatakan keislamannya. Ia mengetahui dosa dirinya dan dosa dari rakyatnya sebagaimana telah dijelaskan oleh Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam.
Dengan kecerdasan dan keluasan ilmunya Kaisar bisa mengetahui kebenaran kenabian Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam. Bahkan Kaisar menyatakan :
“Dia (maksudnya Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam) kelak akan mampu menguasai wilayah yang dipijak oleh kedua kakiku ini.”
Sedang saat itu Kaisar sedang dalam perjalanan menuju Baitul Maqdis.
Abu Sufyan rodhiyaullahu ‘anhu menceritakan dialog ini setelah masuk Islam dengan keislaman yang sangat baik, sehingga hadits ini diterima.
Kaisar lalu memuliakan Dihyah bin Khalifah Al-Kalby dengan menghadiahkan sejumlah harta dan pakaian.
Kaisar memuliakan surat dari Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam namun masih lebih mencintai tahtanya. Akibatnya adalah di dunia Allah Subhanahu wa Ta’ala memanjangkan kekuasaannya. Namun dia harus mempertanggungjawabkan kekafirannya di akhirat kelak.
3- Surat Nabi saw untuk Raja Khosrau II (Penguasa Persia)



Isi surat:

Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Dari Muhammad utusan Allah untuk Khosrau, penguasa Persia yang agung. Salam bagi orang yang mengikuti petunjuk, beriman kepada Allah dan RasulNya, dan bagi orang yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan kecuali Allah, Esa, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan bagi yang bersaksi bawha Muhammad itu hamba Nya dan utusan Nya. Aku mengajakmu kepada panggilan Allah sesungguhnya aku adalah utusan Allah bagi seluruh manusia supaya aku memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir. Peluklah agama Islam maka kamu akan selamat. Jika kamu menolak maka kamu akan menanggung dosa orang orang Majusi.

Ketika Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam mengirim surat kepada Kisra Abrawaiz raja dari Negeri Persia dan menyerunya kepada Islam. Namun ketika surat itu dibacakan kepada Kisra, iapun merobeknya sambil berkata, ”Budak rendahan dari rakyatku menuliskan namanya mendahuluiku.
Ketika berita tersebut sampai kepada Rasulullah sholallahu ‘alaihi wasallam, beliaupun mengatakan, ”Semoga Allah mencabik-cabik kerajaannya.”
Doa tersebut dikabulkan. Persia akhirnya kalah dalam perang menghadapi Romawi dengan kekalahan yang menyakitkan. Kemudian iapun digulingkan oleh anaknya sendiri yakni Syirawaih. Ia dibunuh dan dirampas kekuasaannya.
Seterusnya kerajaan itu kian tercabik-cabik dan hancur sampai akhirnya ditaklukkan oleh pasukan Islam pada jaman Khalifah Umar bin Khaththab radiyallahu ‘anhu hingga tidak bisa lagi berdiri. Selain itu Kisra masih harus mempertanggung-jawabkan kekafirannya di akhirat kelak.


Sumber : Majelis Fathulhidayah

http://pencarisyafaat.blogspot.com

[+/-] Selengkapnya...

Category: 0 comments

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Sikap Rasulullah Terhadap Istri

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Sikap Rasulullah Terhadap Istri

 

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Sikap Rasulullah Terhadap Istri

REPUBLIKA.CO.ID, Kecemburuan yang terjadi di antara para istri Rasulullah wajar terjadi. Beliau telah memberi tempat dan kedudukan kepada istri-istrinya sedemikian rupa, suatu hal yang tidak pernah dikenal di kalangan Arab.
Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Umar bin Khathab pernah berkata, "Sungguh, kalau kami dalam zaman jahiliyah, wanita-wanita tidak lagi kami hargai. Kami menghargai mereka setelah Allah memberikan ketentuan tentang mereka dan memberikan pula hak kepada mereka."
Suatu ketika, saat Umar sedang dalam suatu urusan tiba-tiba istrinya berkata, "Coba kau berbuat begini atau begitu."
"Ada urusan apa engkau di sini, dan perlu apa engkau dengan urusanku!" kata Umar dengan nada tinggi.
Istrinya membalas, "Aneh sekali engkau, Umar. Engkau tidak mau ditentang, padahal putrimu menentang Rasulullah SAW sehingga beliau gusar sepanjang hari."
Umar kemudian mengambil mantelnya, lalu keluar menemui putrinya, Hafshah. "Anakku," kata Umar, "Engkau menentang Rasulullah SAW sampai beliau merasa  gusar sepanjang hari?"
Hafshah menjawab, "Memang kami menentangnya."
"Engkau harus tahu, anakku. Kuperingatkan engkau, jangan terpedaya. Orang telah terpesona oleh kecantikannya sendiri dan mengira cinta Rasulullah SAW hanya  karenanya." 
Kemudian Umar pergi menemui Ummu Salamah, karena mereka masih berkerabat. Dia ingin membicarakan masalah Hafshah. Ummu Salamah berkata, "Aneh sekali engkau, Umar! Engkau sudah ikut campur dalam segala hal, sampai-sampai mau mencampuri urusan Rasulullah SAW dan rumah tangganya!' 
Umar tak mampu berkata-kata. Ia pun kemudian pergi.
Muslim dalam Shahih-nya menyebutkan bahwa Abu Bakar pernah meminta izin kepada Nabi akan menemuinya dan setelah diizinkan ia pun masuk, kemudian datang Umar meminta izin dan masuk pula setelah diberi izin. 
Mereka menjumpai Nabi SAW sedang duduk dalam keadaan masygul di tengah-tengah para istrinya yang juga sedang masygul dan diam. Ketika itu Umar berkata, "Saya akan mengatakan sesuatu yang akan membuat Nabi SAW tertawa." Lalu kata Umar, "Wahai Rasulullah, jika engkau melihat Binti Kharijah—istri Umar—meminta uang belanja kepadaku, maka aku bangun dan meninju lehernya."
Maka Rasulullah pun tertawa, seraya berkata, "Mereka itu sekarang di sekelilingku meminta uang belanja!"
Ketika itu Abu Bakar lalu menghampiri Aisyah dan meninju lehernya, demikian juga Umar, ia menghampiri Hafshah dan meninjunya, sambil berkata, "Kalian meminta sesuatu yang tidak ada pada Rasulullah SAW!"
Mereka pun menjawab: "Demi Allah, kami sama sekali tidak minta kepada Rasullullah, sesuatu yang tidak dipunyainya."
Sebenarnya, Abu Bakar dan Umar waktu itu menemui Nabi, karena beliau tidak tampak keluar waktu shalat. Karena itu kaum Muslimin bertanya-tanya, ada apa    gerangan yang menghalangi.
Dalam peristiwa Abu Bakar dan Umar dengan Aisyah dan Hafshah inilah turun firman Allah: "Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: "Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut'ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridhaan) Allah dan Rasulnya-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar." (QS Al-Ahzab: 28-29)
Nabi telah memberi kedudukan kepada istri-istrinya, sedang sebelum itu—seperti wanita-wanita Arab lainnya—mereka tidak pernah mendapat penghargaan orang. Jadi wajar jika sikap mereka kini agak berlebih-lebihan dalam menggunakan kebebasan, suatu hal yang tidak pernah dialami oleh sesama kaum wanita.
Sampai-sampai ada di antara mereka yang menentang Nabi dan membuat Nabi gusar sepanjang hari. Beliau sudah berusaha menghindarkan diri dari mereka, meninggalkan mereka, supaya kasih sayang beliau kepada mereka tidak sampai membuat tingkah laku mereka tambah melampaui batas. Bahkan ada dari mereka yang mengeluarkan rasa cemburunya dengan cara yang tidak layak.

 

Sumber :http://www.republika.co.id

[+/-] Selengkapnya...

Category: 0 comments

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Teladan dalam Rumah Tangga Rasulullah

 

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Teladan dalam Rumah Tangga Rasulullah

Sejarah Hidup Muhammad SAW: Teladan dalam Rumah Tangga Rasulullah

REPUBLIKA.CO.ID, Umar kemudian pergi ke masjid, dan dengan suara lantang ia berkata kepada kaum Muslimin, "Rasulullah SAW tidak menceraikan isterinya."
Sehubungan dengan peristiwa ini, turun ayat-ayat suci ini: "Hai Nabi, mengapa kamu mengharamkan apa yang Allah halalkan bagimu; kamu mencari kesenangan hati istri-istrimu? Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepadamu sekalian membebaskan diri dari sumpahmu dan Allah adalah Pelindungmu dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana." (QS At-Tahrim: 1-2)
"Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang istrinya (Hafsah) suatu peristiwa. Maka tatkala (Hafsah) menceritakan peristiwa itu (kepada Aisyah) dan Allah memberitahukan hal itu (pembicaraan Hafsah dan Aisyah) kepada Muhammad lalu Muhammad memberitahukan sebagian (yang diberitakan Allah kepadanya) dan menyembunyikan sebagian yang lain (kepada Hafsah). Maka tatkala (Muhammad) memberitahukan pembicaraan (antara Hafsah dan Aisyah) lalu (Hafsah) bertanya: "Siapakah yang telah memberitahukan hal ini kepadamu?" Nabi menjawab: "Telah diberitahukan kepadaku oleh Allah yang Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."
"Jika kamu berdua bertaubat kepada Allah, maka sesungguhnya hati kamu berdua telah condong (untuk menerima kebaikan); dan jika kamu berdua bantu-membantu menyusahkan Nabi, maka sesungguhnya Allah adalah Pelindungnya dan (begitu pula) Jibril dan orang-orang mukmin yang baik; dan selain dari itu malaikat-malaikat adalah penolongnya pula."
"Jika Nabi menceraikan kamu, boleh jadi Tuhannya akan memberi ganti kepadanya dengan istri yang lebih baik daripada kamu, yang patuh, yang beriman, yang taat, yang bertaubat, yang mengerjakan ibadat, yang berpuasa, yang janda dan yang perawan."
(QS At-Tahrim: 3-6)
Dengan demikian peristiwa itu selesai. Istri-istri Nabi kembali sadar, dan beliau pun kembali kepada mereka setelah mereka benar-benar bertaubat, menjadi manusia yang rendah hati beribadah dan beriman. Kehidupan rumah tangganya sekarang kembali tenang, yang memang demikian diperlukan oleh setiap manusia yang sedang melaksanakan suatu beban besar yang ditugaskan kepadanya.
Apabila orang itu orang besar seperti Muhammad SAW, lemah-lembut  seperti beliau,  berlapang dada, tahan menderita, orang berwatak dengan segala sifat-sifat yang ada padanya—yang sudah disepakati dan diakui pula oleh semua penulis sejarah Hidupnya—maka menggambarkan salah satu dari kedua peristiwa itu an sich sebagai sebab ia memisahkan diri dan mengancam hendak menceraikan istri, adalah suatu   hal yang kebalikannya, jauh daripada suatu cara kritik sejarah.
Sebaliknya, kritik yang akan dapat diterima orang dan sejalan pula dengan logika sejarah ialah apabila peristiwa-peristiwa itu mengikuti jejak yang sebenarnya, yang akan membawa kepada kesimpulan-kesimpulan yang sudah pasti tidak bisa lain akan ke sana. Maka dengan demikian ia akan menjadi masalah biasa, masuk akal dan secara ilmiah dapat diterima.
Ada beberapa orientalis yang juga bicara tentang ayat-ayat yang turun pada permulaan surah At-Tahrim seperti di atas. Disebutkan bahwa semua kitab suci di Timur tidak ada yang menyebut-nyebut peristiwa rumah tangga dengan cara semacam itu.
Rasanya tidak perlu kita mengatakan lagi apa yang tersebut dalam kitab-kitab suci itu semua—termasuk Alquran di antaranya tentang masyarakat Luth dengan segala cacat mereka. Bahkan Taurat (Perjanjian Lama) membawa cerita tentang Luth dan dua anaknya yang perempuan ketika mereka memberikan minuman anggur kepada bapaknya sehingga dua malam berturut-turut ia mabuk, dengan maksud supaya dapat masing-masing mereka dapat tidur dengan Luth dan dengan demikian mereka memperoleh keturunan—karena khawatir keluarga Luth kelak akan punah, setelah  Tuhan menurunkan bencana. Oleh sebab itu, maka semua kitab suci membuat kisah-kisah para rasul serta apa yang mereka lakukan dan segala apa yang terjadi, ialah sebagai suri teladan bagi umat manusia.
Banyak sekali kisah-kisah demikian dalam Alquran. Tuhan menyampaikan kisah-kisah yang baik sekali kepada Rasulullah. Sedang Alquran bukan hanya diturunkan kepada Nabi Muhammad, melainkan kepada seluruh umat manusia. Muhammad SAW adalah seorang nabi dan rasul, sebelum dia pun telah banyak rasul-rasul lain yang dibawakan kisahnya dalam Alquran.
Jika Qur'an menyampaikan berita-berita tentang Muhammad SAW dan menyangkut  pula kehidupan pribadinya yang perlu menjadi contoh buat kaum Muslimin dan teladan yang baik pula, serta memberi isyarat tentang arti dalam tindakan dan kebijaksanaannya itu, maka kisah-kisah para nabi  yang terdapat dalam Alquran itu sama sekali tidak berarti keluar daripada apa yang terdapat dalam kitab-kitab  suci  lain.
Apabila kita mengatakan bahwa masalah Muhammad SAW meninggalkan istrinya itu bukan sebab yang berdiri sendiri di samping sebab-sebab lain yang telah menimbulkan cerita itu, juga bukan karena Hafshah bercerita kepada Aisyah tentang apa yang dilakukan Nabi dengan Maria—suatu hal yang memang patut dilakukan oleh setiap laki-laki terhadap istrinya atau siapa saja yang sah menjadi miliknya—orang akan melihat, bahwa tinjauan yang dikemukakan oleh beberapa orientalis itu,  dari segi kritik sejarah sama sekali tidak dapat dibenarkan. Juga tidak pula sejalan dengan apa yang ada dalam kitab-kitab suci sehubungan dengan kisah-kisah dan kehidupan para nabi itu.

Sumber: http://www.republika.co.id/

[+/-] Selengkapnya...

Category: 0 comments

Maulid Nabi Muhammad Rasulullah (4)

MUH Renovasi Ka’bah dan Pengambilan Keputusan

Dikala usia Nabi tiga puluh lima tahun, orang_orang Quraisy sepakat untuk merenovasi Ka’bah, karena Ka’bah itu berupa susunan batu_batu, lebih tinggi dari badan manusia, tepatnya sembilan hasta yang dibangun sejak masa Isma’il, tanpa ada atapnya, sehingga banyak pencuri yang suka mengambil barang_barang ber-harga yang tersimpan di dalamnya. Lima tahun sebelum kenabian, kota Makkah dilanda banjir besar hingga meluap ke Baitul Haram, sehingga sewaktu_waktu bisa membuat Ka’bah menjadi runtuh. Dan kondisi seperti itu membuat bangun-an Ka’bah semangkin rapuh dan dinding_dindingnya pun sudah pecah_pecah. Sementara itu, orang_orang Quraisy dihinggapi rasa bimbang antara merenovasi dan membiarkannya apa adanya. Namun akhirnya mereka sepakat untuk tidak memasukan bahan –bahan bangunannya kecuali yang baik-baik. Mereka tidak menerima masukan dari maskawin dari para pelacur, jual beli dengan sistem riba dan perampasan terhadap harta orang lain. Sekalipun begitu mereka merasa takut untuk merobohkannya. Akhirnya Al_Walid bin Mughirah Al_Makhzumy mengawali perobohan bangunan Ka’bah, lalu diikuti oleh semua orang, setelah tahu tidak ada sesuatu pun yang menimpa Al_Walid. Mereka terus bekerja merobohkan setiap bangunan Ka’bah, hingga sampai rukun Ibrahim. Setelah itu mereka siap membangunnya kembali.

Mereka membagi sudut-sudut kabbah dan mengkhususkan setiap kabilah dengan bagiannya sendiri-sandiri. Setiap kabilah mengumpulkan batu-batu yang baik dan mulai membangun. Yang bertugas menangani urusan pembangunan Kabbah ini adalah seorang arsitek berkebangsaan Romawi yang bernama Baqum – nama aslinya adalah Pachomius.

Takkala pembangunan sudah sampai dibagian Hajar Aswad, mereka saling berselisih tentang siapa yang berhak mendapat kehormatan meletakan Hajar Aswad itu di tempatnya semula. Perselisihan ini terus berlanjut selama 4 atau 5 hari, tanpa ada keputusan. Bahkan perselisihan itu semakin meruncing dan hampir saja menjurus kepada pertumpahan darah di Tanah suci. Abu Ummayyah bin Al_Mughiroh Al_Makhzumy tampil dan menawarkan jalan keluar dari perselisihan di antara mereka, dengan menyerahkan urusan ini kepada siapa pun yang pertama kali masuk lewat pintu masjid. Mereka menerima cara ini. Allah menghendaki orang yang berhak tersebut adalah Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala mengetahui hal ini,  mereka berbisik_bisik, “Inilah Al_Amin. Kami ridho kepadanya. Inilah dia Muhammad.”

Setelah mereka semua berkumpul di sekitar beliau dan mengabarkan apa yang harus beliau lakukan, maka beliau meminta sehelai selendang, lalu beliau meletakkan Hajar Aswad tepat di tengah_tengah selendang, lalu meminta pemuka-pemuka kabilah yang saling berselisih untuk memegang ujung_ujung selendang, lalu memerintahkan mereka secara bersama_sama mengangkatnya. Setelah mendekati tempatnya, beliau mengambil Hajar Aswad dan meletakkan-nya di tempat semula. Ini merupakan cara pemecahan yang sangat jitu dan diri-dhai semua orang.

Orang-orang Quraisy kehabisan dana dari penghasilan yang baik. Maka mereka menyisahkan dibagian utara, kira_kira enam hasta, yang kemudian di sebut Al_Hijr atau Al Hathim. Mereka membuat pintunya lebih tinggi dari permukaan tanah agar tidak bisa di masuki kecuali oleh orang_orang yang memang ingin melewatinya. Setelah bangunan Ka’bah mencapai ketinggian lima belas hasta mereka memasang atap dengan di sanggah enam sendi.

Setelah jadi, Ka’bah itu berbentuk segi empat yang ketinggiannya kira_kira mencapai 15 meter, panjang sisinya di tempat Hajar Aswad dan sebaliknya adalah 10 X 10 meter. Hajar Aswad itu sendiri diletakan dengan ketinggian 1,5 meter dari permukaan pelataran untuk tawaf. Sisi yang ada pintunya dan sebaliknya setinggi 12 meter. Adapun pintunya setinggi 2 meter dari permukaan tanah. Di sekeliling luar Ka’bah ada pagar dari bagian bawah ruas_ruas bangunan, di bagian tengahnya dengan ketiggian ¼ meter dan lebarnya kira_ kira 1/3 meter. Pagar ini dinamakan Asy_Syadzarawan. Namun kemudian orang_ orang Quraisy meninggalkannya. [Lihat Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al_Humary, As_Sirah An_ Nabawiyah, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafah Al_Baby Al_Halaby wa Auladuhu, 1375 H), cet. 2, hal. 12/192-197; dan lihat juga kitab Shahih Al_Bukhary, bab. Fadhli Makkah wa Bunyaniha karya Muhammad bin Isma’il Al_Bukhari, hal. 1/215]

Daya Tarik Kepribadian Sebelum Nubuwah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghimpun sekian banyak kelebihan dari berbagai lapisan manusia selama pertumbuhan beliau. Beliau menjadi seorang sosok yang unggul dalam pemikiran yang jitu, pandangan yang lurus, mendapat sanjuangan karena kecerdikan, kelurusan pemikiran, pencarian sarana dan tujuan. Beliau lebih suka berdiam berlama_lama untuk mengamati, memusatkan pikiran dan menggali kebenaran. Dengan akalnya beliau mengamati keadaan negerinya. Dengan fitrohnya yang suci beliau mengamati lembaran_lembaran kehidupan, keadaan manusia dari berbagai golongan. Beliau merasa risih terhadap khurafat dan menghindarinya. Beliau berhubungan dengan manusia, dengan mempertimbangkan keadaan dirinya dan keadaan mereka. Selagi mendapatkan yang baik, maka beliau bersekutu di dalamnya. Jika tidak, maka beliau lebih suka dengan kesendiriannya. Beliau tidak minum khamar, tidak mau makan daging hewan yang disembelih untuk dipersembahkan kepada berhala, tidak mau menghadiri upacara atau pertemuan untuk menyembah patung. Bahkan semenjak kecil beliau senantiasa menghindari jenis penyembahan yang bathil ini. Sehingga tidak ada sesuatu yang lebih beliau benci selain dari pada penyembahan kapada patung_patung ini, dan hampi_hampi beliau tidak sanggup menahan kesabaran tatkala mendengar sumpah yang disampaikan kepada Lata dan Uzza.

Ibnul Katsir meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Tidak pernah terlintas dalam benakku suatu keinginanku untuk mengikuti kebiasaan yang dilakukan oleh orang_orang Jahiliyah kecuali hanya dua kali. Namun kemudia Allah Ta’ala menjadi penghalang antara diriku dengan keinginan itu. Setelah itu aku tidak lagi berkeinginan sedikit pun hingga Allah Ta’ala memuliakan aku dengan risalah_Nya. Suatu malam aku pernah berkata kepada seorang pemuda yang sedang menggembala kambing bersamaku di suatu bukit di Makkah: Tolong awasilah kambing_kambing gembalaanku, karena aku hendak masuk Makkah dan hendak mengobrol di sana seperti yang dilaku-kan para pemuda yang lain.”

Rekanku berkata, “Aku akan melaksanakannya.” Maka aku beranjak pergi. Di samping rumah pertama yang kulewati di Makkah, aku mendengar suara tabu-han rebana. Aku bertanya, “Ada apa ini?” Orang_orang menjawab, “Perhelatan pernikahan Fulan dan Fulanah.”

Aku ikut duduk_duduk di sana dan mendengarkan. Namun Allah Ta’ala menutup telingaku dan aku langsung tertidur, hingga aku terbangun karena sengatan matahari besok harinya. Aku kembali m,enemui rekanku dan dia langsung menanyakan keadaanku. Maka aku mengabarkan apa yang terjadi. Pada malam lainnya aku berkata seperti itu pula dan berbuat hal yang sama. Namun lagi_lagi aku mengalami kejadian yang sama seperti malam sebelumnya. Maka setelah itu aku tidak lagi ingin berbuat hal yang buruk. [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Al_Hakim. Namun hadits ini masih diperselisihkan, karena Imam Al_Hakim menshahihkannya dan Ibnu Katsir mendha’ifkannya. Lihat Isma’il bin Katsir Ad_Damasqy, Al_Bidayah wan Nihayah, (Mesir: Mathba’ah As_Sa’adah, 1932 M), hal. 2/287]

Imam Al_Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Tatkala Ka’bah sedang direnovasi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut bergabung bersama Abbas mengambil batu. Abbas berkata kepada beliau: Angkatlah jubahmu hingga di atas lutut agar engkau tidak terluka oleh batu. Namun karena itu beliau justru terjerembab ke tanah. Maka beliau menghujamkan pandangan ke langit, kemudian bersabda: Ini gara_gara jubahku, ini gara_gara jubahku. Lalu beliau mengikatkan jubahnya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau setelah itu tidak pernah terlihat beliau menampakkan auratnya.” [Lihat Al_Bukhari, Shahihul Bukhary, hal. 1/540]

Imam Muhammad bin Isma’il Al_Bukhari dalam kitabnya Shahihul Al_Bukhary menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menonjol di tengah kaumnya karena perkataan yang lemat lembut, akhlaqnya yang utama, sifat_ sifatnya yang mulia. Beliau adalah orang yang paling utama kepribadiannya di tengah kaumnya, paling bagus akhlaqnya, paling terhormat dalam pergaulannya dengan para tetangga, paling lemah lembut, paling jujur perkataannya, paling terjaga jiwanya, paling terpuji kebaikannya, paling baik amalnya, paling banyak memenuhi janji, paling bisa dipercaya, hingga mereka menjulukinya Al_Amin, karena beliau menghimpun semua keadaan yang baik dan sifat_sifat yang diridhai orang lain. Keadaan beliau juga digambarkan Ummul Mukminin, yaitu Khadijah binti Khuwalid radhiyallahu ‘anha, ‘Beliau membawa bebannya sendiri, memberi orang miskin, menjamu tamu, dan menolong siapa pun yang hendak menegakkan kebenaran’.” [Lihat Muhammad bin Isma’il Al_Bukhari, Shahihul Al_Bukhary, hal. 1/3]

[+/-] Selengkapnya...

Maulid Nabi Muhammad (3)

MUH_1 Perang Fijar

Pada waktu Nabi usia lima belas tahun, meletus Perang Fijar antara pihak Quraisy bersama Kinanah, berhadapan dengan pihak Qais Ailan. Komandan pasukan Qaraisy bersama Kinanah dipegang oleh Harb bin Umayyah, karena pertimbangan usia dan kedudukannya yang terpandang. Pada mulanya pihak Qais Ailan yang mendapat kemenangan. Namun kemudian beralih ke pihak Quraisy bersama Kinanah.

Dinamakan Perang Fijar, karena terjadi pelanggaran terhadap kesucian tanah haram dan bulan_bulan suci. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut berga-bung dalam peperangan ini dengan cara mengumpulkan anak panah bagi paman_paman beliau untuk dilemparkan kembali ke pihak musuh. [Lihat Fu’ad Hamzah, Qalbu Jaziratil ‘Arab, (Mesir: Al_Mathba’ah As_Salafiyyah wa Maktabuha, 1923 M), hal. 260]

Hilful Fudhul

Pengaruh dari peperangan ini, maka diadakanlah Hilful Fudhul pada bulan Dzulqaidah pada bulan suci, yang melibatkan beberapa kabilah Quraisy, yaitu Bani Hasyim, Bani Al_Muththalib, Bani Asad bin Abdul Uzza, Bani Zuhrah bin Kilab, dan Bani Taim bin Murrah. Mereka berkumpul di rumah Abdullah bin Jud’an At_Taimy karena pertimbangan umur dan kedudukannya yang terhormat. Mereka mengukuhkan perjanjian dan kesepakatan bahwa tidak seorang pun dari penduduk Makkah dan juga yang lainnya yang dibiarkan teraniaya. Siapa yang teraniaya, maka mereka sepakat untuk berdiri di sampingnya. Sedangkan terhadap siapa yang berbuar dzalim, maka kedzalimannya harus dibalaskan terhadap dirinya. Perjanjian ini juga dihadiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku pernah mengikuti perjanji-an yang dikukuhkan di rumah Abdullah bin Jud’an, suatu perjanjian yang lebih aku sukai daripada keledai yang terbagus. Andaikata aku diundang untuk perjanjian itu semasa Islam, tentu aku akan memenuhuinya.”

Syaikh Shafiyyurrahman Al_Mubarakfury mengatakan bahwa ruh dari perjanjian itu adalah menghilangkan keberanian model Jahiliyah yang lebih banyak dibang-kitkan oleh rasa fanatisme. [Lihat Shafiyyurrahman Al_Mubarakfury Ar_Rahiqul Makhtum Bah-tsun fis Sirah An_Nabawiyah ‘Ala Shahibiha Afdhalish Shalati was Salam, hal. 82]

Mengembalakan Kambing

Pada masa awal remajanya Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mempu-nyai pekerjaan tetap. Hanya saja beberapa riwayat menyebutkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menggembala kambing di kalangan Bani Sa’d bin Bakr dan juga di Makkah dengan imbalan uang beberapa dinar. [Lihat Muhammad Al_Ghazaly, Fiqhus Sirah, (Mesir: Darul Al_Kitab Al_Araby, 1375 H / 1955 M), cet. 2, hal. 52]

Menikah dengan Khadijah

Pada usia dua puluh lima tahun, beliau pergi berdagang ke Syam untuk men-jalankan barang dagangan milik Khadijah. Ibnu Ishaq menuturkan bahwa Khadijah binti Khuwalid adalah seorang wanita pedagang, terpandang, dan kaya raya. Dia biasa menyuruh orang_orang untuk menjalankan barang dagangannya dengan membagi sebagian hasilnya kepada mereka, karena orang_orang Quraisy memiliki hobi berdagang. Tatkala Khadijah mendengar kabar tentang kejujuran perkataan beliau, kredibilitas, dan kemuliaan akhlaq beliau, maka dia pun mengirim utusan dan menawarkan kepada beliau agar berangkat ke Syam untuk menjalankan barang dagangannya. Dia siap memberikan imbalan jauh lebih banyak dari imbalan yang pernah dia berikan kepada pedagang yang lain. Tetapi beliau harus pergi bersama seorang pembantu yang bernama Maisarah. Beliau menerima tawaran ini, maka beliau berangkat ke Syam untuk berdagang dengan diserta Maisarah. . [Lihat Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al_Humary, As_Sirah An_ Nabawiyah, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafah Al_Baby Al_Halaby wa Auladuhu, 1375 H), cet. 2, hal. 1/187-188]

Setibanya di Makkah dan setelah Khadijah bin Khuwalid tahu bahwa keuntungan dagangannya yang melimpah, yang tidak pernah dilihatnya sebanyak itu sebelumnya, apalagi setelah pembantunya, yaitu Maisarah mengabarkan kepadanya apa yang dilihatnya pada diri beliau selama menyertainya, bagaimana sifat_sifat beliau yang mulia, kecerdikan dan kejujurannya, maka seakan_akan Khadijah binti Khuwalid mendapatkan barangnyanya yang pernah hilang dan sangat diharapkannya. Sebenarnya sudah banyak para pemuka dan pemimpin kaum yang hendak menikahinya, tetapi dia tidak mau. Tiba_tiba saja dia teringat seorang rekannya, yaitu Nafisah binti Munyah. Dia meminta agar rekannya ini menemui beliau dan membuka jalan agar mau menikah dengan Khadijah binti Khuwalid. Ternyata beliau menerima tawaran itu, lalu beliau menemui paman_ pamannya. Kemudian paman_paman beliau menemui paman Khadijah binti Khuwalid untuk mengajukan lamaran. Setelah semuanya dianggap beres, maka pernikahan siap dilaksanakan. Adapun yang ikut hadir dalam pelaksanaan akad nikah adalah Bani Hasyim dan para pemuka Bani Mudhar. Hal ini terjadi dua bulan sepulang beliau dari Syam. Maskawin beliau adalah dua puluh ekor unta muda. Usia Khadijah binti Khuwalid sendiri adalah empat puluh tahun, yang pada masa itu dia merupakan wanita yang paling terpandang, cantik, pandai, dan kaya. Dia adalah wanita pertama yang dinikahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak pernah menikahi wanita lain hingga Khadijah binti Khuwalid meninggal dunia.

Putra_putri beliau – selain Ibrahim dilahirkan dari Maria Al_Qibthiyah – dilahirkan dari Khadijah binti Khuwalid adalah Al_Qasim – dengan nama ini beliau dijuluki Abul Qasim –, Abdullah – dia dijuluki Ath_Thayyib dan Ath_Thahir –, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kaltsum, dan  Fatimah. Semua putra beliau meninggal dunia selagi kecil. Sedangkan semua putri beliau sempat menjumpai Islam, dan mereka memeluk Islam serta ikut hijrah. Hanya saja mereka semua meninggal dunia selagi beliau masih hidup, kecuali Fatimah. Dia meningga dunia selang enam bulan sepeninggalan beliau, untuk bersua dengan beliau.

Al_Hafizh Ibnu Hajar Al_Asqalani mengatakan bahwa ada sedikit perbedaan di antara beberapa kitab referensi tentang hal di atas. Tetapi yang kami tulis di sini adalah pendapat yang paling kuat. [Lihat Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al_Asqalany, Fathul Bari, (Kairo: Al_Mathba’ah As_Salafiyah wa Maktabuha, tt), hal. 7/507]

Berlanjut ...........................

[+/-] Selengkapnya...

Maulid Nabi Muhammad (2)

Muhammad. Kembali ke Pangkuan Ibunda Tercinta

Dengan adanya peristiwa pembelahan dada itu, maka Halimah As_Sa’diyah merasa khawatir terhadap keselamatan beliau, sehingga dia mengembalikannya kepada ibunya. Kemudian beliau hidup bersama ibunda tercinta hingga berumur enam tahun.

Beberapa waktu kemudian Aminah binti Wahb merasa perlu untuk mengenang suaminya yang telah meninggal dunia dengan cara mengunjungi kuburannya di Yatsrib Madinah. Maka dia pergi dari Makkah menempuh perjalanan sejauh 500 KM, bersama putranya yang yatim, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, disertai pembantu wanitanya, yaitu Ummu Aiman. Setelah menetap selama satu bulan di Madinah, maka Aminah binti Wahb dan rombongannya siap_siap untuk kembali ke Makkah. Dalam perjalanan pulang itu dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia di Abwa’, yang terletak di antara Makkah dan Madinah. . [Lihat Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al_Humary, As_Sirah An_Nabawiyah, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafah Al_Baby Al_Halaby wa Auladuhu, 1375 H), cet. 2, hal. 1/168; dan lihat juga kitab Talliqihu Fuhumi Ahli Atsar karya Abul Fajar Abdurrahman bin Al-Jauzy, hal. 8]

Kembali ke Kakeknya yang Penuh Kasih Sayang

Kemudian beliau kembali ke tempat kakeknya, yaitu Abdul Muththalib di Makkah. Perasaan kasih sayang di dalam sanubarinya terhadap cucunya yang kini yatim piatu semangkin terpupk, karena cucunya harus menghadapi cobaan baru di atas luka yang lama. Hatinya bergetar oleh perasaan kasih sayang yang tidak pernah dirasakannya sekali pun terhadap anak_anaknya sendiri. Dia tidak ingin cucunya hidup sebatang kara. Bahkan dia lebih mengutamakan cucunya dari pada anak_ anaknya.

Ibnu Hisyam dalam kitab As_Sirah An_Nabawiyah berkata, “Ada sebuah dipan yang diletakkan di dekat Ka’bah untuk Abdul Muththalib. Sedangkan kerabat_ kerabatnya biasa duduk di sekeliling dipan itu hingga Abdul Muththalib ke luar ke sana, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani duduk di dipan itu sebagai penghormatan terhadap dirinya. Suatu hari selagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi anak kecil yang montok, beliau duduk di atas dipan itu, maka paman_paman beliau langsung memegang dan menahan agar tidak duduk di atas dipan itu. Tatkala Abdul Muththalib melihat kejadian ini, dia berkata: Biarkan anakku ini. Demi Allah, sesungguhnya dia akan memiliki kedudukan yang agung. Kemudian Abdul Muththalib duduk bersama beliau di atas dipannya sambil mengelus punggung beliau dan senantiasa merasa gembira terhadap apa pun yang beliau lakukan.”

Pada usia delapan tahun lebih dua bulan sepuluh hari dari umur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kakeknya meninggal dunia di Makkah. Sebelum meninggal, Abdul Muththalib sudah berpesan menitipkan pengasuhan sang cucu kepada pamannya, yaitu Abu Thalib, saudara kandung bapak beliau. . [Lihat Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al_Humary, As_Sirah An_ Nabawiyah, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafah Al_Baby Al_Halaby wa Auladuhu, 1375 H), cet. 2, hal. 1/169; dan lihat juga kitab Talliqihu Fuhumi Ahli Atsar karya Abul Fajar Abdurrahman bin Al-Jauzy, hal. 7]

Meminta Hujan dengan Wajah Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam

Ibnu Asakir mentakhrij (meneliti) dari Julhumah bin Arfathah, dia berkata, “Tatkala aku tiba di Makkah, orang_orang sedang dilanda musim paceklik. Orang_orang Quraisy berkata: Wahai Abu Thalib, lembah sedang kekeringan dan kemiskinan melanda. Marilah kita berdoa meminta hujan.” Maka Abu Thalib keluar bersama anak kecil, yang seolah_olah wajahnya adalah matahari yang membawa mendung, yang menampakkan awan sedang berjalan pelan_pelan. Di sekitar Abu Thalib juga ada beberapa anak kecil lainnya. Dia memegang anak kecil itu dan menempelkan punggungnya ke dinding Ka’bah. Jari_jemarinya memegangi anak itu. Langit yang tadinya bersih, tiba_tiba saja mendung datang dari segala penjuru, lalu menurunkan hujan yang sangat deras, hingga lembah_ lembah terairi dan ladang_ladang menjadi subur. Abu Thalib mengisyaratkan hal ini dalam syair yang dibacakannya,

“ Putih berseri meminta hujan dengan wajahnya

Penolong anak yatim dan pelindung wanita janda.”

[Lihat Muhammad bin Abdul Wahhab An_Najdy, Mukhtashar Siratir Rasul, hal. 15-16]

Bahira Sang Rahib

Ketika usia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencapai dua belas tahun – ada yang berpendapat lebih dari dua bulan sepuluh hari – Abu Thalib mengajak beliau pergi berdagang dengan tujuan Syam, hingga tiba di Bushra, yaitu suatu daerah yang sudah termasuk Syam yang merupakan ibukota Hauran, yang juga merupakan ibukotanya orang_orang Arab, walaupun di bawah kekuasaan Bangsa Romawi. Di negeri ini ada seorang rahib yang dikenal dengan sebutan Bahira – yang nama aslinya adalah Jurjis –.  Tatkala rombongan singgah di daerah ini,

maka sang rahib menghampiri mereka dan mempersilahkan mereka mampir ke tempat tinggalnya sebagai tamu kehormatan. Padahal sebelumnya rahib tersebut tidak pernah keluar, namun begitu dia bisa mengetahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sifat_sifat beliau. Sambil memegang tangan beliau, sang rahib berkata, “Orang ini adalah pemimpin semesta alam. Anak ini akan diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam.”

Abu Thalib bertanya, “Dari mana engkau tahu hal itu?”

Rahib Bahira menjawab, “Sebenarnya sejak kalian tiba di Aqabah, tidak ada bebatuan dan pepohonan pun melainkan mereka tunduk bersujud. Mereka tidak sujud melainkan kepada seorang nabi. Aku bisa mengetahuinya dari cincin nubuwah yang berada di bagian bawah tulang rawan bahunya yang menyerupai buah apel. Kami juga bisa mendapatkan tanda itu di dalam kitab kami.”

Kemudian sang rahib meminta agar Abu Thalib kembali lagi bersama beliau tanpa melanjutkan perjalanan ke Syam, karena dia takut gangguan dari pihak orang_orang Yahudi. Maka Abu Thalib mengirim beliau bersama beberapa pemuda agar kembali lagi ke Makkah.

Disebutkan di dalam kitab At_Tirmidzi dan lain_lainnya bahwa Abu Thalib juga mengutus Bilal bersama beliau. Maka Ibnul Qayyim Al_Jauziyah berkata, “Hal ini merupakan kesalahan yang amat mencolok, karena boleh jadi saat itu Bilal belum lahir. Kalaupun sudah lahir, maka tidak bakalan dia bergabung bersama Abu Thalib atau pun Abu Bakar.” [Lihat Syamsudin Abu Abdullah Muhammad bin Bakr bin Ayyub, yang dikenal dengan nama Ibnul Qayyim Al_Jauziyah, Zadul Ma’ad, hal. 1/17]

berlanjut ..............................

[+/-] Selengkapnya...

Maulid Nabi Muhammad (1)

Lafadz16

Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan ditengah keluarga Bani Hasyim di Makkah pada hari senin pagi, tanggal 9 Rabi’ul Awwal, permulaan tahun dari peristiwa gajah, dan empat puluh tahun setelah kekuasaan Kisra Anusyirwan, atau bertepatan dengan tanggan 20 atau 22 April tahun 571 M, berdasarkan penelitian ulama terkenal, yaitu Muhammad Sulaiman Al_Manshurfury dan peneliti astronomi, yaitu Mahmud Basya. [Lihat Syaikh Muhammad Al_Khadry, Muhadharat Tarikhil Umam Al_Islamiyyah, (Mesir: Al_Maktabah At_Tijariyyah Al-Kubra, 1382 H), cet. 8, hal. 1/62. ada beberapa perbedaan tentang penentuan tanggal bulan April, karena adanya perbedaan dalam kalender Masehi]

Ibnu Sa’d meriwayatkan bahwa ibu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Setelah bayiku keluar, aku melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku, menyinari istana_istana di Syam.” Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Al_Arbadh bin Sariyah, yang isinya serupa dengan riwayat di atas. [Lihat Muhammad bin Abdul Wahhab An_Najdy, Mukhtashar Siratir Rasul, hal. 12]

Diriwayatkan juga bahwa ada beberapa bukti pendukung kerasulan, bertepatan dengan saat kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu runtuhnya 10 balkon istana Kisra, dan padamnya api yang biasa disembah orang_orang Majusi serta runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah setelah gereja_gereja itu ambles ke tanah. Hal ini diriwayatkan oleh Al_Baihaqi, sekalipun Muhammad Al_Ghazaly tidak mengakuinya. [Lihat Muhammad Al_Ghazaly, Fiqhus Sirah, (Mesir: Darul Al_Kitab Al_Araby, 1375 H / 1955 M), cet. 2, hal. 46]

Setelah Aminah melahirkan, dia mengirim utusan ke tempat kakeknya, yaitu Abdul Muththalib untuk menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran cucunya Maka Abdul Muththalib datang dengan perasaan suka cita, lalu membawa beliau ke dalam Ka’bah, seraya berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada_Nya. Dia memilih nama Muhammad bagi beliau. Nama ini belum pernah dikenal di kalangan Arab. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dikhitan pada hari ke tujuh, seperti yang biasa dilakukan orang_orang Arab. Tetapi ada juga yang berpen-dapat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan dalam keadaan sudah dikhitan. . [Lihat Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al_Humary, As_Sirah An_Nabawiyah, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafah Al_Baby Al_Halaby wa Auladuhu, 1375 H), cet. 2, hal. 1/159; dan lihat juga kitab Talliqihu Fuhumi Ahli Atsar karya Abul Fajar Abdurrahman bin Al-Jauzy, hal. 4]

Ibnul Qayyim Al_Jauziyah berkata, “Tidak ada hadits yang kuat mengenai hal ini.” [Lihat Syamsudin Abu Abdullah Muhammad bin Bakr bin Ayyub, yang dikenal dengan nama Ibnul Qayyim Al_Jauziyah, Zadul Ma’ad, hal. 1/18]

Wanita yang pertama kali menyusui beliau setelah ibundanya adalah Tsuwaibah – dia adalah seorang hamba sahaya Abu Lahab – yang kebetulan sedang menyusui anaknya yang bernama Masruh, yang sebelumnya wanita ini juga menyusui Hamzah bin Abdul Muththalib. Setelah itu dia menyusui Abu Salamah bin Abdul Asad Al_Makhzumy.

Di Tengah Bani Sa’d bin Bakr

Tradisi yang berjalan di kangan Bangsa Arab yang relatif sudah maju, mereka mencari wanita_wanita yang bisa menyusui anak_anaknya sebagai langkah untuk menjauhkan anak_anak mereka dari penyakit yang biasa menjalar di daerah yang sudah maju, agar tubuh bayi menjadi kuat, otot_otonya kekar dan agar keluarga yang menyusui bisa melatih bahasa Arab. Maka Abdul Muththalib mencari para wanita yang bisa menyusui beliau. Dia meminta kepada seorang wanita dari bani Sa’d bin Bakr agar menyusui beliau, yaitu Halimah binti Abu Dzu’aib, dengan didampingi suaminya, yaitu Al_Hartits bin Abdul Uzza yang berjulukan Abu Kabsyah dari kabilah yang sama.

Paman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Hamzah bin Abdul Muththalib juga disusui di Bani Sa’d bin Bakr. Suatu hari ibu susuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menyusui Hamzah bin Abdul Muththalib selagi beliau masih dalam susuannya. Dengan demikian, Hamzah bin Abdul Muththalib adalah saudara sesusuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dua pihak, yaitu dari Tsuwaibah dan dari Halimah As_Sa’diyah.

Halimah As_Sa’diyah bisa merasakan barakah yang diwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga bisa mengundang decak kekaguman. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Ishaq bahwa Halimah As_Sa’diyah pernah berkisah, “Suatu kali dia pergi dari negerinya bersama suami dan anak yang disusuinya, serta bersama beberapa wanita dari Bani Sa’d bin Bakr. Tujuan mereka adalah mencari anak yang bisa disusui. Dia berkata: itu terjadi pada masa paceklik, tidak banyak kekayaan yang tersisa. Aku pergi sambi naik keledai betina berwarna putih milik kami dan seekor unta yang sudah tua dan tidak bisa diambil air susunya lagi walau setetes pun. Sepanjang malam kami tidak pernah tidur, karena harus meninabobokan bayi kami yang terus menerus menangis karena kelaparan. Air susuku juga tidak bisa diharapkan, sekalipun kami tetap masih mengharapkan adanya uluran tangan dan jalan keluar. Aku pun pergi sambil menunggang keledai betina milik kami dan hampir tidak pernah turun dari punggungnya, sehingga keledai itu pun semangkin lemah kondisinya. Akhirnya kami serombongan tiba di Makkah dan kami langsung mencari bayi yang bisa kami susui. Setiap wanita dari rombongan kami yang ditawari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti menolaknya, setelah tahu bahwa beliau adalah anak yatim. Tidak mengherankan, karena kami memang mengharapkan imbalan yang cukup memadai dari bapak bayi yang hendak kami susui. Kami semua berkata: Dia adalah anak yatim. Tidak ada pilihan bagi ibu dan kakek beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kami tidak menyukai keadaan seperti itu. Setiap wanita dari rombongan kami sudah mendapatkan bayi yang disusuinya,  kecuali aku sendiri. Tatkala kami sudah siap_siap untuk kembali, aku berkata kepada suamiku: Demi Allah, aku tidak ingin kembali bersama teman_temanku wanita tanpa membawa seorang bayi yang kususui. Dermi Allah, aku benar-benar akan mendatangi anak yatim itu dan membawanya.”

Halimah As_Sa’diyah melanjutkan penuturannya, “Maka aku pun pergi menemui bayi itu (beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan aku siap membawanya. Tatkala menggendongnya seakan_akan aku tidak merasa repot karena mendapat beban yang lain. Aku segera kembali menghampiri hewan tungganganku, dan tatkala puting susuku kusodorkan kepadanya, bayi itu bisa menyedot air susu sesukanya dan meminumnya hingga kenyang. Anak kandungku sendiri juga bisa menyedot air susu sepuasnya hingga kenyang, setelah itu keduannya tertidur pulas. Padahal sebelum itu kami tidak pernah tidur sepicing pun karena mengurus bayi kami. Kemudian suamiku menghampiri untanya yang sudah tua, ternyata air susunya menjadi penuh, maka kami memerahnya. Suamiku bisa minum air susu unta kami, begitu pula aku, hingga kami benar_benar kenyang. Malam itu adalah malam yang terasa paling indah bagi kami.”

Pada besok harinya suamiku berkata kepadaku, “Demi Allah, tahukah engkau wahai Halimah, engkau telah mengambil satu jiwa yang penuh barakah.” Halimah As_Sa’diyah pun berkata, “Demi Allah, aku pun berharap yang demikian itu.”

Halimah As_Sa’diyah melanjutkan penuturannya, “Kemudian kami pun siap_siap pergi dan aku menunggang keledaiku. Semua bawaan kami juga kunaikkan ber-samaku di atas punggungnya. Demi Alalh, setelah kami menempuh perjalanan sekian jauh, tentulah keledai_keledai mereka tidak akan mampu membawa beban seperti yang aku bebankan di atas pungggung keledaiku. Sehingga rekan-rekanku berkata kepadaku: Wahai putri Abu Dzu’aib, celaka engkau! Tunggulah kami! Bukankah ini adalah keledaimu yang pernah engkau bawa bersama kita dulu?” Halimah As_Sa’diyah berkata, “Demi Allah, begitulah. Ini adalah keledaiku dulu.” Mereka berkata, “Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa.”

Kami pun tiba di tempat tinggal kami di daerah Bani Sa’d bin Bakr, aku tidak pernah melihat sepetak tanah pun milik kami yang lebih subur saat itu. Domba_ domba kami datang menyongsong kedatangan kami dalam keadaan kenyang dan air susunya juga berisi penuh, sehingga kami bisa memerahnya dan meminumnya. Sementara setiap orang yang memerah air susu hewannya sama sekali tidak mengeluarkan air susu walau setetes pun dan kelenjar susunya juga kempes. Sehingga mereka berkata garang kepada para penggembalanya, “Celakalah kalian! Lepaskanlah hewan gembalaannya kalian seperti yang dilakukan oleh gembala putri Abu Dzu’aib.” Namun domba_domba mereka pulang ke rumah tetap dalam keadaan lapar dan tidak ada setetes pun mengeluarkan air susu. Sementara domba_dombaku pulang dalam keadaan kenyang dan kelenjar susunya berisi penuh. Kami senantiasa mendapatkan tambahan barakah dan kebaikan dari Allah selama dua tahun menyusui anak susuan kami. Lalu kami menyapihnya. Dia tumbuh dengan baik, tidak seperti bayi_bayi yang lain. Bahkan sebelum usia dua tahun pun dia sudah tumbuh pesat.

Kemudian kami membawanya kepada ibunya, meskipun kami masih berharap agar anak itu tetap berada di tengah_tengah kami, karena kami bisa merasakan barakahnya. Maka kami menyampaikan niat ini kepada ibunya. Aku berkata kepadanya, “Andaikan saja engkau sudi membiarkan anakmu  ini tetap bersama kami hingga menjadi besar, karena aku khawatir dia terserang penyakit yang biasa menjalar di Makkah.” Kami terus_menerus merayu ibunya agar dia berke-nan mengembalikan anak itu tinggal bersama kami.

Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di tengah_tengah Bani Sa’d bin Bakr, hingga tatkala beliau berumur empat atau lima tahun terjadi peristiwa pembelahan dada beliau. Ini adalah pendapat mayoritas pakar sejarah. Tetapi menurut riwayat Ibnu Ishaq bahwa peristiwa itu terjadi pada usia tiga tahun. [Lihat Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al_Humary, As_Sirah An_Nabawiyah, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafah Al_Baby Al_Halaby wa Auladuhu, 1375 H), cet. 2, hal. 1/164-165]

Imam Muslim meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi Malaikat Jiblril, yang saat itu beliau sedang bermain_main dengan beberapa anak kecil lainnya. Malaikat Jibril memegang beliau dan menelentangkannya, lalu membelah dada dan mengeluarkan hati beliau dan mengeluarkan segumpal darah dari dada beliau, seraya berkata, “Ini adalah bagian setan yang ada pada dirimu.” Lalu Malaikat Jibril mencucinya di sebuah baskom dari emas dengan menggunakan air Zamzam, kemudian menata dan memasukkannya ke tempatnya semula. Anak_anak kecil lainnya berlarian mencari ibu susunya dan berkata, “Muhammad telah dibunuh !!!” Mereka pun datang menghampiri beliau yang wajahnya semangkin berseri. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim]

Berlanjut ........................

[+/-] Selengkapnya...