Showing posts with label Maulid. Show all posts
Showing posts with label Maulid. Show all posts

Maulid Nabi Muhammad Rasulullah (4)

MUH Renovasi Ka’bah dan Pengambilan Keputusan

Dikala usia Nabi tiga puluh lima tahun, orang_orang Quraisy sepakat untuk merenovasi Ka’bah, karena Ka’bah itu berupa susunan batu_batu, lebih tinggi dari badan manusia, tepatnya sembilan hasta yang dibangun sejak masa Isma’il, tanpa ada atapnya, sehingga banyak pencuri yang suka mengambil barang_barang ber-harga yang tersimpan di dalamnya. Lima tahun sebelum kenabian, kota Makkah dilanda banjir besar hingga meluap ke Baitul Haram, sehingga sewaktu_waktu bisa membuat Ka’bah menjadi runtuh. Dan kondisi seperti itu membuat bangun-an Ka’bah semangkin rapuh dan dinding_dindingnya pun sudah pecah_pecah. Sementara itu, orang_orang Quraisy dihinggapi rasa bimbang antara merenovasi dan membiarkannya apa adanya. Namun akhirnya mereka sepakat untuk tidak memasukan bahan –bahan bangunannya kecuali yang baik-baik. Mereka tidak menerima masukan dari maskawin dari para pelacur, jual beli dengan sistem riba dan perampasan terhadap harta orang lain. Sekalipun begitu mereka merasa takut untuk merobohkannya. Akhirnya Al_Walid bin Mughirah Al_Makhzumy mengawali perobohan bangunan Ka’bah, lalu diikuti oleh semua orang, setelah tahu tidak ada sesuatu pun yang menimpa Al_Walid. Mereka terus bekerja merobohkan setiap bangunan Ka’bah, hingga sampai rukun Ibrahim. Setelah itu mereka siap membangunnya kembali.

Mereka membagi sudut-sudut kabbah dan mengkhususkan setiap kabilah dengan bagiannya sendiri-sandiri. Setiap kabilah mengumpulkan batu-batu yang baik dan mulai membangun. Yang bertugas menangani urusan pembangunan Kabbah ini adalah seorang arsitek berkebangsaan Romawi yang bernama Baqum – nama aslinya adalah Pachomius.

Takkala pembangunan sudah sampai dibagian Hajar Aswad, mereka saling berselisih tentang siapa yang berhak mendapat kehormatan meletakan Hajar Aswad itu di tempatnya semula. Perselisihan ini terus berlanjut selama 4 atau 5 hari, tanpa ada keputusan. Bahkan perselisihan itu semakin meruncing dan hampir saja menjurus kepada pertumpahan darah di Tanah suci. Abu Ummayyah bin Al_Mughiroh Al_Makhzumy tampil dan menawarkan jalan keluar dari perselisihan di antara mereka, dengan menyerahkan urusan ini kepada siapa pun yang pertama kali masuk lewat pintu masjid. Mereka menerima cara ini. Allah menghendaki orang yang berhak tersebut adalah Rasullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tatkala mengetahui hal ini,  mereka berbisik_bisik, “Inilah Al_Amin. Kami ridho kepadanya. Inilah dia Muhammad.”

Setelah mereka semua berkumpul di sekitar beliau dan mengabarkan apa yang harus beliau lakukan, maka beliau meminta sehelai selendang, lalu beliau meletakkan Hajar Aswad tepat di tengah_tengah selendang, lalu meminta pemuka-pemuka kabilah yang saling berselisih untuk memegang ujung_ujung selendang, lalu memerintahkan mereka secara bersama_sama mengangkatnya. Setelah mendekati tempatnya, beliau mengambil Hajar Aswad dan meletakkan-nya di tempat semula. Ini merupakan cara pemecahan yang sangat jitu dan diri-dhai semua orang.

Orang-orang Quraisy kehabisan dana dari penghasilan yang baik. Maka mereka menyisahkan dibagian utara, kira_kira enam hasta, yang kemudian di sebut Al_Hijr atau Al Hathim. Mereka membuat pintunya lebih tinggi dari permukaan tanah agar tidak bisa di masuki kecuali oleh orang_orang yang memang ingin melewatinya. Setelah bangunan Ka’bah mencapai ketinggian lima belas hasta mereka memasang atap dengan di sanggah enam sendi.

Setelah jadi, Ka’bah itu berbentuk segi empat yang ketinggiannya kira_kira mencapai 15 meter, panjang sisinya di tempat Hajar Aswad dan sebaliknya adalah 10 X 10 meter. Hajar Aswad itu sendiri diletakan dengan ketinggian 1,5 meter dari permukaan pelataran untuk tawaf. Sisi yang ada pintunya dan sebaliknya setinggi 12 meter. Adapun pintunya setinggi 2 meter dari permukaan tanah. Di sekeliling luar Ka’bah ada pagar dari bagian bawah ruas_ruas bangunan, di bagian tengahnya dengan ketiggian ¼ meter dan lebarnya kira_ kira 1/3 meter. Pagar ini dinamakan Asy_Syadzarawan. Namun kemudian orang_ orang Quraisy meninggalkannya. [Lihat Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al_Humary, As_Sirah An_ Nabawiyah, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafah Al_Baby Al_Halaby wa Auladuhu, 1375 H), cet. 2, hal. 12/192-197; dan lihat juga kitab Shahih Al_Bukhary, bab. Fadhli Makkah wa Bunyaniha karya Muhammad bin Isma’il Al_Bukhari, hal. 1/215]

Daya Tarik Kepribadian Sebelum Nubuwah

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menghimpun sekian banyak kelebihan dari berbagai lapisan manusia selama pertumbuhan beliau. Beliau menjadi seorang sosok yang unggul dalam pemikiran yang jitu, pandangan yang lurus, mendapat sanjuangan karena kecerdikan, kelurusan pemikiran, pencarian sarana dan tujuan. Beliau lebih suka berdiam berlama_lama untuk mengamati, memusatkan pikiran dan menggali kebenaran. Dengan akalnya beliau mengamati keadaan negerinya. Dengan fitrohnya yang suci beliau mengamati lembaran_lembaran kehidupan, keadaan manusia dari berbagai golongan. Beliau merasa risih terhadap khurafat dan menghindarinya. Beliau berhubungan dengan manusia, dengan mempertimbangkan keadaan dirinya dan keadaan mereka. Selagi mendapatkan yang baik, maka beliau bersekutu di dalamnya. Jika tidak, maka beliau lebih suka dengan kesendiriannya. Beliau tidak minum khamar, tidak mau makan daging hewan yang disembelih untuk dipersembahkan kepada berhala, tidak mau menghadiri upacara atau pertemuan untuk menyembah patung. Bahkan semenjak kecil beliau senantiasa menghindari jenis penyembahan yang bathil ini. Sehingga tidak ada sesuatu yang lebih beliau benci selain dari pada penyembahan kapada patung_patung ini, dan hampi_hampi beliau tidak sanggup menahan kesabaran tatkala mendengar sumpah yang disampaikan kepada Lata dan Uzza.

Ibnul Katsir meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda, “Tidak pernah terlintas dalam benakku suatu keinginanku untuk mengikuti kebiasaan yang dilakukan oleh orang_orang Jahiliyah kecuali hanya dua kali. Namun kemudia Allah Ta’ala menjadi penghalang antara diriku dengan keinginan itu. Setelah itu aku tidak lagi berkeinginan sedikit pun hingga Allah Ta’ala memuliakan aku dengan risalah_Nya. Suatu malam aku pernah berkata kepada seorang pemuda yang sedang menggembala kambing bersamaku di suatu bukit di Makkah: Tolong awasilah kambing_kambing gembalaanku, karena aku hendak masuk Makkah dan hendak mengobrol di sana seperti yang dilaku-kan para pemuda yang lain.”

Rekanku berkata, “Aku akan melaksanakannya.” Maka aku beranjak pergi. Di samping rumah pertama yang kulewati di Makkah, aku mendengar suara tabu-han rebana. Aku bertanya, “Ada apa ini?” Orang_orang menjawab, “Perhelatan pernikahan Fulan dan Fulanah.”

Aku ikut duduk_duduk di sana dan mendengarkan. Namun Allah Ta’ala menutup telingaku dan aku langsung tertidur, hingga aku terbangun karena sengatan matahari besok harinya. Aku kembali m,enemui rekanku dan dia langsung menanyakan keadaanku. Maka aku mengabarkan apa yang terjadi. Pada malam lainnya aku berkata seperti itu pula dan berbuat hal yang sama. Namun lagi_lagi aku mengalami kejadian yang sama seperti malam sebelumnya. Maka setelah itu aku tidak lagi ingin berbuat hal yang buruk. [Hadits Shahih, diriwayatkan oleh Al_Hakim. Namun hadits ini masih diperselisihkan, karena Imam Al_Hakim menshahihkannya dan Ibnu Katsir mendha’ifkannya. Lihat Isma’il bin Katsir Ad_Damasqy, Al_Bidayah wan Nihayah, (Mesir: Mathba’ah As_Sa’adah, 1932 M), hal. 2/287]

Imam Al_Bukhari meriwayatkan dari Jabir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Tatkala Ka’bah sedang direnovasi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut bergabung bersama Abbas mengambil batu. Abbas berkata kepada beliau: Angkatlah jubahmu hingga di atas lutut agar engkau tidak terluka oleh batu. Namun karena itu beliau justru terjerembab ke tanah. Maka beliau menghujamkan pandangan ke langit, kemudian bersabda: Ini gara_gara jubahku, ini gara_gara jubahku. Lalu beliau mengikatkan jubahnya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau setelah itu tidak pernah terlihat beliau menampakkan auratnya.” [Lihat Al_Bukhari, Shahihul Bukhary, hal. 1/540]

Imam Muhammad bin Isma’il Al_Bukhari dalam kitabnya Shahihul Al_Bukhary menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menonjol di tengah kaumnya karena perkataan yang lemat lembut, akhlaqnya yang utama, sifat_ sifatnya yang mulia. Beliau adalah orang yang paling utama kepribadiannya di tengah kaumnya, paling bagus akhlaqnya, paling terhormat dalam pergaulannya dengan para tetangga, paling lemah lembut, paling jujur perkataannya, paling terjaga jiwanya, paling terpuji kebaikannya, paling baik amalnya, paling banyak memenuhi janji, paling bisa dipercaya, hingga mereka menjulukinya Al_Amin, karena beliau menghimpun semua keadaan yang baik dan sifat_sifat yang diridhai orang lain. Keadaan beliau juga digambarkan Ummul Mukminin, yaitu Khadijah binti Khuwalid radhiyallahu ‘anha, ‘Beliau membawa bebannya sendiri, memberi orang miskin, menjamu tamu, dan menolong siapa pun yang hendak menegakkan kebenaran’.” [Lihat Muhammad bin Isma’il Al_Bukhari, Shahihul Al_Bukhary, hal. 1/3]

[+/-] Selengkapnya...

Maulid Nabi Muhammad (3)

MUH_1 Perang Fijar

Pada waktu Nabi usia lima belas tahun, meletus Perang Fijar antara pihak Quraisy bersama Kinanah, berhadapan dengan pihak Qais Ailan. Komandan pasukan Qaraisy bersama Kinanah dipegang oleh Harb bin Umayyah, karena pertimbangan usia dan kedudukannya yang terpandang. Pada mulanya pihak Qais Ailan yang mendapat kemenangan. Namun kemudian beralih ke pihak Quraisy bersama Kinanah.

Dinamakan Perang Fijar, karena terjadi pelanggaran terhadap kesucian tanah haram dan bulan_bulan suci. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ikut berga-bung dalam peperangan ini dengan cara mengumpulkan anak panah bagi paman_paman beliau untuk dilemparkan kembali ke pihak musuh. [Lihat Fu’ad Hamzah, Qalbu Jaziratil ‘Arab, (Mesir: Al_Mathba’ah As_Salafiyyah wa Maktabuha, 1923 M), hal. 260]

Hilful Fudhul

Pengaruh dari peperangan ini, maka diadakanlah Hilful Fudhul pada bulan Dzulqaidah pada bulan suci, yang melibatkan beberapa kabilah Quraisy, yaitu Bani Hasyim, Bani Al_Muththalib, Bani Asad bin Abdul Uzza, Bani Zuhrah bin Kilab, dan Bani Taim bin Murrah. Mereka berkumpul di rumah Abdullah bin Jud’an At_Taimy karena pertimbangan umur dan kedudukannya yang terhormat. Mereka mengukuhkan perjanjian dan kesepakatan bahwa tidak seorang pun dari penduduk Makkah dan juga yang lainnya yang dibiarkan teraniaya. Siapa yang teraniaya, maka mereka sepakat untuk berdiri di sampingnya. Sedangkan terhadap siapa yang berbuar dzalim, maka kedzalimannya harus dibalaskan terhadap dirinya. Perjanjian ini juga dihadiri oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku pernah mengikuti perjanji-an yang dikukuhkan di rumah Abdullah bin Jud’an, suatu perjanjian yang lebih aku sukai daripada keledai yang terbagus. Andaikata aku diundang untuk perjanjian itu semasa Islam, tentu aku akan memenuhuinya.”

Syaikh Shafiyyurrahman Al_Mubarakfury mengatakan bahwa ruh dari perjanjian itu adalah menghilangkan keberanian model Jahiliyah yang lebih banyak dibang-kitkan oleh rasa fanatisme. [Lihat Shafiyyurrahman Al_Mubarakfury Ar_Rahiqul Makhtum Bah-tsun fis Sirah An_Nabawiyah ‘Ala Shahibiha Afdhalish Shalati was Salam, hal. 82]

Mengembalakan Kambing

Pada masa awal remajanya Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mempu-nyai pekerjaan tetap. Hanya saja beberapa riwayat menyebutkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa menggembala kambing di kalangan Bani Sa’d bin Bakr dan juga di Makkah dengan imbalan uang beberapa dinar. [Lihat Muhammad Al_Ghazaly, Fiqhus Sirah, (Mesir: Darul Al_Kitab Al_Araby, 1375 H / 1955 M), cet. 2, hal. 52]

Menikah dengan Khadijah

Pada usia dua puluh lima tahun, beliau pergi berdagang ke Syam untuk men-jalankan barang dagangan milik Khadijah. Ibnu Ishaq menuturkan bahwa Khadijah binti Khuwalid adalah seorang wanita pedagang, terpandang, dan kaya raya. Dia biasa menyuruh orang_orang untuk menjalankan barang dagangannya dengan membagi sebagian hasilnya kepada mereka, karena orang_orang Quraisy memiliki hobi berdagang. Tatkala Khadijah mendengar kabar tentang kejujuran perkataan beliau, kredibilitas, dan kemuliaan akhlaq beliau, maka dia pun mengirim utusan dan menawarkan kepada beliau agar berangkat ke Syam untuk menjalankan barang dagangannya. Dia siap memberikan imbalan jauh lebih banyak dari imbalan yang pernah dia berikan kepada pedagang yang lain. Tetapi beliau harus pergi bersama seorang pembantu yang bernama Maisarah. Beliau menerima tawaran ini, maka beliau berangkat ke Syam untuk berdagang dengan diserta Maisarah. . [Lihat Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al_Humary, As_Sirah An_ Nabawiyah, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafah Al_Baby Al_Halaby wa Auladuhu, 1375 H), cet. 2, hal. 1/187-188]

Setibanya di Makkah dan setelah Khadijah bin Khuwalid tahu bahwa keuntungan dagangannya yang melimpah, yang tidak pernah dilihatnya sebanyak itu sebelumnya, apalagi setelah pembantunya, yaitu Maisarah mengabarkan kepadanya apa yang dilihatnya pada diri beliau selama menyertainya, bagaimana sifat_sifat beliau yang mulia, kecerdikan dan kejujurannya, maka seakan_akan Khadijah binti Khuwalid mendapatkan barangnyanya yang pernah hilang dan sangat diharapkannya. Sebenarnya sudah banyak para pemuka dan pemimpin kaum yang hendak menikahinya, tetapi dia tidak mau. Tiba_tiba saja dia teringat seorang rekannya, yaitu Nafisah binti Munyah. Dia meminta agar rekannya ini menemui beliau dan membuka jalan agar mau menikah dengan Khadijah binti Khuwalid. Ternyata beliau menerima tawaran itu, lalu beliau menemui paman_ pamannya. Kemudian paman_paman beliau menemui paman Khadijah binti Khuwalid untuk mengajukan lamaran. Setelah semuanya dianggap beres, maka pernikahan siap dilaksanakan. Adapun yang ikut hadir dalam pelaksanaan akad nikah adalah Bani Hasyim dan para pemuka Bani Mudhar. Hal ini terjadi dua bulan sepulang beliau dari Syam. Maskawin beliau adalah dua puluh ekor unta muda. Usia Khadijah binti Khuwalid sendiri adalah empat puluh tahun, yang pada masa itu dia merupakan wanita yang paling terpandang, cantik, pandai, dan kaya. Dia adalah wanita pertama yang dinikahi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tidak pernah menikahi wanita lain hingga Khadijah binti Khuwalid meninggal dunia.

Putra_putri beliau – selain Ibrahim dilahirkan dari Maria Al_Qibthiyah – dilahirkan dari Khadijah binti Khuwalid adalah Al_Qasim – dengan nama ini beliau dijuluki Abul Qasim –, Abdullah – dia dijuluki Ath_Thayyib dan Ath_Thahir –, Zainab, Ruqayyah, Ummu Kaltsum, dan  Fatimah. Semua putra beliau meninggal dunia selagi kecil. Sedangkan semua putri beliau sempat menjumpai Islam, dan mereka memeluk Islam serta ikut hijrah. Hanya saja mereka semua meninggal dunia selagi beliau masih hidup, kecuali Fatimah. Dia meningga dunia selang enam bulan sepeninggalan beliau, untuk bersua dengan beliau.

Al_Hafizh Ibnu Hajar Al_Asqalani mengatakan bahwa ada sedikit perbedaan di antara beberapa kitab referensi tentang hal di atas. Tetapi yang kami tulis di sini adalah pendapat yang paling kuat. [Lihat Ahmad bin ‘Ali bin Hajar Al_Asqalany, Fathul Bari, (Kairo: Al_Mathba’ah As_Salafiyah wa Maktabuha, tt), hal. 7/507]

Berlanjut ...........................

[+/-] Selengkapnya...

Maulid Nabi Muhammad (2)

Muhammad. Kembali ke Pangkuan Ibunda Tercinta

Dengan adanya peristiwa pembelahan dada itu, maka Halimah As_Sa’diyah merasa khawatir terhadap keselamatan beliau, sehingga dia mengembalikannya kepada ibunya. Kemudian beliau hidup bersama ibunda tercinta hingga berumur enam tahun.

Beberapa waktu kemudian Aminah binti Wahb merasa perlu untuk mengenang suaminya yang telah meninggal dunia dengan cara mengunjungi kuburannya di Yatsrib Madinah. Maka dia pergi dari Makkah menempuh perjalanan sejauh 500 KM, bersama putranya yang yatim, yaitu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, disertai pembantu wanitanya, yaitu Ummu Aiman. Setelah menetap selama satu bulan di Madinah, maka Aminah binti Wahb dan rombongannya siap_siap untuk kembali ke Makkah. Dalam perjalanan pulang itu dia jatuh sakit dan akhirnya meninggal dunia di Abwa’, yang terletak di antara Makkah dan Madinah. . [Lihat Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al_Humary, As_Sirah An_Nabawiyah, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafah Al_Baby Al_Halaby wa Auladuhu, 1375 H), cet. 2, hal. 1/168; dan lihat juga kitab Talliqihu Fuhumi Ahli Atsar karya Abul Fajar Abdurrahman bin Al-Jauzy, hal. 8]

Kembali ke Kakeknya yang Penuh Kasih Sayang

Kemudian beliau kembali ke tempat kakeknya, yaitu Abdul Muththalib di Makkah. Perasaan kasih sayang di dalam sanubarinya terhadap cucunya yang kini yatim piatu semangkin terpupk, karena cucunya harus menghadapi cobaan baru di atas luka yang lama. Hatinya bergetar oleh perasaan kasih sayang yang tidak pernah dirasakannya sekali pun terhadap anak_anaknya sendiri. Dia tidak ingin cucunya hidup sebatang kara. Bahkan dia lebih mengutamakan cucunya dari pada anak_ anaknya.

Ibnu Hisyam dalam kitab As_Sirah An_Nabawiyah berkata, “Ada sebuah dipan yang diletakkan di dekat Ka’bah untuk Abdul Muththalib. Sedangkan kerabat_ kerabatnya biasa duduk di sekeliling dipan itu hingga Abdul Muththalib ke luar ke sana, dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang berani duduk di dipan itu sebagai penghormatan terhadap dirinya. Suatu hari selagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi anak kecil yang montok, beliau duduk di atas dipan itu, maka paman_paman beliau langsung memegang dan menahan agar tidak duduk di atas dipan itu. Tatkala Abdul Muththalib melihat kejadian ini, dia berkata: Biarkan anakku ini. Demi Allah, sesungguhnya dia akan memiliki kedudukan yang agung. Kemudian Abdul Muththalib duduk bersama beliau di atas dipannya sambil mengelus punggung beliau dan senantiasa merasa gembira terhadap apa pun yang beliau lakukan.”

Pada usia delapan tahun lebih dua bulan sepuluh hari dari umur Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kakeknya meninggal dunia di Makkah. Sebelum meninggal, Abdul Muththalib sudah berpesan menitipkan pengasuhan sang cucu kepada pamannya, yaitu Abu Thalib, saudara kandung bapak beliau. . [Lihat Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al_Humary, As_Sirah An_ Nabawiyah, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafah Al_Baby Al_Halaby wa Auladuhu, 1375 H), cet. 2, hal. 1/169; dan lihat juga kitab Talliqihu Fuhumi Ahli Atsar karya Abul Fajar Abdurrahman bin Al-Jauzy, hal. 7]

Meminta Hujan dengan Wajah Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam

Ibnu Asakir mentakhrij (meneliti) dari Julhumah bin Arfathah, dia berkata, “Tatkala aku tiba di Makkah, orang_orang sedang dilanda musim paceklik. Orang_orang Quraisy berkata: Wahai Abu Thalib, lembah sedang kekeringan dan kemiskinan melanda. Marilah kita berdoa meminta hujan.” Maka Abu Thalib keluar bersama anak kecil, yang seolah_olah wajahnya adalah matahari yang membawa mendung, yang menampakkan awan sedang berjalan pelan_pelan. Di sekitar Abu Thalib juga ada beberapa anak kecil lainnya. Dia memegang anak kecil itu dan menempelkan punggungnya ke dinding Ka’bah. Jari_jemarinya memegangi anak itu. Langit yang tadinya bersih, tiba_tiba saja mendung datang dari segala penjuru, lalu menurunkan hujan yang sangat deras, hingga lembah_ lembah terairi dan ladang_ladang menjadi subur. Abu Thalib mengisyaratkan hal ini dalam syair yang dibacakannya,

“ Putih berseri meminta hujan dengan wajahnya

Penolong anak yatim dan pelindung wanita janda.”

[Lihat Muhammad bin Abdul Wahhab An_Najdy, Mukhtashar Siratir Rasul, hal. 15-16]

Bahira Sang Rahib

Ketika usia Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencapai dua belas tahun – ada yang berpendapat lebih dari dua bulan sepuluh hari – Abu Thalib mengajak beliau pergi berdagang dengan tujuan Syam, hingga tiba di Bushra, yaitu suatu daerah yang sudah termasuk Syam yang merupakan ibukota Hauran, yang juga merupakan ibukotanya orang_orang Arab, walaupun di bawah kekuasaan Bangsa Romawi. Di negeri ini ada seorang rahib yang dikenal dengan sebutan Bahira – yang nama aslinya adalah Jurjis –.  Tatkala rombongan singgah di daerah ini,

maka sang rahib menghampiri mereka dan mempersilahkan mereka mampir ke tempat tinggalnya sebagai tamu kehormatan. Padahal sebelumnya rahib tersebut tidak pernah keluar, namun begitu dia bisa mengetahui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari sifat_sifat beliau. Sambil memegang tangan beliau, sang rahib berkata, “Orang ini adalah pemimpin semesta alam. Anak ini akan diutus Allah sebagai rahmat bagi seluruh alam.”

Abu Thalib bertanya, “Dari mana engkau tahu hal itu?”

Rahib Bahira menjawab, “Sebenarnya sejak kalian tiba di Aqabah, tidak ada bebatuan dan pepohonan pun melainkan mereka tunduk bersujud. Mereka tidak sujud melainkan kepada seorang nabi. Aku bisa mengetahuinya dari cincin nubuwah yang berada di bagian bawah tulang rawan bahunya yang menyerupai buah apel. Kami juga bisa mendapatkan tanda itu di dalam kitab kami.”

Kemudian sang rahib meminta agar Abu Thalib kembali lagi bersama beliau tanpa melanjutkan perjalanan ke Syam, karena dia takut gangguan dari pihak orang_orang Yahudi. Maka Abu Thalib mengirim beliau bersama beberapa pemuda agar kembali lagi ke Makkah.

Disebutkan di dalam kitab At_Tirmidzi dan lain_lainnya bahwa Abu Thalib juga mengutus Bilal bersama beliau. Maka Ibnul Qayyim Al_Jauziyah berkata, “Hal ini merupakan kesalahan yang amat mencolok, karena boleh jadi saat itu Bilal belum lahir. Kalaupun sudah lahir, maka tidak bakalan dia bergabung bersama Abu Thalib atau pun Abu Bakar.” [Lihat Syamsudin Abu Abdullah Muhammad bin Bakr bin Ayyub, yang dikenal dengan nama Ibnul Qayyim Al_Jauziyah, Zadul Ma’ad, hal. 1/17]

berlanjut ..............................

[+/-] Selengkapnya...

Maulid Nabi Muhammad (1)

Lafadz16

Muhammad Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan ditengah keluarga Bani Hasyim di Makkah pada hari senin pagi, tanggal 9 Rabi’ul Awwal, permulaan tahun dari peristiwa gajah, dan empat puluh tahun setelah kekuasaan Kisra Anusyirwan, atau bertepatan dengan tanggan 20 atau 22 April tahun 571 M, berdasarkan penelitian ulama terkenal, yaitu Muhammad Sulaiman Al_Manshurfury dan peneliti astronomi, yaitu Mahmud Basya. [Lihat Syaikh Muhammad Al_Khadry, Muhadharat Tarikhil Umam Al_Islamiyyah, (Mesir: Al_Maktabah At_Tijariyyah Al-Kubra, 1382 H), cet. 8, hal. 1/62. ada beberapa perbedaan tentang penentuan tanggal bulan April, karena adanya perbedaan dalam kalender Masehi]

Ibnu Sa’d meriwayatkan bahwa ibu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Setelah bayiku keluar, aku melihat ada cahaya yang keluar dari kemaluanku, menyinari istana_istana di Syam.” Imam Ahmad juga meriwayatkan dari Al_Arbadh bin Sariyah, yang isinya serupa dengan riwayat di atas. [Lihat Muhammad bin Abdul Wahhab An_Najdy, Mukhtashar Siratir Rasul, hal. 12]

Diriwayatkan juga bahwa ada beberapa bukti pendukung kerasulan, bertepatan dengan saat kelahiran beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu runtuhnya 10 balkon istana Kisra, dan padamnya api yang biasa disembah orang_orang Majusi serta runtuhnya beberapa gereja di sekitar Buhairah setelah gereja_gereja itu ambles ke tanah. Hal ini diriwayatkan oleh Al_Baihaqi, sekalipun Muhammad Al_Ghazaly tidak mengakuinya. [Lihat Muhammad Al_Ghazaly, Fiqhus Sirah, (Mesir: Darul Al_Kitab Al_Araby, 1375 H / 1955 M), cet. 2, hal. 46]

Setelah Aminah melahirkan, dia mengirim utusan ke tempat kakeknya, yaitu Abdul Muththalib untuk menyampaikan kabar gembira tentang kelahiran cucunya Maka Abdul Muththalib datang dengan perasaan suka cita, lalu membawa beliau ke dalam Ka’bah, seraya berdoa kepada Allah dan bersyukur kepada_Nya. Dia memilih nama Muhammad bagi beliau. Nama ini belum pernah dikenal di kalangan Arab. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dikhitan pada hari ke tujuh, seperti yang biasa dilakukan orang_orang Arab. Tetapi ada juga yang berpen-dapat bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dilahirkan dalam keadaan sudah dikhitan. . [Lihat Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al_Humary, As_Sirah An_Nabawiyah, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafah Al_Baby Al_Halaby wa Auladuhu, 1375 H), cet. 2, hal. 1/159; dan lihat juga kitab Talliqihu Fuhumi Ahli Atsar karya Abul Fajar Abdurrahman bin Al-Jauzy, hal. 4]

Ibnul Qayyim Al_Jauziyah berkata, “Tidak ada hadits yang kuat mengenai hal ini.” [Lihat Syamsudin Abu Abdullah Muhammad bin Bakr bin Ayyub, yang dikenal dengan nama Ibnul Qayyim Al_Jauziyah, Zadul Ma’ad, hal. 1/18]

Wanita yang pertama kali menyusui beliau setelah ibundanya adalah Tsuwaibah – dia adalah seorang hamba sahaya Abu Lahab – yang kebetulan sedang menyusui anaknya yang bernama Masruh, yang sebelumnya wanita ini juga menyusui Hamzah bin Abdul Muththalib. Setelah itu dia menyusui Abu Salamah bin Abdul Asad Al_Makhzumy.

Di Tengah Bani Sa’d bin Bakr

Tradisi yang berjalan di kangan Bangsa Arab yang relatif sudah maju, mereka mencari wanita_wanita yang bisa menyusui anak_anaknya sebagai langkah untuk menjauhkan anak_anak mereka dari penyakit yang biasa menjalar di daerah yang sudah maju, agar tubuh bayi menjadi kuat, otot_otonya kekar dan agar keluarga yang menyusui bisa melatih bahasa Arab. Maka Abdul Muththalib mencari para wanita yang bisa menyusui beliau. Dia meminta kepada seorang wanita dari bani Sa’d bin Bakr agar menyusui beliau, yaitu Halimah binti Abu Dzu’aib, dengan didampingi suaminya, yaitu Al_Hartits bin Abdul Uzza yang berjulukan Abu Kabsyah dari kabilah yang sama.

Paman beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu Hamzah bin Abdul Muththalib juga disusui di Bani Sa’d bin Bakr. Suatu hari ibu susuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menyusui Hamzah bin Abdul Muththalib selagi beliau masih dalam susuannya. Dengan demikian, Hamzah bin Abdul Muththalib adalah saudara sesusuan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari dua pihak, yaitu dari Tsuwaibah dan dari Halimah As_Sa’diyah.

Halimah As_Sa’diyah bisa merasakan barakah yang diwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga bisa mengundang decak kekaguman. Hal ini sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Ishaq bahwa Halimah As_Sa’diyah pernah berkisah, “Suatu kali dia pergi dari negerinya bersama suami dan anak yang disusuinya, serta bersama beberapa wanita dari Bani Sa’d bin Bakr. Tujuan mereka adalah mencari anak yang bisa disusui. Dia berkata: itu terjadi pada masa paceklik, tidak banyak kekayaan yang tersisa. Aku pergi sambi naik keledai betina berwarna putih milik kami dan seekor unta yang sudah tua dan tidak bisa diambil air susunya lagi walau setetes pun. Sepanjang malam kami tidak pernah tidur, karena harus meninabobokan bayi kami yang terus menerus menangis karena kelaparan. Air susuku juga tidak bisa diharapkan, sekalipun kami tetap masih mengharapkan adanya uluran tangan dan jalan keluar. Aku pun pergi sambil menunggang keledai betina milik kami dan hampir tidak pernah turun dari punggungnya, sehingga keledai itu pun semangkin lemah kondisinya. Akhirnya kami serombongan tiba di Makkah dan kami langsung mencari bayi yang bisa kami susui. Setiap wanita dari rombongan kami yang ditawari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pasti menolaknya, setelah tahu bahwa beliau adalah anak yatim. Tidak mengherankan, karena kami memang mengharapkan imbalan yang cukup memadai dari bapak bayi yang hendak kami susui. Kami semua berkata: Dia adalah anak yatim. Tidak ada pilihan bagi ibu dan kakek beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena kami tidak menyukai keadaan seperti itu. Setiap wanita dari rombongan kami sudah mendapatkan bayi yang disusuinya,  kecuali aku sendiri. Tatkala kami sudah siap_siap untuk kembali, aku berkata kepada suamiku: Demi Allah, aku tidak ingin kembali bersama teman_temanku wanita tanpa membawa seorang bayi yang kususui. Dermi Allah, aku benar-benar akan mendatangi anak yatim itu dan membawanya.”

Halimah As_Sa’diyah melanjutkan penuturannya, “Maka aku pun pergi menemui bayi itu (beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam) dan aku siap membawanya. Tatkala menggendongnya seakan_akan aku tidak merasa repot karena mendapat beban yang lain. Aku segera kembali menghampiri hewan tungganganku, dan tatkala puting susuku kusodorkan kepadanya, bayi itu bisa menyedot air susu sesukanya dan meminumnya hingga kenyang. Anak kandungku sendiri juga bisa menyedot air susu sepuasnya hingga kenyang, setelah itu keduannya tertidur pulas. Padahal sebelum itu kami tidak pernah tidur sepicing pun karena mengurus bayi kami. Kemudian suamiku menghampiri untanya yang sudah tua, ternyata air susunya menjadi penuh, maka kami memerahnya. Suamiku bisa minum air susu unta kami, begitu pula aku, hingga kami benar_benar kenyang. Malam itu adalah malam yang terasa paling indah bagi kami.”

Pada besok harinya suamiku berkata kepadaku, “Demi Allah, tahukah engkau wahai Halimah, engkau telah mengambil satu jiwa yang penuh barakah.” Halimah As_Sa’diyah pun berkata, “Demi Allah, aku pun berharap yang demikian itu.”

Halimah As_Sa’diyah melanjutkan penuturannya, “Kemudian kami pun siap_siap pergi dan aku menunggang keledaiku. Semua bawaan kami juga kunaikkan ber-samaku di atas punggungnya. Demi Alalh, setelah kami menempuh perjalanan sekian jauh, tentulah keledai_keledai mereka tidak akan mampu membawa beban seperti yang aku bebankan di atas pungggung keledaiku. Sehingga rekan-rekanku berkata kepadaku: Wahai putri Abu Dzu’aib, celaka engkau! Tunggulah kami! Bukankah ini adalah keledaimu yang pernah engkau bawa bersama kita dulu?” Halimah As_Sa’diyah berkata, “Demi Allah, begitulah. Ini adalah keledaiku dulu.” Mereka berkata, “Demi Allah, keledaimu itu kini bertambah perkasa.”

Kami pun tiba di tempat tinggal kami di daerah Bani Sa’d bin Bakr, aku tidak pernah melihat sepetak tanah pun milik kami yang lebih subur saat itu. Domba_ domba kami datang menyongsong kedatangan kami dalam keadaan kenyang dan air susunya juga berisi penuh, sehingga kami bisa memerahnya dan meminumnya. Sementara setiap orang yang memerah air susu hewannya sama sekali tidak mengeluarkan air susu walau setetes pun dan kelenjar susunya juga kempes. Sehingga mereka berkata garang kepada para penggembalanya, “Celakalah kalian! Lepaskanlah hewan gembalaannya kalian seperti yang dilakukan oleh gembala putri Abu Dzu’aib.” Namun domba_domba mereka pulang ke rumah tetap dalam keadaan lapar dan tidak ada setetes pun mengeluarkan air susu. Sementara domba_dombaku pulang dalam keadaan kenyang dan kelenjar susunya berisi penuh. Kami senantiasa mendapatkan tambahan barakah dan kebaikan dari Allah selama dua tahun menyusui anak susuan kami. Lalu kami menyapihnya. Dia tumbuh dengan baik, tidak seperti bayi_bayi yang lain. Bahkan sebelum usia dua tahun pun dia sudah tumbuh pesat.

Kemudian kami membawanya kepada ibunya, meskipun kami masih berharap agar anak itu tetap berada di tengah_tengah kami, karena kami bisa merasakan barakahnya. Maka kami menyampaikan niat ini kepada ibunya. Aku berkata kepadanya, “Andaikan saja engkau sudi membiarkan anakmu  ini tetap bersama kami hingga menjadi besar, karena aku khawatir dia terserang penyakit yang biasa menjalar di Makkah.” Kami terus_menerus merayu ibunya agar dia berke-nan mengembalikan anak itu tinggal bersama kami.

Begitulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di tengah_tengah Bani Sa’d bin Bakr, hingga tatkala beliau berumur empat atau lima tahun terjadi peristiwa pembelahan dada beliau. Ini adalah pendapat mayoritas pakar sejarah. Tetapi menurut riwayat Ibnu Ishaq bahwa peristiwa itu terjadi pada usia tiga tahun. [Lihat Abu Muhammad Abdul Malik bin Hisyam bin Ayyub Al_Humary, As_Sirah An_Nabawiyah, (Mesir: Syirkah Maktabah wa Mathba’ah Musthafah Al_Baby Al_Halaby wa Auladuhu, 1375 H), cet. 2, hal. 1/164-165]

Imam Muslim meriwayatkan dari Anas radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam didatangi Malaikat Jiblril, yang saat itu beliau sedang bermain_main dengan beberapa anak kecil lainnya. Malaikat Jibril memegang beliau dan menelentangkannya, lalu membelah dada dan mengeluarkan hati beliau dan mengeluarkan segumpal darah dari dada beliau, seraya berkata, “Ini adalah bagian setan yang ada pada dirimu.” Lalu Malaikat Jibril mencucinya di sebuah baskom dari emas dengan menggunakan air Zamzam, kemudian menata dan memasukkannya ke tempatnya semula. Anak_anak kecil lainnya berlarian mencari ibu susunya dan berkata, “Muhammad telah dibunuh !!!” Mereka pun datang menghampiri beliau yang wajahnya semangkin berseri. [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Muslim]

Berlanjut ........................

[+/-] Selengkapnya...