Takbiran seusai adzan

TAKBIRAN SEUSAI ADZAN

Bagaimana hukumnya takbiran usai adzan untuk menunggu berjamaah pada hari-hari tasyriq?

Takbiran tersebut tidak disunahkan.

وَتَكْبِيْرُ الْحَاجِّ وَغَيْرِهِ فِي الْوَقْتَيْنِ الْمَذْكُوْرَيْنِ يَكُوْنُ (بَعْدَ) أَيْ عَقِبَ (صَلاَةِ كُلِّ فَرْضٍ أَوْ نَفْلٍ أَدَاءً وَقَضَاءً وَجَنَازَةً)وَمَنْذُوْرَةً [المنهاج القويم 94]

“Kesunahan bertakbir bagi orang yang sedang berhaji -- sejak Dhuhur hari raya kurban sampai dengan Shubuh akhir hari tasyriq -- maupun yang lain -- sejak Shubuh hari Arafah sampai dengan Ashar akhir hari tasyriq -- pada masing-masing waktu dimaksud, itu usai shalat baik fardlu maupun sunat, ada’ maupun qadla’, shalat janazah dan shalat karena nadzar.” (Al-Minhaj al-Qawim 94).

BERJABAT TANGAN DENGAN LAWAN JENIS

Sebagaimana yang terlihat pada hari-hari lebaran, tengah menggejala di sebagian kalangan remaja berjabat tangan berlainan jenis yang bukan mahram. Bagaimana hukum-nya?

Berjabat tangan dengan lelawan jenis yang bukan mahram hukumnya haram, baik di hari lebaran maupun bukan, kecuali memakai tutup tangan.

وَتُسَنُّ التَّهْنِئَةُ بِالْعِيْدِ وَنَحْوِهِ مِنَ الْعَامِ وَالشَّهْرِ عَلَى الْمُعْتَمَدِ مَعَ الْمُصَافَحَةِ إِنِ اتَّحَدَ الْجِنْسُ فَلاَ يُصَافِحُ الرَّجُلُ الْمَرْأَةَ وَلاَ عَكْسُهُ وَمِثْلُهَا اْلأَمْرَدُ الْجَمِيْلُ [الباجوري 1/ 224]

“Disunatkan menyampaikan ucapan selamat hari raya dan semisalnya baik tahun maupun bulan menurut qaul mu’tamad dengan berjabat tangan bilamana sesama jenis. Maka tidak di perbolehkan seorang laki-laki berjabat tangan dengan seorang perempuan dan sebaliknya, demikian juga amrad yang tampan.” (Al-Bajuri 1/224)

وَتَحْرُمُ مُصَافَحَةُ الرَّجُلِ لِلْمَرْأَةِ اْلأَجْنَبِيَّةِ مِنْ غَيْرِ حَائِلٍ وَكَذَا اْلأَمْرَدُ الْجَمِيْلُ [تنوير القلوب 199].

“Haram berjabat tangan antara lelaki dengan perempuan yang bukan mahram tanpa penghalang, demikian juga amrad yang tampan.” (Tanwir al-Qulub 199).

WUDLUI JENAZAH BARU MANDIKAN

Mana yang didahulukan, memandikan jenazah atau mewudlukan? Mewudlukan yang didahulukan, baru kemudian dimandikan.

وَاَكْمَلُهُ إلى أن قال وَأَنْ يُوَضِّئَهُ قَبْلَ الْغَسْلِ كَالْحَيِّ [كاشفة السجا 95]

“Yang lebih sempurna adalah mewudlukan jenazah sebelum memandikannya sebagaimana orang hidup” (Kasyifah al-Saja 95).

MANDI JENAZAH BERHADATS BESAR

Bagaimana cara memandikan mayat yang junub, cukup sekali ataukah dua kali?

Memandikan mayat junub cukup sekali saja.

(وَأَقَلُّ غَسْلِهِ ) وَلَوْ جُنُبًا أَوْ نَحْوَهُ (تَعْمِيْمُ بَدَنِهِ) بِالْمَاءِ مَرَّةً (قَوْلُهُ وَلَوْ جُنُبًا) غَايَةٌ لِلرَّدِّ عَلَى الْحَسَنِ الْبَصْرِيِّ الْقَائِلِ بِأَنَّهُ يَجِبُ غَسْلاَنِ أَحَدُهُمَا لِلْجَنَابَةِ وَاْلآخَرُ لِلْمَوْتِ كَمَا قَرَّرَهُ شَيْخُنَا. [بجيرمي علي المنهج 1/452]

“Memandikan mayat meskipun junub atau sejenisnya minimal adalah meratakan air pada seluruh tubuh satu kali. Kalimat ‘meskipun junub’ adalah ghayah, menghabiskan, untuk menolak pendapat Al-Hasan al-Bashri yang berkata, bahwa mayat tersebut wajib dimandikan dua kali, salah satunya karena janabat dan yang lain karena meninggal, sebagaimana yang ditetapkan Syaikhuna.” (Bujairami ala al-Manhaj 1/452)

SHALAT JENAZAH DALAM TERBELO

Sahkah shalat jenazah didalam terbelo?

Shalat tersebut hukumnya sah.

نَعَمْ لَوْ كَانَ الْمَيِّتُ فِيْ صُنْدُوْقٍ لاَ يَضُرُّ [نِهاية الزين 159]

“Benar demikian, andaikan jenazah dalam terbelo maka menshalatinya tidak mengapa, sah”. (Nihayah al-Zain 159).

SHALAT JENAZAH DAN ASHAR

Ketika waktu Ashar sudah tiba mana yang didahulukan, shalat jenazah ataukah shalat Ashar?

Jika waktunya masih longgar seyogyanya mengerjakan shalat jenazah terlebih dahulu dan jika waktunya sudah sempit maka wajib mendahulukan shalat Ashar. Demikian ini selama tidak ada unsur kesengajaan mengerjakannya usai shalat Ashar.

وَمَحَلُّ جَوَازِ مَا لَهُ سَبَبٌ مُتَقَدِّمٌ أَوْ مُقَارِنٌ إِنْ لَمْ يَتَحَرَّ بِهِ وَقْتَ الْكَرَاهَةِ، وَإِلاَّ كَاَنْ أَخَّرَ فَائِتَةً أَوْ جَنَازَةً لِيُوْقِعَهَا فِيْهِ مِنْ حَيْثُ إِنَّهُ وَقْتُ كَرَاهَةٍ أَوْ دَخَلَ الْمَسْجِدَ بِقَصْدِ التَّحِيَّةِ فَقَطْ أَيْ لاَ غَرَضَ لَهُ إِلاَّ ذَلِكَ أَوْ قَرَأَ اْلآيَةَ فِيْ هَذِهِ اْلأَوْقَاتِ بِقَصْدِ السُّجُوْدِ أَوْ فِيْ غَيْرِهَا لِيَسْجُدَ فِيْهَا حَرُمَ ذَلِكَ وَلاَ يَنْعَقِدُ [الشرقاوي 1/169]

“Adapun letak di perbolehkan shalat yang mempunyai sebab terdahulu atau bersamaan bila memang tidak disengaja mengerjakannya pada waktu makruh. Bila sengaja seperti mengakhirkan shalat qadla atau shalat janazah untuk dilak-sanakan pada waktu makruh sedangkan ia tahu bahwa waktu tersebut adalah waktu makruh, atau masuk masjid dengan tujuan tahiyyatal masjid saja (artinya tiada tujuan sama sekali selain tahiyyatal masjid), atau membaca ayat sajdah pada waktu makruh dengan tujuan sujud tilawah atau pada selain waktu makruh untuk sujud tilawah pada waktu makruh, maka hal tersebut haram dan tidak sah.” ( Al-Syarqawi 1/169)

وَلَوِ اجْتَمَعَ فَرْضٌ وَجَنَازَةٌ وَلَمْ يَخَفْ تَغَيُّرَ الْمَيِّتِ فَإِنْ كَانَ وَقْتُ الْفَرْضِ وَاسِعًا وَجَبَ تَقْدِيْمُ الْجَنَازَةِ. وَإِنْ كَانَ وَقْتُ الْفَرْضِ ضَيِّقًا وَجَبَ تَقْدِيْمُ الْفَرْضِ [ نهاية الزين 111]

“Bilamana bersamaan waktu antara shalat fardlu dan shalat jenazah serta tidak di khawatirkan akan adanya perubahan pada mayat, maka bila waktu shalat fardlu masih longgar wajiblah mendahulukan shalat jenazah. Dan bila waktunya sudah sempit maka wajib mendahulukan shalat fardlu”. (Nihayah al-Zain 111)

Category:

0 comments:

Post a Comment