Shalat Jum'at terlambat

Ketika hendak melakukan shalat Jum’at, seseorang sudah terlambat satu raka’at, kemudian seorang lagi tertinggal dua raka’at.

a. Bagaimana cara niat shalatnya?

b. Bagaimana cara menyempurnakan raka’atnya?

Ma’mum yang mengikuti hanya satu raka’at, wajib niat shalat Jum’at, dan setelah imam salam tinggal menyusuli satu raka’at. Sedang ma’mum yang tertinggal dua raka’at, niatnya tetap niat shalat Jum’at (نوى ولا صلى) kemudian menyusuli empat raka’at setelah salamnya imam (صلىولانوى).

وَلَوْ أَدْرَكَ الْمَسْبُوْقُ رُكُوْعَ الثَّانِيَةِ وَاسْتَمَرَّ مَعَهُ إِلَىاَنْ سَلَّمَ أَتَى بِرَكْعَةٍ بَعْدَ سَلاَمِهِ جَهْرًا وَتَمَّتْ جُمْعَتُهُ اِنْ صَحَّتُْجمْعَةُ اْلامَامِ [هامش إعانة الطالبين 2/56].

“Bilamana ma’mum masbuq mendapatkan imam pada ruku’ raka’at kedua dan ia shalat bersamanya hingga imam salam, maka ma’mum tersebut wajib menyusuli satu raka’at lagi sesudah salamnya imam dengan jahr (bersuara keras ketika membaca Fatihah dan surat) dan sempurnalah shalat Jum’atnya. jika sah shalat Jum’atnya imam.” (Hamisy I’anah al-Thalibin II/56)

وَتَجِبُ عَلَى مَنْ جَاءَ بَعْدَ رُكُوْعِ الثَّانِيَةِ نِيَّةُ الْجُمْعَةِ عَلَى اْلأَصَحِّ وَإِنْ كَانَتِ الظُّهْرُ هِيَ اللاَّزِمَةَ لَهُ [إعانة الطالبين 2/56].

Wajib bagi orang yang datang setelah imam ruku’ pada raka’at kedua, berniat shalat Jum’at menurut qaul ashah, meskipun shalat Dhuhur adalah yang wajib baginya. (I’anah al-Thalibin II/56).

 

Masalah terkait:

bagaimana hukumnya?

[+/-] Selengkapnya...

Sujud berdesakan

Karena banyaknya jama’ah shalat Jum’at hingga tidak bisa melakukan sujud secara sempurna, bagaimana caranya?

Apabila tidak bisa melakukan dengan sempurna, maka bersujud di punggung ma’mum depannya. Dan apabila tidak bisa sama sekali, maka menunggu hingga tiada lagi desak-desakan.

فَإِنْ زُوْحِمَ الْمَأْمُوْمُ عَنِ السُّجُوْدِ فِي الْجُمْعَةِ نُظِرَتْ فَإِنْ قَدَرَ أَنْ يَسْجُدَ عَلَى ظَهْرِ إِنْسَانٍ لَزِمَهُ أَنْ يَسْجُدَ لِمَا رُوِيَ عَنْ عُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ: إِذَا اشْتَدَّ الزِّحَامُ فَلْيَسْجُدْ أَحَدُكُمْ عَلَى ظَهْرِ أَخِيْهِ إلى أن قال: وَإِنْ لَمْ يَقْدِرْ عَلَى السُّجُوْدِ بِحَالٍ انْتَظَرَ حَتَّى يَزُوْلَ الزِّحَامُ [المهذب 1/115].

“Apabila ma’mum berdesakan sujudnya ketika shalat Jum’at, maka dilihat-lihat. Jika ia mampu bersujud di punggung orang lain, maka ia bersujud di punggung tersebut, karena keterangan hadits yang diriwayatkan oleh Umar R.A. Beliau berkata: Jika terjadi desakan yang amat sangat, maka sujudlah salah seorang di antara kalian di punggung saudaranya ..… Dan jika ia tidak bisa sujud sama sekali, maka menunggu hingga tidak ada desak-desakan lagi.” (Al-Muhadzdzab I/115).

 

Bagaimana hukum Shalat hari-hari tertentu

[+/-] Selengkapnya...

Shalat hari-hari tertentu

Bagaimana hukumnya sengaja melakukan shalat pada hari-hari tertentu seperti ‘Asyura, Nishfu Sya’ban dan sebagainya? Jika tidak boleh bagaimana jalan keluarnya ?

Shalat sebagaimana tersebut hukumnya tidak boleh, bid’ah qabihah. Bila melakukannya, ia harus berniat shalat sunat muthlaqah atau shalat sunat hajat, tidak berniat mengkhusus-kan hari tersebut.

(فَائِدَةٌ) أَمَّا الصَّلاَةُ الْمَعْرُوْفَةُ لَيْلَةَ الرَّغَائِبِ وَنِصْفَ شَعْبَانَ وَيَوْمَ عَاشُوْرَاءَ فَبِدْعَةٌ قَبِيْحَةٌ وَأَحَادِيْثُهَا مَوْضُوْعَةٌ [هامش إعانة الطالبين 1/270]

“(Faedah). Adapun shalat yang dikenal malam Raghaib, Nishfu Sya’ban dan hari Asyura itu bi’dah qabihah sedang-kan haditsnya maudlu’.” (Hamisy I’anah al-Thalibin I/270)

(تَنْبِيْهٌ) قَالَ الْعَلاَّمَةُ الشَّيْخُ زَيْنُ الدِّيْنِ تِلْمِيْذُ ابْنِ حَجَرٍ الْمَكِّيُّ فِيْ كِتَابِهِ "إِرْشَادُ الْعِبَادِ" كَغَيْرِهِ مِنْ عُلَمَاءِ الْمَذْهَبِ: وَمِنَ الْبِدَعِ الْمَذْمُوْمَةِ الَّتِيْ يَأْثَمُ فَاعِلُهَا وَيَجِبُ عَلَى وُلاَةِ اْلأَمْرِ مَنْعُ فَاعِلِهَا صَلاَةُ الرَّغَائِبِ إِلَى أَنْ قَالَ أَمَّا أَحَادِيْثُهَا فَمَوْضُوْعَةٌ بَاطِلَةٌ وَلاَ تَغْتَرَّ بِمَنْ ذَكَرَهَا اها. (قُلْتُ) وَمِثْلُهُ صَلاَةُ صَفَرَ فَمَنْ أَرَادَ الصَّلاَةَ فِيْ وَقْتٍ مِنْ هَذِهِ اْلأَوْقَاتِ فَلْيَنْوِ النَّفْلَ الْمُطْلَقَ فُرَادَى مِنْ غَيْرِ عَدَدٍ مُعَيَّنٍ وَهُوَ مَا لاَ يَتَقَيَّدُ بِوَقْتٍ وَلاَ سَبَبٍ وَلاَ حَصْرَ لَهُ [كنْز النجاح والسرور 17 – 18]

“(Perhatian). Al-‘Allamah al-Syaikh Zainuddin muridnya Ibn Hajar al-Makki di dalam kitabnya Irsyad al-‘Ibad sebagaimana ulama madzhab yang lain berkata: Termasuk bid’ah tercela yang berdosa bagi yang melakukan dan wajib bagi pemegang urusan/ kekuasaan mencegah adalah shalat Raghaib… Adapun haditsnya maudlu’ dan batal. Janganlah terpedaya orang yang menyebutnya. Aku berkata: Semisal hal tersebut adalah shalat Shafar, maka barang siapa yang hendak melakukan shalat pada waktu-waktu dimaksud hendaklah niat shalat sunat muthlaqah secara sendiri-sendiri,

tidak berjamaah, tanpa hitungan rekaat yang pasti. Nafl mutlaq adalah shalat yang tanpa terikat waktu, sebab dan hitungan rekaat.” (Kanz al-Najah wa al-Surur 17-18)

Shalat sunah belum qadla fardlu

[+/-] Selengkapnya...

Shalat sunah belum qadla' fardlu

Seseorang meninggalkan shalat fardlu dan belum diqadla’ kemudian ia melakukan shalat sunnat. Bagaimana hukumnya?

Melakukan shalat sunat tersebut hukumnya haram, apabila meninggalkannya tanpa ada udzur, namun sah shalatnya.

(وَيُبَادِرُ) مَنْ مَرَّ (بِفَائِتٍ) وُجُوْبًا اِنْ فَاتَ بِلاَ عُذْرٍ فَيَلْزَمُهُ الْقَضَاءُ فَوْرًا قَالَ شَيْخُنَا أَحْمَدُ بْنُ حَجَرٍ رَحِمَهُ اللهُ تَعَالَى وَالَّذِيْ يَظْهَرُ أَنَّهُ يَلْزَمُهُ صَرْفُ جَمِيْعِ زَمَنِهِ لِلْقَضَاءِ مَا عَدَا مَا يَحْتَاجُ لِصَرْفِهِ فِيْمَا لاَ بُدَّ مِنْهُ وَأَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ التَّطَوُّعُ. (قَوْلُهُ وَأَنَّهُ يَحْرُمُ عَلَيْهِ التَّطَوُّعُ) أَيْ مَعَ صِحَّتِهِ خِلاَفًا لِلزَّرْكَشِيّ [إعانة الطالبين 1/23].

“Seorang mukallaf wajib segera mengqadha’ shalatnya apabila ia meninggalkannya tanpa udzur. Syikhuna Ahmad ibn Hajar rahimahullah berkata: Menurut qaul dhahir, ia wajib menggunakan seluruh waktunya untuk mengqadha’ shalatnya, kecuali untuk hal-hal yang memang harus ia kerjakan dan ia haram melakukan shalat sunat. Kalimat “haram dan seterusnya” yakni sah shalatnya. Berbeda dengan pendapat Al-Zarkasyi.” (I’anah al-Thalibin I/23).

Bepergian ulang waktu shalat

[+/-] Selengkapnya...

Bepergian ulang waktu

Seseorang bepergian ke luar negeri dengan menggunakan pesawat terbang. Sebelum berangkat ia sudah mengerjakan shalat Maghrib, namun sesampainya di tempat tujuan malah masih waktu Ashar. Haruskah ia mengulang shalat Maghrib ketika waktunya tiba ?

Orang tersebut wajib mengulang kembali shalat Maghrib ketika saatnya tiba.

وَهَذَا الْحُكْمُ لاَ يَخْتَصُّ بِالصَّوْمِ بَلْ يَجْرِيْ فِيْ غَيْرِهِ أَيْضًا حَتَّى لَوْ صَلَّى الْمَغْرِبَ بِمَحَلٍّ وَسَافَرَ إِلَى بَلَدٍ فَوَجَدَهَا لَمْ تَغْرُبْ وَجَبَتِ اْلإِعَادَةُ [كاشفة السجا 109]

“Hukum ini tidak terbatas hanya pada masalah puasa tetapi juga berlaku pada masalah-masalah yang lain, sehingga andaikan seseorang telah mengerjakan shalat Maghrib di suatu tempat kemudian ia bepergian ke negara lain, sesampainya di sana matahari belum terbenam maka ia wajib i’adah, mengulang shalat Maghrib tadi.” (Kasyifah al-Saja 109)

Bagaimana hukum berjamaah dengan imam fasiq ?

[+/-] Selengkapnya...

Imam Fasiq

Bagaimana hukum berjamaah dengan imam yang fasiq ?

Bagaimana pula hukum mengangkatnya sebagai imam rawatib ?

Berjamaah dengan orang yang fasiq hukumnya boleh. Sedang pengangkatannya tidak boleh.

وَسَادِسُهَا (مَنْ تُكْرَهُ إِمَامَتُهُ) مَعَ جَوَازِهَا (وَهُوَ الْفَاسِقُ وَالْمُبْتَدِعُ

إِنْ لَمْ يَكْفُرْ بِبِدْعَتِهِ وَغَيْرُهُمَا) [هامش الشرقاوي1/246 – 247]

Bagian keenam adalah orang yang makruh menjadi imam meskipun boleh, yaitu orang fasiq (orang yang melakukan dosa besar atau melanggengkan dosa kecil namun kebaikan-nya tidak seimbang dengan keburukannya), orang yang berbuat bid’ah namun bid’ahnya tidak sampai menyebabkan ia kufur, dan selain mereka berdua.” (Hamisy al-Syarqawi I/246-247)

وَلاَ يَجُوْزُ لأَحَدٍ مِنْ وُلاَةِ اْلأُمُوْرِ نَصْبُ إِمَامٍ فَاسِقٍ لِلصَّلَوَاتِ وَإِنْ صَحَّحْنَا الصَّلاَةَ خَلْفَهُ [الشرقاوي 1/247]

“Tidak boleh bagi pemegang urusan mengangkat orang fasiq menjadi imam berbagai shalat sekalipun sah berjamaah dibelakangnya.” (Al-Syarqawi I/247)

 Sahkah shalatnya orang yang terkantuk-kantuk ?

[+/-] Selengkapnya...

Shalat Terkantuk-kantuk

Sahkah shalat seseorang dengan terkantuk-kantuk ?

Shalatnya orang terkantuk-kantuk itu sah, karena wudlunya tidak batal.

اَلنَّاقِضُ الثَّانِيْ زَوَالُ الْعَقْلِ وَلَهُ أَسْبَابٌ مِنْهَا النَّوْمُ وَحَقِيْقَتُهُ اسْتِرْخاَءُ الْبَدَنِ وَزَوَالُ شُعُوْرِهِ وَخَفَاءُ كَلاَمِ مَنْ عِنْدَهُ وَلَيْسَ فِيْ مَعْنَاهُ النُّعَاسُ فَإِنَّهُ لاَ يَنْقُضُ الْوُضُوْءَ بِكُلِّ حَالٍ [كفاية الأخيار 1/33]

“Yang membatalkan wudlu kedua adalah hilang akalnya, yang disebabkan antara lain tidur. Hakikat tidur adalah mengendorkan tubuh, hilang kesadaran dan sepi bicara. Sedangkan kantuk tidak termasuk dalam kategori arti tidur, karena itu tidak membatalkan wudlu apapun.” (Kifayah al-Akhyar II/33)

[+/-] Selengkapnya...

Kasih sayang Rasulullah saw

Kasih Sayang Rosululloh SAW dalam Keluarga

image Ibnu Umar pernah datang kepada Aisyah RA dan berkata, “Izinkan kami di sini sejenak dan ceritakanlah kepada kami perkara paling mempesona dari semua yang pernah engkau saksikan pada diri Nabi.”
‘Aisyah menarik nafas panjang. Kemudian dengan terisak menahan tangis, ia
berkata dengan suara lirih, “Kaana kullu amrihi ‘ajaba. Ah, semua perilakunya menakjubkan bagiku.”
Kalau ‘Aisyah istri Rosulullah berkata, “ Ah, semua perilaku suamiku menakjubkan bagiku.”. Kira-kira apakah yang akan diucapkan oleh istri


kita jika kita sebagai suaminya ditakdirkan meninggal lebih dulu. Kita juga tidak tahu apakah yang akan diucapkan oleh anak-anak kita tentang orangtuanya.
Semuanya terpulang kepada kita. Apakah kita mau mencoba untuk menjadi bapak dan suami yang lebih menyejukkan hati –meski harus gagal berkali-kali—ataukah kita merasa telah cukup mulia dengan perhatian kita yang tak seberapa.
Banyak para bapak enggan mengusapkan tangan ke pipi anaknya yang sedang meneteskan airmata. Mereka juga tidak pernah menyempatkan diri, meski cuma sekali, untuk membaringkan tubuh anaknya yang letih hanya karena mereka merasa telah banyak berjasa dengan mencari uang yang tak seberapa.
Mereka ingin dihormati oleh anak-anaknya, tetapi dengan menciptakan jarak sehingga anak tak pernah sanggup mencurahkan isi hatinya kepada bapaknya sendiri. Mereka ingin menjadi bapak yang disegani, tetapi dengan cara membangkitkan ketakutan. Padahal Rasulullah Saw. sering mencium putrinya, Fathimatuz Zahra. Bahkan ketika putrinya telah beranjak dewasa.


Berikut ini teladan dari Junjungan Kita SAW :
Aisyah r.a.: Ada seorang Arab dusun datang kepada Nabi Saw. sambil berkata, “Engkau mencium anak-anak, sedangkan kami tidak pernah mencium mereka.” Nabi Saw. menjawab, “Apa dayaku apabila Tuhan telah mencabut kasih-sayang dari hatimu.” (HR. Bukhari).
Nabi Saw. mencontohkan bagaimana menyayangi anak. Pernah Rasulullah Saw. menggendong cucunya, Umamah binti Abi Al-Ash, ketika sedang shalat. Jika rukuk, Umamah diletakkan dan ketika bangun dari rukuk, maka Umamah diangkat kembali.
Pernah juga Rasulullah Saw. bermain kuda-kudaan dengan cucunya yang lain,Hasan dan Husain. Ketika Rasulullah Saw. sedang merangkak di atas tanah,sementara kedua cucunya berada di punggungnya, Umar datang lalu berkata,“Hai Anak, alangkah indah tungganganmu.” Rasulullah Saw. menjawab,“Alangkah indahnya para penunggangnya!”
Tak jarang Rasulullah Saw. menghadapi anak-anak dengan sikap melucu. Bila mendatangi anak-anak kecil, Rasulullah Saw. jongkok di hadapan mereka, memberi pengertian kepada mereka, juga mendo’akan mereka. Begitu hadis riwayat Ath-Thusi menceritakan.


Sementara Usamah bin Zaid memberi kesaksian, “(Sewaktu aku masih kecil ) Rasulullah Saw. pernah mengambil aku untuk didudukkan pada pahanya, sedangkan Hasan didudukkan pada paha beliau yang satunya, kemudian kami berdua didekapnya, seraya berdo’a, “Ya Allah,kasihanilah keduanya, karena aku telah mengasihi keduanya.” (HR. Bukhari).
Abu Hurairah ra pernah menceritakan: “Rasulullah saw pernah menjulurkan lidahnya bercanda dengan Al-Hasan bin Ali ra. Iapun melihat merah lidah beliau, lalu ia segera menghambur menuju beliau dengan riang gembira.
Pernah Beliau sholat sambil menggendong Umamah putri Zaenab binti Rasulullah saw dari suaminya yang bernama Abul ‘Ash bin Ar-Rabi’. Pada saat berdiri, beliau menggendongnya dan ketika sujud, beliau meletakkannya. (Muttafaq ‘alaih)

Sumber :http://nuryahman.blogspot.com/

[+/-] Selengkapnya...

Sholawat

md-rasoolullah-zakh_copyPengertian sholawat.

Sholawat adalah lafadh jamak dari kata Shalat. Sholawat merupakan bahasa arab yang berarti do'a, rahmat dari Tuhan, memberi berkah dan ibadat.

Kalau shalawat itu dilaksanakan oleh hamba kepada Allah, maka maksudnya hamba itu menunaikan ibadah atau berdo'a kepadaNya, tetapi kalau Allah bersholawat atas hambanya, maka sholawat dalam hal ini artinya adalah bahwa Allah mencurahkan rahmatNya(Allah melimpahkan berkahNya).

Dengan demikian sholawat Allah kepada hambaNya dibagi dua, yaitu khusus dan umum.Sholawat khusus, ialah sholawat Allah kepada rasulNya, para nabiNya, istimewa sholawatNya kepada Nabi Muhammad SAW, sholawat umum ialah sholawat Allah kepada hambaNya yang mu'min.

Dengan demikian dapat diketahui bahwa arti kata sholawat Allah kepada Nabi Muhammad SAW ialah memuji Muhammad, melahirkan keutamaan dan memuliakannya, memperdekatkannya beliau Muhammad kepada diriNya (Allah).

Adapun pengertian sholawat malaikat kepada Nabi saw, adalah memohon kepada Allah supaya Allah mencurahkan perhatiannya kepada nabi, memohonkan ampun.

Pengertian sholawat dari orang mu'min kepada Nabi SAW  berarti doa supaya beliau Nabi saw diberi rahmat,  mengakui kerasulannya serta memohon kepada Allah melahirkan keutamaan dan kemuliaannya yang pada gilirannya mengakui bahwa agama yang dibawa nabi Muhammad sebagai agama yang mulia diatas agama yang lain dan melahirkan kemuliaan beliau SAW di atas kemuliaan nabi-nabi yang lain.

Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa bersholawat artinya:

  1. apabila sholawat dari Allah berarti member rahmat;
  2. Sholawat dari malaikat berarti memohonkan ampun;
  3. Sholawat dari orang mu'min berarti berdo'a supaya diberi rahmat seperti perkataan "ALLAHUMMASHOLLI ALAA MUHAMMAD" artinya : Ya Allah , limpahkanlah rahmat atas Nabi Muhammad saw"

Dalam perkembangannya, sholawat banyak macamnya serta banyak pula keutamaan,manfaat, faedah serta berkahnya.

[+/-] Selengkapnya...

Mengetahui najis usai mengerjakan Shalat

Seorang imam baru mengetahui dirinya membawa najis usai shalat. Wajibkah ia memberitahukan kepada makmum ? Apakah imam dan makmum tersebut harus mengulang shalat ?

Jika najis yang dibawa oleh imam itu tampak jelas sekira makmum memperhatikannya, najis tersebut dapat terlihat, maka imam wajib memberitahu dan makmum wajib mengulang shalat, namun menurut pendapat Imam Nawawi tidak wajib i’adah.

Jika najis tersebut samar, maka :

- bila makmumnya bukan masbuq, imam tidak wajib memberitahu dan makmum tersebut tidak pula wajib

i’adah, baik diberitahu ataupun tidak, dan;

- bila masbuq (makmum yang tidak cukup waktu untuk membaca Fatihah di saat berdirinya imam), imam wajib memberitahu dan si masbuq manakala belum salam atau sesudah salam tetapi masih dalam tempo yang pendek, maka ia harus menambah satu rekaat dan sujud sahwi dan manakala dalam tempo yang lama, maka ia harus i’adah.

Dalam semua kasus tersebut sudah barang tentu imam wajib i’adah.

(فَائِدَةٌ) يَجِبُ عَلَى اْلإِمَامِ إِذَا كَانَتِ النَّجَاسَةُ ظَاهِرَةً إِخْبَارُ الْمَأْمُوْمِ بِذَلِكَ لِيُعِيْدَ صَلاَتَهُ أَخْذًا مِنْ قَوْلِهِمْ: لَوْ رَأَى عَلَى ثَوْبِ مُصَلٍّ نَجَاسَةً وَجَبَ إِخْبَارُهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ آثِمًا اهاع ش عَلَى م ر [بجيرمي على المنهج

1/310]

“(Faedah). Wajib bagi imam yang membawa najis tampak jelas, memberitahu makmum perihal tersebut agar mengu-lang shalatnya, berdasarkan perkataan ulama, andaikan seseorang melihat najis pada baju seseorang yang sedang shalat maka ia wajib memberitahunya meskipun tidak ber-dosa”. (Bujairami ‘ala al-Manhaj 1/310).

وَصَحَّحَ النَّوَوِيُّ فِي التَّحْقِيْقِ عَدَمَ وُجُوْبِ اْلإِعَادَةِ مُطْلَقًا. (قَوْلُهُ مُطْلَقًا) سَوَاءٌ كَانَ الْخَبَثُ الَّذِيْ تَبَيَّنَ فِي اْلإِمَامِ ظَاهِرًا أَوْ خَفِيًّا

[إعانة الطالبين 2/46]

“Al-Nawawi di dalam kitab Al-Tahqiq membenarkan bahwa makmum tidak wajib mengulang shalat secara mutlak. Kata ‘mutlak‘ baik najis yang dibawa imam itu tampak jelas ataupun samar “. (I’anah al-Thalibin II/46).

وَلَوْ تَذَكَّرَ اْلإِمَامُ بَعْدَ صَلاَتِهِ أَنَّهُ كَانَ مُحْدِثًا أَوْ ذَا نَجَاسَةٍ خَفِيَّةٍ وَعَلِمَ أَنَّ بَعْضَ الْمَسْبُوْقِيْنَ رَكَعَ مَعَهُ قَبْلَ أَنْ يُتِمَّ الْفَاتِحَةَ يَجِبُ عَلَيْهِ أَنْ يُعْلِمَهُ بِحَالِهِ لِيُعِيْدَ صَلاَتَهُ إِنْ كَانَ قَدْ سَلَّمَ وَطَالَ الْفَصْلُ وَإِلاَّ يَأْتِيْ بِرَكْعَةٍ فَقَطْ وَيَسْجُدُ لِلسَّهْوِ [تنوير القلوب

156 –157]

“Andaikata usai shalat imam ingat bahwa dirinya sedang hadats atau membawa najis yang samar dan ia mengetahui bahwa sebagian makmum masbuq mengikuti rukuknya sebelum sempat menyempurnakan fatihah, maka ia wajib memberitahu perihal keadaan dirinya agar makmum tersebut mengulang shalat bila sudah salam dan dalam tempo yang lama. Bila belum/barusan salam maka menambah satu rekaat dan sujud sahwi.” (Tanwir al-Qulub 156-157).

لاَ إِنْ بَانَ ذَا حَدَثٍ وَلَوْ حَدَثًا أَكْبَرَ وَذَا نَجَاسَةٍ خَفِيَّةٍ فِيْ ثَوْبِهِ أَوْ بَدَنِهِ فَلاَ تَجِبُ اْلإِعَادَةُ عَلَى الْمُقْتَدِيْ لانْتِفَاءِ التَّقْصِيْرِ

مِنْهُ فِىْ ذَالِكَ [فتح الوهاب

1/63]

“Tidak wajib i’adah jika imamnya sedang berhadats sekali-pun hadats besar dan membawa najis yang samar di pakaian atau badan, maka tidak wajib mengulang shalat bagi makmum karena tidak adanya kesalahan dari makmum dalam hal tersebut.” (Fath al-Wahhab I/63).

وَلَوْ صَلَّى بِنَجْسٍ غَيْرِ مَعْفُوٍّ عَنْهُ لَمْ يَعْلَمْهُ أَوْ عَلِمَهُ ثُمَّ نَسِيَ فَصَلَّى ثُمَّ تَذَكَّرَ وَجَبَتِ اْلإِعَادَةُ فِي الْوَقْتِ أَوْ بَعْدَهُ لِتَفْرِيْطِهِ بِتَرْكِ التَّطْهِيْرِ وَتَجِبُ إِعَادَةُ كُلِّ صَلاَةٍ تَيَقَّنَ فِعْلَهَا مَعَ النَّجْسِ، بِخِلاَفِ مَا إِذَا احْتَمَلَ حُدُوْثُهُ بَعْدَهَا فَلاَ تَجِبُ إِعَادَتُهَا، لَكِنْ تُسَنُّ كَمَا قَالَهُ فِي الْمَجْمُوْعِ [فتح الوهاب 1/50].

“Andaikan seseorang shalat tidak tahu bahwa dirinya mem-bawa najis yang tidak dimakfu, atau sebelumnya ia tahu kemudian lupa lalu shalat, kemudian ingat kembali maka wajib mengulang shalat ketika ingat atau sesudahnya, kare-na kesalahannya dengan meninggalkan bersuci. Begitu juga wajib mengulang tiap-tiap shalat yang ia yakini mengerja-kannya dalam keadaan najis, berbeda jika najis tersebut dimungkinkan adanya setelah shalat maka tidak wajib mengulang, namun disunatkan sebagaimana keterangan di Al-Majmu’.” (Fath al-Wahhab I/50).

[+/-] Selengkapnya...

Ragu Sudah Baca Fatihah

Ada orang shalat, pada waktu ruku’ timbul kebimbangan, apakah sudah membaca Fatihah atau belum. Apa yang harus ia kerjakan?

Bila ia tidak sebagai ma’mum (munfarid atau imam) maka harus segera kembali berdiri dan membaca Fatihah. Bila ia sebagai ma’mum, maka ia harus tetap mengikuti imam, kemudian setelah imam salam, ia menambah satu raka’at.

(وَلَوْ سَهَا غَيْرُ الْمَأْمُوْمِ)فِي التَّرْتِيْبِ (بِتَرْكِ رُكْنٍ)إلى أن قال (أَوْ شَكَّ)هُوَ أَيْ غَيْرُ الْمَأْمُوْمِ فِيْ رُكْنٍ هَلْ فَعَلَ أَمْ لاَ، كَأَنْ شَكَّ رَاكِعًا هَلْ قَرَأَ الْفَاتِحَةَ أَوْ سَاجِدًا هَلْ رَكَعَ أَوِ اعْتَدَلَ (اَتَى بِهِ فَوْرًا) وُجُوْبًا (إِنْ كَانَ الشَّكُّ قَبْلَ فِعْلِ مِثْلِهِ) أَيْ فِعْلِ الْمَشْكُوْكَ فِيْهِ مِنْ رَكْعَةٍ أُخْرَى[هامش إعانة الطالبين 1/178-179]

Apabila selain ma’mum (munfarid atau imam) lupa tertib dengan meninggalkan rukun… atau ia ragu mengenai rukun apa sudah dikerjakan atau belum – misalnya ketika ruku’ ia ragu apa sudah membaca Fatihah, atau ketika sujud apa sudah ruku’ atau i’tidal – maka ia wajib segera mengerja-kan rukun yang diragukan tadi, apabila keraguan timbul sebelum ia mengerjakan rukun yang sama, yakni sama dengan yang diragukan dari raka’at berikutnya”. (Hamisy I’anah al-Thalibin I/178-179)

أَمَّا مَأْمُوْمٌ عَلِمَ أَوْ شَكَّ قَبْلَ رُكُوْعِهِ وَبَعْدَ رُكُوْعِ إِمَامِهِ أَنَّهُ تَرَكَ

الْفَاتِحَةَ فَيَقْرَأُهَا وَيَسْعَى خَلْفَهُ، وَبَعْدَ رُكُوْعِهِمَا لَمْ يَعُدْ إِلَى الْقِيَامِ لِقِرَاءتِهِ الْفَاتِحَةَ بَلْ يَتْبَعُ إِمَامَهُ وَيُصَلِّيْ رَكْعَةً بَعْدَ سَلاَمِ اْلإِمَامِ [هامش إعانة الطالبين 1/180].

“Adapun ma’mum yang sudah mengetahui atau rag sebelum ia ruku’ namun imam sudah ruku’, bahwa ia belum membaca Fatihah, maka ia harus membaca Fatihahnya lalu menyusul imam. Dan apabila tahunya/ragunya sesudah mereka (imam dan ma’mum) ruku’, maka tidak perlu berdiri lagi untuk membaca Fatihah, tetapi mengikuti imam dan menambah satu raka’at setelah salamnya imam” .(Hamisy I’anah al-Thalibin I/180).

[+/-] Selengkapnya...